Sastra (Berbahasa) Jawa

Bandung Mawardi *
jawapos.com/5/1/2020

PADA akhir 2019, acara-acara di pelbagai kota tak cuma pesta, konser musik, pelesiran, dan makan enak. Di Surabaya, 27 Desember 2019, acara bercap sastra (berbahasa) Jawa diselenggarakan bersahaja. Festival Sastra Jawa itu memang tak bermaksud memberi kejutan di tutupan tahun atau memberi tanda seru atas nasib kesusastraan berbahasa Jawa di abad XXI. Kesan sepi masih terasa. Sejak puluhan tahun lalu, umat sastra (berbahasa) Jawa memang sedikit. Sastra itu masih hidup dengan kewajaran-kewajaran meski godaan puja digital melanda.

Pada saat bersamaan ada acara sederhana memuat ejawantah sastra (berbahasa) Jawa. Para seniman memberi penghormatan dengan membaca atau mementaskan puisi-puisi gubahan Sindhunata terkumpul di Air Kata Kata (2019) dan Air Kejujuran (2019). Ingatan atas bahasa Jawa dalam gubahan sastra mewujud di Malang (27 Desember 2019) dan Batu (28 Desember 2019). Sekian puisi berbahasa Jawa dan jula juli gubahan Sindhunata disajikan ke publik. Ikhtiar mengenangkan 2019 masih memungkinkan sastra (berbahasa) Jawa memiliki pembaca atau penikmat.

Konon, orang-orang mengatakan para penggubah sastra (berbahasa) Jawa terus kehilangan halaman-halaman di koran dan majalah. Keluhan tersampaikan seperti ingin dikasihani. Kita tetap masih membaca gubahan sastra itu di halaman-halaman Solopos setiap Kamis dan Kedaulatan Rakyat setiap Minggu. Pembaca majalah pun masih berjumpa puisi dan prosa berbahasa Jawa di Jaya Baya dan Panjebar Semangat. Buku-buku sastra (berbahasa) Jawa masih terbit. Penghargaan-penghargaan pun diberikan berdalih pemuliaan sastra dan pengarang, terutama Hadiah Sastra Rancage dengan penggerak Ajip Rosidi.

Kita mengingat sejenak majalah berbahasa Jawa. Majalah berusia tua dan masih terbit itu bernama Panjebar Semangat. Majalah mengingatkan dua nama penting: Soetomo dan Imam Soepardi. Mereka menggerakkan Panjebar Semangat dengan gairah tak pernah putus meski berhadapan dengan lakon kolonialisme, revolusi, dan sekian perubahan tatanan zaman modern. Dulu majalah itu ibarat ’’rahim’’ atau ’’rumah’’ bagi para pengarang sastra (berbahasa) Jawa, dari masa ke masa. Sejak 1933, Panjebar Semangat memang membagi semangat ke orang-orang mau menulis dan membaca, mengiringi zaman kemajuan sedang berlangsung di Jawa. Kini majalah itu terus terbit, pantang untuk punah. Semangat tak pernah padam. Majalah itu bergerak ’’tertatih’’, tapi menghindari ’’letih’’ atau ’’selesai’’.

Pada masa 1960-an, Panjebar Semangat tampil sebagai majalah terlaris dan berpengaruh. Majalah berbahasa Jawa itu mengalahkan sekian terbitan majalah berbahasa Jawa dan Indonesia. Oplah majalah mencapai 85 ribu eksemplar (Tempo, 13 Oktober 2013). Masa lalu mengagumkan itu mustahil terulang sampai sekarang. Pasang surut majalah bukan menjadi dalih berhenti atau kapok. Panjebar Semangat masih mengingat petuah Soetomo di penamaan majalah: ’’Semangat kang kita sebarake yaiku semangat kang mbangunake kesadharan kang bisa nglairake gumregahe bangsa kita ngabdi marang kebeneran, tundhuk marang kesucian sarta sumarah marang keadilan.’’ Majalah mengajak orang-orang gumregah, memiliki kemauan dan perbuatan tanpa malu, takut, dan ragu.

Panjebar Semangat dan sekian majalah dari masa lalu (Jaya Baya, Mekar Sari, Djaka Lodang) mengenalkan pengarang-pengarang mumpuni: Suparto Brata, Any Asmara, Tamsir, Esmiet, Widi Widajat, Iesmaniasita, dan lain-lain. Mereka menjadi legenda dan panutan bagi pengarang-pengarang baru. Kini ikhtiar melestarikan atau memajukan sastra (berbahasa) Jawa masih mungkin terjadi dengan kesungguhan para penggerak majalah Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Zaman digital dan penurunan jumlah pembaca majalah berbahasa Jawa belum sanggup memberi ’’kiamat’’. Kita membuktikan saat 2019 berlalu, dua majalah itu sudah mulai menerbitkan edisi bertahun 2020. Sejarah terus dibuat dengan kesederhanaan dan kewajaran.

Sejarah itu bakal terbaca lagi dengan penerbitan buku-buku mengenai sejarah atau kritik sastra. Di Batu, penulis bercakap dengan editor penerbit kondang. Ada kemauan untuk menerbitkan ulang buku berjudul Novel Berbahasa Jawa susunan George Quinn. Buku pernah terbit 1992 oleh KITLV dan IKIP Semarang Press. Buku itu terbit melawan arus dari keberlimpahan terbitan buku-buku (kajian) mengenai sastra berbahasa Indonesia. George Quinn berasal dari negeri jauh, datang sebagai sarjana asing sebelum mengalami ’’menjadi’’ Jawa. Quinn memiliki 3 misi: (1) mencatat keberadaan novel berbahasa Jawa; (2) menjelaskan sifat-sifat sastra dalam novel-novel Jawa; (3) menguak jati diri sastra Jawa modern.

Buku itu anggap saja babon bagi kita yang ingin kembali menekuni sastra (berbahasa) Jawa, sejak puluhan tahun lalu. Sastra itu ditentukan oleh keraton, penerbit, pers, institusi pendidikan-kultural, birokrasi, toko buku, perpustakaan, dan lain-lain. Studi Quinn memuat pelbagai bantahan atas perdebatan nasib sastra (berbahasa) Jawa di alur politik, perbukuan, pendidikan, dan kesusastraan di Indonesia. Quinn sering marah membaca pendapat para kritikus sastra dan sarjana saat meremehkan sastra berbahasa Jawa. Sekian orang menganggap sastra Jawa ’’sekadar bayangan tiruan sastra Indonesia.’’ Pendapat itu fatal dan keliru! Kesialan sering menimpa sastra (berbahasa) Jawa. Quinn menjelaskan: ’’Kemungkinan bahwa sastra Jawa memiliki ciri khas tersendiri, tidak hanya karena ditulis dalam bahasa yang berbeda, tampaknya telah dikesampingkan oleh kekuasaan dan status sastra nasional, bangun kritiknya, dan retorika nasionalisme.’’

Nasib sastra (berbahasa) Jawa sering diprihatinkan. Kongres, seminar, atau diskusi diselenggarakan dengan tema-tema besar dan berlebihan. Lomba dan pemberian anugerah dilaksanakan dengan kesulitan ’’menghitung’’ dampak. Pemahaman masih baku: sastra (berbahasa) Jawa itu cenderung sial dibandingkan dengan sastra (berbahasa) Indonesia. Orang-orang lekas meminta pertanggungjawaban ke pemerintah. Di mata mereka, pemerintah pasti salah. Undang-undang atau peraturan ada untuk melestarikan atau mengembangkan bahasa dan sastra (berbahasa) daerah, tapi pemerintah selalu gagal dan salah.

Anggapan itu mendingan disingkirkan. Orang berhak mengerti sastra (berbahasa) Jawa tanpa ada urusan dengan pemerintah. Sikap galak pun boleh diajukan dengan tuduhan pemerintah membikin masalah-masalah bagi kehidupan sastra (berbahasa) Jawa.

Kita memulai 2020 tak memiliki kewajiban memasrahkan masalah sastra ke pemerintah. Ingat, pemerintah sudah sibuk. Sastra itu bukan ’’sibuk’’, tapi kegirangan dan keikhlasan mengartikan segala. Pemerintah tak terlalu diperlukan atau dipaksa bertanggung jawab. Kita memilih menambahi gairah berpikiran sastra tanpa perlu cap berbahasa Indonesia atau berbahasa Jawa dengan mengutip puisi gubahan Sindhunata. Sejak lama, Sindhunata memang emoh memikirkan puisi diakui di sastra Indonesia atau Jawa. Ia menulis dalam dua bahasa, tak meminta pengakuan atau tepuk tangan klise.

Sindhunata dalam puisi berjudul Ramalane Pasar Kembang, kita membaca tanpa sibuk membuat pengesahan atau argumentasi masuk di urusan sastra berbahasa Indonesia atau Jawa: Yen pasar ilang kumandhange,/ wong Jawa wegah mangan sega,/ ora gelem gogoh-gogoh golek swarga,/ sing dioyak mung nikmati donya.// Yen pasar tela ilang kumandhange,/ wong Jawa lali yen gethuk asale saka tela,/ terus irunge tambah suwe tambah dawa,/ senengane wong Jawa dadi goroh. Kita membaca tanpa perlu tergesa menerjemahkan ke bahasa Indonesia. Sindhunata menginginkan itu berbahasa Jawa. Begitu.
***

*) Bandung Mawardi, pemenang 3 sayembara Kritik Sastra DKJ 2019, kuncen Bilik Literasi, penulis buku Pengisah dan Pengasih (2019).
https://www.jawapos.com/minggu/saujana/05/01/2020/sastra-berbahasa-jawa/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *