Maman S. Mahayana *
Dibandingkan teman-teman dari Pekanbaru, Tanjungpinang, Batam, dan Padang; juga teman-teman dari Malaysia dan Brunei Darussalam, saya terlambat mengenalnya: novelis Singapura yang prolifik dan humanis. Namanya Rohani Din. Sekitar 20-an novel sudah dihasilkannya. Novel-novelnya tebal. Satu di antaranya, berjudul Diari Bonda (Kuala Lumpur: Creative Enterprise Sdn. Bhd., 2004, 738 halaman) yang dalam setahun penerbitannya telah mengalami cetak ulang.
Sebagian besar novelnya terbit di Kuala Lumpur, sebagiannya lagi terbit di Singapura dan Jakarta. Rupanya, dunia Melayu dan nostalgia masa kanak-kanak yang menjadikan novel-novelnya banyak diminati pembaca. Penggemarnya cukup ramai yang berkirim surat, sms, e-mail atau pesan melalui facebook. Maka penjualan bukunya sering dilakukan sendiri melalui pemesanan langsung.
Beberapa kali saya bertemu dengan Rohani Din di Kuala Lumpur, Jakarta, Jambi, Pekanbaru atau di mana-mana tempat. Ketika Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) VIII diselenggarakan di Prince of Songkla University, Pattani, Thailand Selatan, 21—24 November 2015, kembali, saya jumpa Rohani Din. Seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, tidak ada yang istimewa. Kami berbincang sekadarnya, becanda ringan, dan ketawa-ketiwi. Meski begitu, kesukaannya mentraktir teman-teman dari Indonesia untuk sekadar makan, minum kopi atau belanja pernak-pernik cenderamata, cukup menarik perhatian. Tampaknya dia nothing to lose, nyantei saja melakukannya.
***
Pada awal April 2018 saya mendapat undangan mengajar Kritik Sastra untuk semester pendek di National Institute of Education (NIE), Nanyang Technological University (NTU), Singapore, 4—14 Juni 2018. Saya tahu, tanggal itu merupakan sepuluh hari terakhir Ramadan. Jadi, sambil berharap mendapat malam lailatul qadar, saya bersuka cita menerima tawaran itu. Rencana saya mengajar di NIE itu rupanya sudah dipersiapkan segala sesuatunya oleh rekan pengajar di sana, terutama Prof. Dr. Sa’eda Buang, Prof Dr Madya Roksana, dan Prof Dr Hadijah Rahmat.
Untuk tinggal selama di Singapura, pihak NIE sudah menyediakan sebuah kamar yang nyaman di Nanyang Executive Centre (NEC), Guest House untuk dosen atau mahasiswa asing. Wisma Tamu itu terletak di kompleks kampus NIE yang cukup luas. Pihak wisma menyediakan sarapan dan makan siang. Tetapi, karena bulan Ramadan, saya terpaksa mencari makan untuk buka puasa dan sahur di kedai atau di restoran di kawasan mal atau pusat perbelanjaan yang mesti ditempuh dengan naik bus. Oh, repotnya.
Untuk pergi mengajar dan kembali ke wisma, seorang mahasiswa Singapore, menjemput-antar saya pakai mobil pribadinya, Roll Royce. Namanya, Awaluddin, mantan tentara perdamaian internasional Singapore yang pensiun dini dan kemudian beralih profesi sebagai guru Melayu. Kini ia menempuh S-2 di NIE. Jika ada waktu luang, ia membawa saya jalan-jalan berkeliling Singapura.
Hari pertama, Prof. Dr. Sa’eda Buang memberi saya makanan untuk berbuka dan untuk sahur. Hari kedua, giliran Prof Roksana. Hari ketiga Awaluddin mengajak saya buka bersama di Masjid Raya. Begitulah untuk makanan berbuka puasa hari berikutnya giliran mahasiswa yang membawa saya di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari Sabtu dan Minggu, tidak ada kuliah. Saya harus ke pusat kota untuk berbuka puasa dan menyiapkan bekal sahur. Pada saat itulah, Tuhan seperti mengirim malaikat.
Siang itu, resepsionis memberi tahu, ada tamu yang ingin jumpa saya. Siapakah gerangan dia? Tadinya saya ingin ke tempat sastrawan senior Singapura, Suratman Markasan. Tetapi, kabarnya dia sudah pindah ke Johor. Sastrawan Singapura lainnya, tidak punya kontak, juga belum saya kenal. Jadi, siapakah tamu itu?
Saya turun ke lobi. Seorang perempuan setengah baya rupanya sudah menunggu: Bunda Anie Din! Sebuah kejutan.
Setelah bertegur-sapa dan berbincang sebentar, Bunda mengajak saya ke apartemennya di Toa Payoh, Lorong 8, Singapura. Cukup jauh perjalanannya. Naik bus, ganti kereta MRT, kemudian naik bus lagi. Bunda sengaja tidak naik taksi, biar saya bisa jalan-jalan sendiri. Ia membelikan saya kartu yang bisa digunakan untuk naik bus dan kereta. Sebelum sampai ke Lorong 8, kami mampir di supermarket dan membeli sejumlah bahan makanan untuk berbuka puasa.
***
Apartemen itu berada di lantai 6. Dihuni tiga orang: Bunda, suaminya, Jumadi Safar, dan seorang putrinya (maaf lupa namanya). Meski sekali pernah bertemu dengan suami Bunda di Jakarta, saat itulah saya tahu kondisinya. Abah, begitu kami memanggilnya, duduk di kursi. Salah satu kakinya nyaris tak dapat digerakkan. Dan Bunda merawatnya dengan sepenuh cinta.
Sementara Bunda Anie Din menyiapkan santapan untuk berbuka puasa, saya dan Abah berbincang tentang banyak hal. Rupanya, Abah sudah cukup lama menderita stroke. Pengobatan dengan berbagai cara sudah dilakukan. Dan Bunda, setia menemani dan melayani berbagai keperluannya. Di luar itu, Abah pun ternyata suami yang memahami profesi istrinya. Maka, dibiarkanlah Bunda melakukan berbagai aktivitas sastra di dalam atau di luar Singapura.
Menjelang berbuka puasa, beberapa sastrawan Singapura datang. Juga TKI yang bekerja di Singapura. Rupanya, Bunda sudah mengundang teman-teman lain buka bersama di apartemennya. Lebih dari sepuluh orang, kami berbuka puasa bersama berbincang tentang sastra, puisi, dan apa saja. Malam itu, kamar Bunda Anie Din penuh tawa. Abah menikmati suasana kehebohan itu sambil sekali-sekala ikut dalam perbincangan.
Sekitar jam 21.00 waktu Singapura, saya pamit. Kembali ke NEC di kompleks kampus NIE. Dodi Henris, dramawan dan penyair Singapura, mengantar saya. Dalam perjalanan, perbincangan dengan Dodi Henris lebih banyak menyentuh masalah dunia laki-laki. Meski begitu, di antara itu, sosok Bunda Anie Din, mulai terkuak. Rupanya, Bunda sejak lama berperan sebagai bunda bagi sastrawan-sastrawan muda Singapura.
***
Hari Minggu, sengaja saya bangun siang. Tak ada kegiatan, kecuali menyiapkan bahan kuliah untuk esok. Rupanya, Bunda meminta penyair Singapura yang—puisi-puisinya agak berlainan dengan puisi penyair Singapura seangkatannya, Cikgu Karmin, untuk membawa saya berbuka puasa bersama Bunda Anie Din. Tentu saya tak dapat menolak. Karena dengan begitu, perkara berbuka sudah dapat diselesaikan.
Dengan mobilnya, Cikgu Karmin membawa saya berputar-putar mencari janur untuk ketupat lebaran. Betapa sulitnya orang Melayu mencari janur di Singapura. Di tengah kota, tidak ada lagi pohon kelapa. Kalaupun ada, konon, pohon itu sudah milik pemerintah. Orang tak boleh sembarangan mengambil daunnya.
Sekitar jam 16.00 kami tiba di apartemen Bunda di Toa Payoh, Lorong 8. Dan menjelang magrib, kami berempat: saya, Cikgu Karmin, Bunda, dan Abah, pergi ke kawasan Geylang (atau kawasan apa, saya lupa). Wow! Pasar kuliner. Berderet-deret anak-anak muda antre membeli makanan selera milineal. Setiap gerai makanan, penuh pengunjung yang didominasi anak-anak muda.
Ketika kami melewati sebuah masjid, Abah mengajak kami berhenti sebentar untuk solat magrib. Bergantian orang-orang keluar-masuk masjid. Ada juga sejumlah orang duduk berderet, entah sedang menunggui apa. Belakangan, saya diberi tahu, jika mereka yang duduk berderet itu adalah para mualaf.
Kami keluar masjid—yang ternyata masjid Ahmadiyah. Cikgu Karmin membawa kami ke sebuah restoran Melayu. Bunda bertindak sebagai pemandu untuk pemesanan makanan. Buka puasa dengan menu masakan Melayu, di pusat kota Singapura, di tengah hiruk-pikuk orang-orang beragam suku bangsa, bagi saya, adalah pengalaman yang eksotik, khas, yang belum tentu dapat saya ulangi lagi.
Selepas makan, sambil minum dan menikmati semacam martabak Melayu, kami berbincang macam-macam. Cikgu Karmin tiba-tiba menarik tangan saya, membawa saya ke kios-kios busana. Dan malam itu, Cikgu Karmin menghadiahi saya celana sarung, yaitu sarung yang didesain seperti celana.
Menjelang malam, Cikgu Karmin mengantar Bunda dan Abah ke apartemennya. Selepas itu, mengantar saya kembali ke Nanyang Executive Centre.
Begitulah, sepuluh hari terakhir Ramadan di Singapura mencipta kenangan yang tak gampang lekang. Tanggal 13 Juni 2018, sehari sebelum Iedul Fitri, petugas Nanyang Executive Centre mengantar saya ke Bandara Changi. Begitu memasuki bandara, Bunda Anie Din ternyata sudah menunggu di sana. Ia membawa pokok bunga yang tumbuh di depan kamar apartemennya. Tentu saja saya senang menerimanya. Kini pokok bunga dari Singapura itu tumbuh subur di halaman beberapa rumah di Bojonggede. Bunganya merah-indah, daun mudanya, saya telan sebagai lalaban. Memasuki pemeriksaan imigrasi bandara, kami berpisah.
***
Sebuah penelitian tentang “Syair Kampung Gelam Terbakar” karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, membawa kami kembali ke Singapura, 25—27 Juni 2018. Saya, Bastian Zulyeno, Ade Solihat, dan Suranta, sebagai tim peneliti UI, bermaksud melacak bagaimana kebakaran yang terjadi di Kampung Gelam, 12 Februari 1847, sebagaimana yang dikisahkan Abdullah Munsyi dalam sebuah syairnya. Apakah jejaknya masih dapat ditelusuri sekarang? Tentu saja penelitian itu tidak hendak mencari puing-puing bangunan yang terbakar, melainkan semangat toleransi dan tolong-menolong masyarakat Kampung Gelam yang heterogen.
Sebelum ke Singapura, kami menghubungi Bunda Anie Din. Maka, begitu kami sampai di Bandara Changi, kami langsung ke apartemennya di Toa Payoh, Lorong 8.
Bunda dan Abah menyambut kami dengan riang gembira. Ia setengah memaksa mempersilakan kami tinggal di apartemennya. Jadi, selama penelitian itu, kami berempat tinggal di apartemen Bunda.
Penelitian kami berjalan lancar, sebab Bunda berperan sebagai pemandu. Selama tiga hari itu, kami berbincang banyak hal dengan Abah. Luar biasa orang ini! Supersabar menerima kondisi fisiknya yang tak dapat bergerak bebas; selalu well come menerima tetamu siapa pun dan dari mana pun datangnya. Belakangan saya tahu, sejumlah besar sastrawan dari Riau, Jakarta, Jambi, Batam, dan seterusnya yang kenal Bunda, jika ke Singapura, menginap di apartemen Bunda. Toa Payoh, Lorong 8 sering kali juga disebut Wisma Sastrawan Indonesia.
***
Ketika ada kabar, Bunda jatuh sakit di Malaysia, dan dirawat di sebuah rumah sakit di Kuala Lumpur, saya membayangkan, betapa repotnya Abah menemani sang istri tercinta. Tetapi, sejauh saya mengenalnya, Abah manusia supertabah. Jadi, pastilah tak ada keluh kesah. Ia begitu tenang menghadapi hidupnya yang harus menanggung beban kakinya yang tidak dapat bergerak bebas. Tentu ia akan memperlihatkan ketenangan yang sama dalam menghadapi sang istri yang terbaring sakit.
Begitulah, Bunda Anie Din dan Abah Jumadi Safar, suami—istri, dua makhluk Tuhan yang rupanya sudah ditakdirkan untuk merawat kesabaran, ketabahan, dan keterbukaan menerima siapa pun di apartemennya. Keduanya bagai sepasang lilin yang rela meleleh, hanya untuk memberi penerangan pada alam, pada sesama. Kini, Abah telah pergi, tetapi Bunda selalu tidak sendiri, karena “anak-anak asuhnya” bertebaran di wilayah Nusantara ini. Bersabarlah Bunda, sebagaimana Abah telah mengajari, bagaimana merawat kesabaran dan ketabahan.
Terima kasih Bunda, terima kasih Abah. Saya berkesempatan melihat sepasang lilin bercahaya di rumah malaikat!
***
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).