Tuhan, Imajinasi Manusia, dan Kebebasan Mencipta

H.B. Jassin

SIFAT 20 menyebutkan bahwa Tuhan Melihat. –Apakah Ia punya Mata? Tuhan Mendengar. –Apakah Ia punya Mulut? Punya Lidah? –Kalau Tuhan bisa murka sebagaimana dikatakan dalam Al-Quran, mengapa Ia tidak bisa Tersenyum atau Tertawa?

Tidak! Tidak semua itu!! Apa pun pertanyaan kita dan apa pun jawaban kita, senantiasa Ia lebih dari mempunyai sifat dan keadaan yang bisa kita gambarkan. Ia adalah Mukhalafat lil hawadith, beda dari segala yang baru.

Tuhan terlalu Besar untuk bisa dimengerti. Kita hanya dapat menggambarkan-Nya dengan kemampuan kita masing-masing dan kita tahu bahwa gambar itu bukan Tuhan. Tetapi sebagai manusia pencari, kita mau menggambarkan-Nya juga, seperti kata Amir Hamzah:

Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Maka apabila seorang pengarang atau seorang pelukis menggambarakan Tuhan dengan kata-kata, dengan lukisan, ataupun dengan patung, dia tahu bahwa itu bukanlah Tuhan, tapi Ide Ketuhanan. Demikian pula orang lain, umat yang melihat, mereka tahu bahwa itu bukanlah Tuhan, tapi ide Ketuhanan.

“Untuk melihat pekerjaan Tuhan, lihatlah pekerjaan diri sendiri,” kata penyair Rumi. [1] Tentulah bukan maksud Rumi hendak menghina Tuhan dengan ucapan ini.

Larangan untuk “mempersonifikasikan” Tuhan, sekalipun hanya dalam imajinasi, sama dengan meniadakan Tuhan dalam hati sanubari kita.

Jangankan Kenyataan Tuhan, kenyataan manusia saja pun tidak dapat dicakup oleh manusia. Tatkala seorang pengarang membuat sebuah novel tentang diri saya, [2] saya tidak merasa bahwa pengarang itu telah berhasil melukiskan seluruh eksistensi diri saya dan meskipun ada sudut-sudut negatif yang disorotinya, saya tidak merasa terkena, karena pandangan itu adalah pandangan dari sudut si pengarang belaka. Saya merasa lebih tahu dan dapat mempertanggungjawabkan apa yang dianggap sebagai kesalahan saya dari sudut yang baik. Dan saya tidak perlu marah, karena bagaimana pun juga, suatu hasil karya adalah hasil imajinasi artistik yang tidak identik sama dengan kenyataan objektif.

Dengan demikian saya pun tidak berpendapat bahwa Tuhan menjadi murka, karena manusia masing-masing mempunyai tanggapan yang terbatas mengenai Zat-Nya yang tidak tersebut dan tidak terbayangkan secara lengkap apalagi sempurna. Zat-Nya yang entah berapa dimensional hanya kita tanggapi dengan pikiran kita sebagai manusia yang tiga dimensional.

Orang menguatirkan apabila tuhan digambarkan dengan sifat-sifat manusia, mungkin orang akan terlalu meremehkan-Nya. Misalnya Ia digambarkan pilek (selesma), sakit keras atau mungkin juga mati. –Zat yang Maha Tinggi tak mungkin mati dan Ia tidak mati meskipun orang seribu kali mengatakan Ia telah mati. Mati hanyalah pengertian dalam benak si pengarang, atau dalam arti yang lain sebagaimana matinya-Nietzsche ialah Ide Ketuhanan dalam hati manusia yang memperalat Tuhan untuk kepentingan dirinya sendiri.

Beberapa tahun yang lalu saya bercakap-cakap dengan seorang pelukis yang mengatakan bahwa ia merasa tertekan jiwanya karena tidak leluasa dapat mengekspresikan dirinya dengan lukisan akibat larangan dalam agama. Ia pun ingin mengembangkan bakatnya dalam seni pahat, tapi senantiasa ia terbentur pada orang-orang yang melarang pemahaman bentuk benda yang bernyawa, baik manusia maupun binatang.

Saya kira seniman-seniman Barat dalam hal ini mempunyai kebebasan yang lebih besar dan sejarah nabi-nabi menjadi sumber yang tak kering-keringnya bagi imajinasi seniman-seniman Barat yang kaya. Mereka menggambarkan kelebihan Nabi Isa, peristiwa-peristiwa dalam perjalanan hidupnya menyebarkan cinta kasih sampai-sampai kepada kematiannya yang penuh pengorbanan dan penderitaan. Mereka dalam imajinasinya menghayati kembali perjalanan hidup nabinya dan orang yang melihat karya-karya mereka pun dapat merasakan kembali suasana pengabdian yang tulus dan ikhlas itu. Dengan demikian agama dan Ketuhanan bukan sesuatu yang berada di luar diri, tetapi dihayati dengan badan dan jiwa.

Malahan Tuhan digambarkan sebagai orang tua yang turun dari awan-gemawan membawa seorang bayi yang akan dititiskannya ke dalam rahim gadis bernama Maria yang sedang lelap tidur di bumi. Si pelukis pastilah tahu bahwa yang digambarkannya itu bukanlah Jeus yang pernah hidup dan bukan pula Tuhan yang lain dari segala yang lain, tapi ide abstrak yang diaktualisasikan supaya dimengerti oleh manusia.

Dalam tahun 1948 timbul heboh karena sebuah sandiwara radio Bahrum Rangkuti –sekarang Kepala Pusroh Angkatan Laut Republik Indonesia-berjudul Sinar Memancar dari Jabal An-Nur di mana ditampilkan adegan Nabi Muhammad menerima wahyu yang pertama di Gua Hira melalui mikrofon. Rapat raksasa diadakan di mana-mana sebagai protes, karena peristiwa itu dianggap sebagai penghinaan terhadap agama dan Rasulullah. Tapi tatkala drama itu juga dimuat dalam majalah,[3] tidak ada reaksi apa-apa

Disayangkan bahwa dalam polemik yang terjadi tidak dikemukakan alasan-alasan ilmiah berdasarkan ayat-ayat Al-Quran dan hadis, pun tidak dicoba dimengerti persoalan dari sudut perkembangan teknik modern dan ilmu jiwa masyarakat yang dinamis.

Pengarang Di Bawah Lindungan Ka’bah pun pernah diserang karena ia sebagai ulama mengarang roman-roman yang bertemakan percintaan. Padahal melalui roman pun pengarang dapat menjalinkan pikiran yang tinggi-tinggi dan mulia-mulia dan dengan demikian mengisi jiwa manusia.

Kita telah menikmati film-film dari Barat menceritakan perjalanan hidup Nabi-nabi seperti Quo Vadis, King of Kings, The Ten Commandments, Buddha. Dalam Quo Vadis diperlihatkan bagaimana Nabi Isa as. Menyebarkan ajarannya dengan berbagai penderitaan. Dalam The Ten Commandments bagaimana Nabi Musa as. menerima wahyu yang pertama dari Tuhan dan mukjizat Tuhan membelah Laut Merah jadi dua untuk memberi jalan kepada pelarian kaum Yahudi menyelamatkan diri dari kejaran tentara Fir’aun.

Dan kita bertanya kapankah para sineas Indonesia memfilmkan pula peristiwa-peristiwa bersejarah dalam Al-Quran dan sejarah gemilang kerajaan-kerajaan Islam dalam masa jayanya?

Kebebasan mencipta adalah soal yang penting dipikirkan dan disadari oleh para seniman, terutama seniman muda yang hendak mengabdikan seninya sebagai dakwah agama. Dan ini perlu dibicarakan dalam tingkat yang lebih tinggi dan iklim yang jernih, lepas dari emosi yang berkobar-kobar dan meluap-luap.

Socrates telah dipaksa minum racun karena ia dianggap berbahaya mengajarkan cara berpikir yang logis dialektis kepada para pemuda dalam mencari kebenaran. Ia dihukum oleh orang-orang yang takut akan kebenaran. Tapi kebenaran tidak turut binasa bersamanya.

Jakarta, 11 November 1968

[Horison, Tahun II No.11, November 1968]

[1] Menurut Oemar Amin Hoesin, Gelanggang Sastra, Jakarta, Penerbitan Pustaka Islam (1953), muka 48.

[2] Idrus, Perempuan dan Kebangsaan, majalah Indonesia, tahun I No.4, Mei 1949.

[3] Indonesia, Tahun I No. 6, Juli 1949.

Tulisan sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2020/02/kakaren-simposium-kritik-sastra/

Sepilihan Esai & Kritik Sastra, Copyright © Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Cetakan Pertama, Juli 2017, ISBN: 978-602-6447-29-6, KURATOR/ EDITOR: MAMAN S MAHAYANA, Hak Posting: PUstaka puJAngga (PuJa).

One Reply to “Tuhan, Imajinasi Manusia, dan Kebebasan Mencipta”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *