Bur Rasuanto
Sebuah pembahasan tentang konsep “humanisme universal” telah dibuat oleh seorang penulis Soviet Leonid Novichenko dan dimuat dalam bulanan Soviet Literature No. 8, Agustus 1963 yang lalu. Di bawah judul “Seorang Manusia, Seorang Komunis”, penulis Soviet ini menandaskan pada awal tulisannya, bahwa konsep “kemanusiaan universal” sesungguhnya tidaklah pernah terpisah dari paham Marxisme.
Penegasan yang telah diberikan di tempat paling dahulu dalam tulisannya itu, oleh penulis Soviet ini dimaksudkan untuk memperingatkan para penulis terutama penulis-penulis yang berpaham Marxis sendiri, bahwa tidaklah benar kalau konsep “humanisme universal” itu tidak sejalan, apalagi bertentangan dengan paham Marxisme. Untuk membenarkan pendapatnya itu, Leonid Novichenko menunjukkan pada apa yang pernah dikomentarkan oleh Marx sendiri tentang kesenian Yunani Kuno yang merupakan refleksi “mata-mata permulaan dari masyarakat manusia”, di mana terdapat jalinan yang kuat antara manusia sebagai insan dengan kesatuan perkembangan sejarahnya.
Penulis Soviet ini juga berpendapat, bahwa pernyataan paling tinggi dari “kemanusiaan universal” adalah hakikat sesungguhnya dari kemanusiaan yang membuat seseorang menjadi Manusia. Akan tetapi diakuinya pula, bahwa isi dari humanisme itu berubah-ubah pada setiap zaman. Dalam hubungan ini, melalui approach paham yang dianutnya tidaklah lupa — dan ini justru merupakan salah satu titik berat pembahasannya ini — oleh Novichenko dikatakakan, bahwa “kemanusiaan universal” itu sendiri mempunyai dua sisi yang dari uraian penulis Soviet ini dapat kita simpulkan, bahwa sisi yang satu adalah sisi kemanusiaan yang palsu dan dibuat-buat, sedang sisi yang lainnya adalah sisi kemanusiaan yang real dan sungguh-sungguh.
“Kemanusiaan universal” yang diformulasikan oleh kaum borjuis-liberal, yang sebenarnya tidak lain dari akal-akalan kelas borjuis untuk mengaburkan kontradiksi antagonistis antara kelas mereka yang kecil jumlahnya dengan pengaburan kontradiksi dengan berselimutkan “kemanusiaan” ini tidak lain untuk melindungi kepentingan kelas pemeras tersebut. Akan tetapi, “kemanusiaan universal” yang mengandung kemanusiaan yang sebenarnya, menurut penulis Soviet ini adalah kemanusiaan yang sebenarnya, dan dituntut serta diperjuangkan oleh kelas pekerja, di mana pencapaian sebenarnya adalah apabila tercapainya masyarakat komunis.
Dikatakan karena komunisme merupakan ajaran baru, maka kemanusiaan dari “kemanusiaan universal” yang belakangan ini adalah kemanusiaan dalam pengertian baru, untuk membedakannya dengan kemanusiaan universal” dalam pengertian lama yang kemanusiaannya adalah kemanusiaan kelas pemeras.
Maka apabila di atas penulis Soviet ini telah mengemukakan, bahwa isi dari humanisme itu berubah-ubah di setiap zaman, maka perubahan isi yang dimaksudnya itu adalah dalam pengertian ini, yaitu sesuai dengan tingkat masyarakat borjuis-kapitalis ke masyarakat sosialis dan akhirnya komunis. Dan “kemanusiaan universal” yang dikatakannya tidak pernah terpisah dari paham marxisme itu adalah “kemanusiaan universal” dalam pengertian baru ini.
Akan tetapi, kata Novichenko, penganut baru marxisme kebanyakan “tidak mengerti hal ini dan telah membuat tafsiran-tafsiran yang keliru mengenai apa itu “kemanusiaan universal” sebenarnya. Kemanusiaan dari ‘kemanusiaan universal” dalam pengertian baru ini tidak lain dari kemanusiaan atau humanisme yang dituntut oleh realisme-sosialis dengan Maxim Gorky yang dianggap sebagai bapaknya. Untuk menjelaskan hal ini Novichenko sengaja mengutip apa yang pernah dikatakan Gorky di tahun 1928:
“… Bahwa pengarang-pengarang komunis tidak boleh tidak haruslah melawan dan memerangi konsep “kemanusiaan universal” dalam pengertiannya yang lama itu, akan tetapi…. suatu approach dalam pengertian baru terhadap gagasan ini telah mulai dijalankan di dunia, dan konsep tua kini sedang diisi dengan pengertian baru.”
Mengikuti jalan pikiran Gorky pula, Novichenko dalam menyinggung kesusastraan Rusia menyatakan, bahwa tugas kesusastraan realisme-sosialis adalah memberikan jawaban yang secara sastra terhadap masalah-masalah dunia yang ditampilkan oleh seluruh perkembangan sejarah. Maka itu, kata Novichenko, apabila benar-benar dimengerti pokok-pokok konkretisasi historis, pengarang-pengarang komunis tidaklah mungkin akan terpisah dari keuniversalan manusia Sophocles dan Euripides, Dante dan Melton, Goethe dan Shelley, Lermotov dan Ivan Franko, Whitman dan Vehaeren, karena mereka bukanlah tokoh-tokoh fiksi, bukanlah ilusi mitologis yang telanjang atau pun hal-hal romantik, melainkan suatu generalisasi yang benar-benar ‘dalam’ dalam pengertian realistik.
Apakah yang penting buat dunia kesusastraan kita dari tulisan Leonid Novichenko ini?
Buat kita di Indonesia yang hidup dalam suatu negara yang sedang berjuang untuk sosialisme dengan Pancasila sebagai landasan ideal, tulisan penulis Soviet ini hanyalah penting buat bahan perbandingan. Tetapi justru sebagai bahan perbandingan ini pula ia memberikan suatu kesimpulan yang sangat berharga. Agaknya bukanlah tidak berdasar, kalau dalam tulisannya ini Novichenko mensinyalir adanya penulis-penulis yang menganut paham Marxisme yang pengertiannya tentang marxis masih cetek, tidak atau belum terbuka terhadap pengertian-pengertian yang terkandung dalam konsep “humanisme universal”, kecuali menerima anggapan dari bisikan-bisikan yang keliru, bahwa konsep tersebut semata-mata konsep kelas borjuis yang sama sekali bertentangan dengan konsep realisme-sosialis.
Sekalipun buat kita di sini konsep “kemanusiaan universal” dalam “pengertian baru” seperti yang dimaksud oleh Novichenko kurang dapat kita terima karena tafsiran yang diberikannya melepaskan aspek-aspek kenasionalan dari kemanusiaan tersebut, suatu pembenaran telah dijelaskan oleh penulis Soviet ini, bahwa anggapan sementara penulis-penulis yang “baru” menganut Marxisme, bahwa “kemanusiaan universal” sangat bertentangan dengan konsep “realisme-sosialis” dengan “humanisme sosialis” sebagai formulasi kemanusiaannya, sama sekali tidak benar alias keliru.
“Humanisme universal” yang menampilkan kemanusiaan sosial yang universal dan “realisme-sosialis” yang menampilkan aspirasi-aspirasi sosial yang universal, kedua-duanya adalah dua segi tuntutan dari satu subjek yang sama, yaitu manusia sebagai insan dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebaliknya pula apabila kemanusiaan dari konsep “humanisme universal” bukan menampilkan kemanusiaan yang sosial dan universal, tetapi kemanusiaan akal-akalan belaka dan mengaburkan kontradiksi antagonistis antara musuh-musuh dan sekutu-sekutu kemanusiaan, serta kemanusiaan “Realisme Sosialis” tidak menampilkan kemanusiaan yang mencerminkan aspirasi-aspirasi sosial yang universal, melainkan ambisi-ambisi individual yang dalam praktiknya justru mengkhianati kemanusiaan itu, maka kedua-duanya adalah juga manifestasi dari akar pikiran yang sama yaitu: antikemanusiaan!
“Perbuatan teror dan penindasan-penindasan, baik secara fisik maupun psikologis untuk memaksakan kehendak-kehendak dan ambisi-ambisi pribadi atau golongan sendiri, adalah praktik-praktik kemanusiaan dalam pengertian semacam yang terakhir ini, di mana pemakaian kata “kemanusiaan” semata-mata hanyalah untuk penyelimutan belaka.
Dalam hubungan ini dapat kita tanyakan konsep “humanisme universal’ di Indonesia yang akhir-akhir ini masih juga banyak diperbincangkan, terutama di kalangan seniman-seniman kita, adakah konsep yang harus dihancurkan sekutu-sekutu kemanusiaan?
Sebelum mencari jawaban atas pertanyaan ini, baiklah kita tidak menghindari kenyataan, bahwa konsep “kemanusiaan universal” yang sedikitnya cenderung mengarah pada pengaburan kontradiksi-antagonistik itu, memang pernah dikibarkan dan dalam hal ini kita ketahui beberapa tokoh seniman kita yang paling banyak bicara dan paling muak dengan konsep “humanisme universal” itu, sekarang ini adalah juga mereka yang dulunya termasuk pendukung-pendukung konsep “humanisme universal” dalam pengertian “palsu” itu!
Dan kalau dewasa ini kita melihat mereka inilah yang paling rajin mengutuk “humanisme universal” itu, dapatlah dimengerti, dan pengertian ini terutama penting buat penulis-penulis generasi baru, bahwa mereka ini sekarang sedang berusaha dengan sekuat tenaga dan dengan segala jalan untuk membersihkan diri dari dosa-dosa masa lampau.
Akan tetapi dari sejarah kesusastraan Indonesia kita memperoleh bukti, bahwa kita pun mengenal konsep “humanisme universal” dalam ‘pengertian baru” ini. H.B. Jassin yang paling banyak dihubungkan dan paling banyak pula disalahkan dengan “humanisme universal” ini, meskipun dengan cara tidak langsung, dapatlah diambil contoh untuk menguji kemanusiaan yang bagaimana yang dikehendaki oleh “humanisme universal” dalam pengertian baru ini ketika ia menulis surat kepada Aoh Kartahadimadja yang dikumpulkan dalam buku “Beberapa Paham Angkatan ’45“:
“….Tendens humanisme ini (maksudnya kerja sama dengan Belanda—Bur) tentu bagus sekali. Tetapi toh ada suara menentang di hati saya. Saya melihat seniman-seniman yang duduk dalam redaksi majalah ini dengan tidak setahunya menjadi alat dalam politik Belanda, yakni melemahkan semangat perlawanan pada nasionalisme yang sedang berkobar menentang Belanda.”
Maka di sini jelas, bahwa “humanisme universal” itu telah ditolak oleh Jassin apabila dengan “humanisme universal” itu hanyalah untuk mengaburkan kontradiksi-antagonistik antara musuh-musuh dan sekutu-sekutu kemanusiaan yang dalam hal ini musuh kemanusiaan itu adalah kolonialisme. Tetapi bukan cuma itu. Malahan dengan menyebutkan “nasionalisme”, maka “humanisme universal” dalam “pengertian baru” itu sekaligus menuntut kemanusiaan yang paling realistik, yaitu kemanusiaan yang berakar pada kenasionalan dan tidak hanya mengawang ke sikap “ultrarevolusioner” yang pada hakikatnya idealistik dan utopis.
Dengan menghubungkan kenyataan ini dengan apa yang telah disinyalir oleh penulis Soviet yang telah kita sebutkan di atas, bahwa banyak di antara penulis-penulis penganut baru marxisme tidak memahami konsep “humanisme universal” ini, maka kita mendapat kesimpulan, bahwa mereka yang dengan rajin bekerja menghancurkan “humanisme universal” di tanah air termasuklah dalam golongan yang disinyalir oleh penulis Soviet Leonid Novichenko tersebut!
Jakarta, 1 Oktober 1963.
[Sumber: Berita Indonesia, Minggu 20 Oktober 1963]
Tulisan sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2020/02/realisme-sosialis-dan-sastra-indonesia/
Sepilihan Esai & Kritik Sastra, Copyright © Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Cetakan Pertama, Juli 2017, ISBN: 978-602-6447-29-6, KURATOR/ EDITOR: MAMAN S MAHAYANA, Hak Posting: PUstaka puJAngga (PuJa).