Raudal Tanjung Banua *
JawaPos 1 Juni 2019
Di kampungku, pesisir Barat Sumatera, mudik pertama-tama dipahami sebagai penunjuk arah. Ia merujuk daerah hulu sungai, gunung, atau sebalik bukit.
Kebalikannya adalah hilir, merujuk muara, pantai dan laut. Umumnya, masyarakat kita memang tidak menyebut arah dalam ungkapan “resmi” mata angin, namun lebih banyak mengacu pada tradisi dan budaya (toponomi).
Tiap daerah saya kira punya persfektif ini. Orang Madura yang mau ke Jawa, misalnya, akan bilang ongga (naik). Orang Jakarta yang mau ke Jogja atau Semarang, lazim bilang “pulang ke Jawa”. Atau jika pun menyebut arah secara rinci, tapi mereka lebih fasih menggunakan sebutan lokal seperti kulon-lor-wetan-kidul (Jawa) dan kaja-kelod (Bali) yang bermakna filosofis. Orang Bali punya istilah lain, segara-gunung (laut-gunung) sebagaimana kami punya istilah ateh-baruah (atas-bawah) yang tak kalah filosofis, jika bukan problematis.
Arah, sebagai mana watak penamaan, tidak steril dari hal-hal hirarkis. Penyebabnya bisa paham etnosentris, kekuasaan sentralistik atau warisan kolonial. Sebutan ongga bagi Madura, jelas menempatkan Jawa sebagai pusat. Arah ka ateh (ke atas) bagi orang kampungku merujuk dominasi Kota Padang sebagai kiblat. Kebetulan kota ini terletak di utara. Sebaliknya, baruah (bawah) merupakan arah selatan yang mengandung suasana senyap dan murung. Kenapa demikian?
Padahal jika ke selatan, kami akan bertemu Bengkulu, Tanjungkarang bahkan Jakarta, ibukota negara. Namun itu tidak menjadi rujukan utama karena “pintu masuk” dan “pintu keluar” bagi daerah saya adalah Kota Padang, dan di sana jalan bersimpang ke mana-mana. Sementara arah Bengkulu bertahun-tahun akses jalannya dibiarkan rusak binasa. Baru belakangan jalan yang merupakan jalur Lintas Barat Sumatera itu dibangun mulus, sehingga arah ke baruah terasa cerah.
Dalam perkembangannya kemudian, mudik lalu diartikan pulang kampung, terutama saat Lebaran. Padahal, seingat saya, bertahun-tahun lalu kami biasa menyebut pulang kampung saja, namun setelah televisi gencar menayangkan liputan mudik, istilah ini pun digunakan secara Nasional. Termasuk di kampung saya. Dalam ritual dan karnaval tahunan ini muncullah tradisi pulang basamo bagi urang awak, mudik gratis dan lain-lain. Uniknya, mudik tidak hanya ke kampung-kampung di hulu sungai atau kaki gunung. Orang yang berasal dari kuala bahkan pesisir juga menyebut mudik untuk kepulangannya dari rantau.
Memang harus diingat, mudik itu menyiratkan pulang kampung untuk waktu tertentu atau sementara waktu. Lazimnya saat Lebaran, demi sowan dan sungkem kepada keluarga. Setelah itu si perantau akan pamit lagi, kembali ke tempatnya semula. Ini ada kaitannya dengan padanan hilir-mudik. Mudik lalu menjadi aktivitas tahunan atau ritual rutin bagi orang-orang yang merantau di suatu tempat, khususnya kota besar.
Dengan begitu, mudik mengandung makna perjalanan kembali ke hulu, ke sumber asal usul, ke haribaan ibu, ke tanah kelahiran. Akan tetapi mudik tidak bisa berdiri sendiri, ia memiliki padanan yang kerap tersembunyi(kan), yakni, hilir. Tanpa hilir, tidak ada mudik, tanpa ada orang menghilir, tidak ada orang pulang ke mudik. Tidak heran, orang Minang biasa menyebut bahwa mereka yang merantau pada hakikatnya juga mencari silsilah baru: ibu cari, saudara cari, induk semang cari dahulu, jika pandai berinduk semang, sama baiknya dengan ibu kandung. Itu kata pantun dan dendang. Maknanya betapa sama kuatnya motivasi antara mereka yang pergi (hilir) dengan mereka yang pulang (mudik).
Karena itu, saya heran, kenapa kebalikan mudik disebut arus balik, bukan arus hilir atau hilir itu sendiri. Padahal secara alamiah, jika kita merujuk arus sungai, arus balik itu justru bermakna mudik, yakni arus yang berbalik ke arah hulu. Sesuatu yang tampaknya mustahil, kecuali pada fenomena alam yang unik di muara Sungai Kampar–berbaliknya arus sungai ke arah hulu, yang disebut bono.
Bagi saya pribadi, mudik bukan hanya menjadi bagian kosakata Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran, namun juga pergulatan menuju pulang secara luas. Maka, mudik tidak hanya mengingatkan saya pada cerpen-cerpen Lebaran yang ditulis Umar Kayam, misalnya, namun juga cerpen “Harimau Tua” Sitor Situmorang yang tidak berhubungan dengan Lebaran.
Mudik juga mengingatkan saya pada cerpen “Jalur Membenam” Wildan Yatim. Dalam perjalanan kembali ke Jawa, setelah mudik ke Tapanuli, tokoh “aku” terjebak jalanan rusak di Pasaman, perbatasan Sumut-Sumbar. Di rumah samping kedai nasi tempat ia “terdampar” ia bertemu mantan kekasihnya yang ternyata masih merindu!
Demikianlah, mudik menjadi arah yang perlu selalu ditelisik, sebab mengandung dimensi dan khazanah yang kaya. Termasuk untuk coba meneroka kata dan istilah lain, sehingga keberadaannya selalu segar dan dinamis lebih dari sekedar istilah dalam kamus. Selamat merayakan Lebaran, selamat mudik!
_____________________
*) Penulis buku “Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai”
https://www.jawapos.com/opini/01/06/2019/arah-mudik/