Eka Kurniawan *
Jawa Pos, 16/11/2019
TEMPO hari sutradara papan atas Hollywood, Martin Scorsese, membuat heboh dengan pernyataannya bahwa film-film Marvel bukan ’’sinema’’. Mereka lebih mirip wahana taman hiburan, sambungnya dalam opini di New York Times (4/11/2019).
Gampang diduga, banyak yang protes. Ada yang menganggapnya sebagai si tua yang gamang menghadapi perubahan zaman. Ada juga yang membela film-film Marvel, bilang film-film itu juga menyajikan hal-hal serius untuk dipikirkan, tak hanya dipenuhi atraksi hiburan dan drama yang diformulasikan.
Kasus semacam itu pada dasarnya sangat umum. Ada banyak penulis, misalnya, yang menganggap novel-novel remaja atau romansa sebagai ”bukan sastra”. Novel-novel itu lebih banyak mengeksploitasi mimpi daripada membentangkan kenyataan, bahkan pada zaman dulu banyak yang menyebutnya picisan.
Atau, coba pergi ke kedai-kedai kopi kecil yang sedang menjamur di berbagai kota. Di tengah kesibukan barista yang mahir mengisahkan berbagai kopi koleksi kedainya, kadangkala kita mendengar kritik terhadap kedai-kedai kopi waralaba: ”Mereka bukan kopi. Itu cuma susu penuh gula dengan rasa kopi.”
Sekilas, kita tengah melihat pertempuran memperebutkan definisi. Maka dengan mudah para pendukungnya saling membela diri, merasa siapa pun berhak atas definisi-definisi tersebut. Film superhero sah disebut sinema, sebagaimana novel romansa sah disebut sastra. Tentu, kedai kopi waralaba internasional pun tetap mengaku sebagai kopi.
Sebagai seorang pembaca, dengan mudah saya juga akan membela banyak jenis-jenis novel sebagai karya sastra. Tak hanya novel romansa, tapi juga cerita silat, novel horor, atau cerita detektif. Seperti film-film Marvel, novel-novel itu juga tak hanya bisa dinikmati sebagai sensasi hiburan semata, tapi juga bisa menjadi pintu diskusi intelektual.
Pokok soalnya saya kira, perebutan klaim soal definisi ini malah menenggelamkan kritik Scorsese yang lebih penting. Kritiknya terutama ditujukan ke bagaimana film-film waralaba itu diproduksi. Sebelum membuat film, mereka melakukan riset pasar, tes penonton, diperiksa, dimodifikasi, diperiksa lagi sampai siap dikonsumsi.
Mungkin ada orang yang bertanya, memangnya apa yang salah dengan sistem semacam itu di bidang perfilman, perbukuan, atau bahkan kuliner? Atau bidang lainnya? Dari sudut pandang bisnis, tampaknya, memang wajar-wajar saja.
Setiap perusahaan yang telah berinvestasi banyak, mau tak mau, berpikir ke sana. Kalau mereka tahu film apa yang akan ditonton, novel apa yang akan dibaca, atau minuman kopi apa yang bakal laku, tentu mereka akan membuatnya. Di sinilah saya kira kritik Scorsese perlu direnungkan dan tak hanya berlaku di dunia film, tapi bahkan di bidang apa pun.
Kecenderungan melihat film semata-mata sebagai produk industrial, dengan kekuatan kapital di belakangnya, jelas secara langsung menciptakan film-film formula. ”Namanya bisa saja sekuel, tapi secara spirit sebetulnya pembuatan ulang,” tulis Scorsese. Dengan kata lain, ia hendak bilang juga: judul boleh beda, isinya sama saja.
Formula ini menciptakan pola produksi, dan karena mereka juga menguasai distribusi dan bioskop, akhirnya menciptakan pola selera penonton. Yang menjadi ancaman jelas keanekaragaman perfilman. Semakin terancam jika distribusi film juga tak memberikan ruang untuk film-film alternatif, dan semakin parah jika selera konsumen akhirnya terbentuk pada formula tertentu.
Keanekaragaman juga yang terancam jika industri perbukuan hanya didominasi bacaan sejenis. Yang harusnya diperdebatkan memang bukan apakah itu sastra atau bukan, tapi bagaimana kekuatan hegemoni kapital penerbit besar maupun toko buku tidak menciptakan bacaan yang nyaris seragam.
Hal yang sama tentu berlaku bagi kopi: jangan sampai suatu masa, satu generasi hanya mengenal kopi tak lebih dari ”campuran susu penuh gula berasa kopi”. Jika ini terjadi, keanekaragaman sumber kopi (dari mana kopi berasal), cara memperlakukan kopi, cara mengolah, hingga cara menyajikan, jelas bisa terancam.
Kritik Scorsese jika dilihat sebatas ”sinema” dan ”bukan sinema” memang tampak emosional. Ujung-ujungnya, orang bisa jatuh pada apologi ”perbedaan selera”. Kita sering lupa, selera juga dibentuk. Industri besar dengan kapital dan distribusi luas memiliki kekuatan yang besar untuk menciptakan selera, menyeragamkan konsumsi. Di film, di sastra, di sajian kopi.
Scorsese hanya menekan tombol alarm. Kita bisa memilih untuk waspada atau terus terlelap.
________________________
*) Eka Kurniawan, lahir di Tasikmalaya, 1975, menyelesaikan pendidikan dari Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta tahun 1999. Pada tahun itu ia menerbitkan buku pertamanya yang berasal dari tugas akhir kuliah, Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Ia menulis cerita pendek, novel, maupun esai di berbagai media.
https://www.jawapos.com/opini/16/11/2019/bukan-sinema-bukan-sastra-juga-bukan-kopi/