Dalam khazanah metodologi kualitatif ilmu sosial dan budaya beberapa tahun belakangan terus berkembang autoetnografi (autoethonopraphy). Autoetnografi sudah melampaui bidang disipliner, bahkan melampaui bidang multidisipliner, sudah masuk bidang transdisipliner. Kendati istilah autoetnografi ini dibentuk dengan memadukan istilah autobiografi dan etnografi, pengertian atau konsep autoetnografi sudah melampaui paduan makna autobiografi dengan etnografi. Maknanya, autoetnografi bukan sekadar penjumlahan autobiografi dan etnografi, tetapi peleburan autobiografi dengan etnografi yang melahirkan autoetnografi.
Mengapa demikian? Kata Stembers (1990), karena “transdisciplinary (adalah) creating a unity of intellectual frameworks beyond the disciplinary perspectives”. Kata Basarab Nicolescu dalam Methodology of Transdisiciplinarity – Levels of Reality, Logic of the Included Middle and Compexity, 2010:27). “Transdisciplinarity concerns that which is at once between the disciplines, across the different disciplines, and beyond all disciplines. Its goal is the understanding of the present world, of which one of the imperatives is the unity of knowledge”. Tak heran, autoetnografi sering dimaknai atau dikonsepsikan sebagai kajian kualitatif ilmu sosial dan budaya yang bertolak dan berpangkal dari pengalaman diri sendiri yang bertungkus lumus dengan kebudayaan untuk memahami dan mendeskripsikan kenyataan sosiologis atau sosiokultural tertentu.
Berkenaan dengan itu, perlu dicamkan benar bahwa autoetnografi bermula, berpangkal, dan bersumber pada pengalaman sendiri dan cerita pribadi, bukan pengalaman dan cerita orang lain. Ini dimaksudkan untuk memahami dan memaparkan matra-matra kebudayaan yang sedang atau telah membentuk diri atau justru dibentuk oleh diri sendiri, yang menjadi kenyataan sosiologis atau sosiokultural. “Autoethnography begins with a personal story, in this case my strory about adoption and family”. Demikian ujar Sarah Wall dalam Easier Said than Done: Writing an Autoethnography (2008) yang memaparkan pengalamannya mengadopsi anak berumur 10 tahun menjadi bagian keluarganya. Lebih lanjut, tegasnya, dari pengalaman adopsi itu dipaparkan perubahan sosial yang mengikuti sebagai sebuah kenyataan soiologis. Ini menandakan bahwa hulu autoetnografi adalah pengalaman diri sendiri dan cerita pribadi dan muara autoetnografi adalah lukisan kenyataan sosiologis atau sosiokultural.
Oleh sebab itu, autoetnografer (autoethnographers) bekerja dengan berfokus pada diri sendiri, budaya, dan tulisan deskriptif, naratif atau puitis. “Autoethnographers vary in their emphasis on auto- (self), -ethno- (the sociocultural connection), and -graphy (the application of the research process)”, tandas Sarah Wall (2008). Tidak mengherankan, seorang autoetnografer perlu berpikir serupa pengamat-pemikir budaya sekaligus menulis serupa pengarang; “thinking like an ethnographer, writing like a novelist”, jelas Carolyn Ellis dalam The Ethnographic I: A Methodological Novel about Autoethnography (2004:330).
Pengalaman Ayu Sutarto (2006) menjadi seorang manusia Jawa sesungguhnya yang dituangkan dalam tulisan Becoming A True Javanese: A Javanese View Of Attempts At Javanisation (2006) menggambarkan cara kerja seorang etnografer. Kerja Ayu bermula dari pengalaman dan cerita diri Ayu Sutarto sendiri, yang kemudian berproses menjadi manusia Jawa sejati (berbudaya Jawa), dan selanjutnya diangkan dalam tulisan naratif semi deskriptif. Demikian juga karya Sarah Wall (2008) berjudul Easier Said than Done: Writing an Autoethnography yang menceritakan pengalaman pribadinya mengadopsi anak berumur 10 tahun bisa menjadi contoh cara kerja seorang autoetnografer.
Contoh lain cara kerja seorang autoetnografer yang menceritakan pengalaman pribadi di bidang pendidikan, kemudian berlanjut memaparkan kenyataan-kenyataan sosiokultural, dan selanjutnya dituliskan dengan gaya naratif dapat dicermati dalam Academic Autoethnographies: Inside Teaching in Higher Education karya Daisy Pillay, dkk (2016). Buku berjudul Music Autoethnographies: Making Autoethnography Sing/Making Music Personal (2009) suntingan Brydie-Leigh Bartleet and Carolyn Ellis juga menggambarkan dengan baik cara-cara kerja para autoetnografer musik.
Ada empat konsekuensi cara kerja seperti tersebut bagi seorang autoetnografer. Pertama, seorang eutoetnografer itu perlu menjadi seorang pengingat atau pencatat yang tekun dan baik atas pengalaman diri sendiri dan cerita pribadi baik bersifat emosional maupun empiris. Kedua, seorang autoetnografer itu pengamat dan pencatat yang cermat dan rajin atas pelbagai matra sosiokultural atau budaya yang membentuk diri sendiri dan atau dibentuk oleh pengalaman diri sendiri dalam sepanjang atau fase tertentu kehidupannya. Ketiga, seorang autoetnografer itu pemikir dan penanggap yang jernih dan tangguh tentang pelbagai matra budaya yang telah membentuk dirinya atau dibentuk oleh dirinya. Keempat, seorang autoetnografer harus dapat menjadi seorang penulis yang fasih menurutkan dan menceritakan pengalaman diri sendiri dan cerita pribadi agar dapat tersungging atau terlukis budaya yang bertungkus lumus dengan dirinya.
Untuk itu, seorang autoetnografer perlu memiliki empat hal. Pertama, ketekunan merefleksikan, mengingat, mencatat, dan mengartikulasikan pengalaman-pengalaman dirinya sendiri dan cerita-cerita pribadinya di tengah habitus kehidupan berkebudayaan. Kedua, ketajaman dan kecermatan mengamati, menggali, menelisik, dan menyelidiki keadaan dan ekologi kebudayaan yang menjadi habitus kehidupannya sebagai kenyataan sosiologis. Ketiga, ketangguhan dan kekokohan memikirkan, merangkaikan, menyimpulkan, dan memaknai hubungan-hubungan pengalaman diri sendiri dan cerita pribadi dengan kenyataan sosiologis kebudayaan yang bertungkus lumus dengan kehidupannya. Keempat, kefasihan dan kepiawaian menuliskan, menceritakan, dan memaparkan pengalaman diri sendiri dan cerita pribadi yang bertungkus lumus dengan kebudayaan sebagai kenyataan sosiologis. Empat hal tersebut menuntut seorang autoetnografer menjadi sosok transdisipliner dan transdimensional yang memerlukan wawasan kecendekiawanan.
Atas hal tersebut kita bisa bertanya di sini: dapatkah seorang Nh Dini diposisikan atau diperankan sebagai seorang autoetnografer, bahkan ditabalkan sebagai seorang autoetnografer? Secara impresif saya merasakan bahwa sosok Nh Dini dapat ditempatkan sebagai seorang autoetnografer yang telah memilih dan membaktikan hidupnya untuk mengingat dan mencatat pengalaman dirinya sendiri dan cerita pribadinya di tengah pelbagai interaksi kebudayaan yang membentuk dirinya atau dibentuk oleh dirinya, dan kemudian menuliskannya sebagai teks naratif tentang sesuatu atau memuat suatu tema dan pesan, dalam hal ini disebut oleh Nh Dini sebagai cerita kenangan. Hal ini didasarkan empat pertimbangan sebagai berikut.
Pertama, dalam pengakuannya tentang proses kreatif yang termuat dalam Naluri yang Mendasari Penciptaan (2009) dengan tegas Nh Dini memaklumatkan diri, “Saya adalah pengarang. Saya adalah pengamat dan pemikir”. Dalam maklumat ini peran pengarang, pengamat, dan pemikir disandangnya secara serempak, paralel dengan peran seorang autoetnografer yang lazim di dunia ilmu sosial dan budaya. Dapat dibayangkan, setiap melukiskan pengalaman diri dan cerita pribadinya yang bertungkus lumus dengan pelbagai corak tradisi dan kebudayaan ke dalam karya tekstualnya, secara serempak Nh Dini bergelut dengan fakta, berimajinasi dengan bebas, berpikir dengan ketat, dan bernalar dengan persuasif selain memainkan perasaan hati. Jika kita baca secara cermat, detail, dan hati-hati bisa dikatakan karya-karya Nh Dini baik cerita pendek maupun cerita panjang yang disebutnya cerita kenangan selalu menampilkan jejak-jejak diri seorang pengarang sekaligus pengamat dan pemikir yang jeli dan cermat.
Kedua, dalam berkarya Nh Dini selalu bermula, berpangkal, dan bersumber pada pengalaman dirinya dan cerita hidupnya sendiri, sebagaimana pernyataannya, “Itulah garis besar yang saya alami [baca: ketercelupan Nh Dini dengan cerita, kesenian, dan kebudayaan Jawa – DS], yang menjadi dasar atau latar belakang kecintaan saya akan “cerita-cerita”. Seperti tecermin dalam tulisan Naluri yang Mendasari Penciptaan, bahkan Nh Dini merupakan seorang pencatat pengalaman diri dan cerita hidupnya sendiri yang tekun, detail, dan berdaya tahan luar biasa selain seorang pengarsip catatan yang baik.
Tidak heran, ketiga, Nh Dini menyebut teks-teks naratif yang digubahnya sebagai cerita kenangan, dan malah menolak sebutan novel atau roman yang disematkan oleh orang lain. Dalam bahasa atau budaya Indonesia, cerita kenangan sering bersulih dengan berita kenangan, yang membayangkan peristiwa nyata dan pengalaman diri sendiri pada masa lalu, sehingga teks-teks naratif Nh Dini selalu memercikkan perbauran antara cerita dan berita, antara imajinasi dan sofistikasi pikiran, antara fakta yang ketat dan fiksi nyang metaforis, antara observasi yang cermat dan figurasi bahasa yang hidup.
Kalau dibaca dan diresapi secara reflektif malah dapat dikatakan di sini bahwa semua teks yang digubah Nh Dini pada dasarnya merupakan cerita kenangan, mulai teks yang digubah pada zaman Orde Baru seperti Sebuah Lorong di Kotaku, Pertemuan Dua Hati, dan Langit dan Bumi Sahabat Kami sampai teks yang digubah pada zaman pascareformasi seperti Dari Rue Saint Simon ke Jalan Lembang (cerita kenangan kedua belas), Dari Parangakik ke Kampuchea, Dari Fontennay ke Magallianes, La Grande Borne, dan Argenteuil. Bahkan Pada Sebuah Kapal dan Tirai Menurun yang diakui sebagai novel ‘beneran’ yang bagus di dalam perbendaharaan sastra Indonesia masih terasakan kental dan tebal nuansa pengalaman dirinya sendiri, cerita kenangannya sendiri.
Oleh karena itu, keempat, karya-karya Nh Dini berupa teks naratif yang ditulis pada masa Orde Baru dan masa pascareformasi senantiasa menampilkan kesinambungan, keterkaitan, keterjalinan, dan hubungan erat serta keserupaan antara satu dan yang lain. Dengan kata lain, antara satu karya dan karya lain Nh Dini bukanlah sebuah patahan cerita kenangan, patahan pengalaman dirinya sendiri. Dalam bahasa lebih akademis, bisa dikatakan, seluruh karya Nh Dini yang notabene cerita kenangan memiliki hubungan intertekstualitas yang sangat kuat dan lekat.
Hubungan intertektualitas yang kuat dan lekat tersebut berporos pada empat hal. Pertama, pengalaman faktual yang diingat dan dicatat dengan detail dan cermat. Kedua, hasil-hasil pengamatan yang tekun dan cermat sepanjang perjalanan diri Nh Dini. Ketiga, deskripsi-deskripsi pikiran dan gagasan yang tajam tentang sesuatu yang terkait dengan tema, misalnya kesetiaan berumah tangga, makna lembaga perkawinan, nasib kesenian tradisi Jawa, dan ketidakadilan gender dan sosial. Terakhir, kelima, imajinasi, figurasi bahasa, dan gaya penuturan yang realis(tis), detail, bahkan “njelimet” dan terkesan lamban pergerakan ceritanya.
Keempat hal tersebut senantiasa terlukis jelas-tegas dalam cerita-cerita kenangan yang sudah digubahnya, sejak Sebuah Lorong di Kotaku sampai Pondok Baca Kembali ke Semarang. Ini semua merupakan konsekuensi logis kepengarangan Nh Dini yang paralel dengan seorang autoetnografer, bahkan peran Nh Dini sebagai autoetnografer. Tak berlebihan kalau dikatakan di sini bahwa NH Dini memberikan sumbangsih pembaharuan fiksi Indonesia, baik dari segi bentuk, substansi maupun konten fiksi Indonesia. Lebih dari itu, NH Dini telah menawarkan sebuah kerja perlawanan tekstual-simbolis terhadap kebekuan dan ketakadilan sosial budaya.
***
____________________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
[Hari ini, 84 tahun lalu, lahir ke dunia NH Dini, salah seorang sastrawan Indonesia yang menancapkan tonggak capaian penting dalam babakan fiksi Indonesia. Selamat harlah NH Dini. Ini sebuah kado apresiasi tak berarti].
One Reply to “CERITA NH DINI SEBAGAI TEKS AUTOETNOGRAFIS”