Djoko Saryono *
Berdasarkan berbagai kajian, amatan, liputan, dan rekaman para pengaji, pemerhati, peliput, dan pencinta wayang [yang dikemukakan secara tertulis, visual, dan disampaikan secara lisan] dapat dikatakan di sini bahwa keberadaan atau kehadiran [eksistensi] wayang sebagai lakon sekaligus seni pertunjukan sudah amat tua [lama] di dalam masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa di samping masyarakat, kebudayaan, dan peradaban lain di Indonesia. Dengan kata lain, hidup wayang tergolong sudah demikian panjang. Kehidupan wayang ibarat kehidupan tokoh Rama Bargawa [Rama Parasu]: demikian panjang, tak mati-mati, meski sedih gembira silih berganti.
Dalam rentang perjalanan kehidupan wayang yang demikian panjang, lakon wayang dan seni pertunjukan wayang berubah, berkembang, dan menjadi beraneka ragam pada satu pihak dan pada pihak lain juga berkurang dan berkarat akibat berbagai faktor yang bersentuhan dengan kehidupan wayang. Dengan berbagai keunggulan dan kelemahannya berhadapan dengan perubahan zaman, wayang telah membuktikan diri mampu hidup secara kenyal [elastis] dan lentur [fleksibel] sehingga sampai sekarang tetap dapat hidup [eksis] sebagai pusaka budaya sekalipun kerap membuat khawatir para pemangku, pencinta, dan pengaji wayang.
Wayang sebagai lakon sekaligus seni pertunjukan dapat hidup sampai sekarang berkat kefundamentalan dan kestrategisannya dalam kehidupan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa dan lain-lain. Dengan kata lain, secara historis, sosiokultural, religiokultural, geokultural, dan antropo-psikologis, keberadaan, kedudukan, peranan, dan fungsi wayang sangat fundamental dan strategis dalam kehidupan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa dan lain-lain.
Pertama, dikatakan fundamental karena keberadaan, kedudukan, peranan, dan fungsi wayang merupakan prasyarat yang harus ada [conditio sine qua non] dalam kehidupan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa [dan lain-lain]. Di sini berlaku adagium: tanpa wayang, tidak ada kejawaan. Kalau orang Inggris berkata bahwa tidak ada Inggris tanpa Shakespeare, di sini dapat dikatakan bahwa tidak ada masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa tanpa wayang [wong lan kabudayan Jowo tanpa wayang mesthi gothang]. Wayang menjadi presensi atau representasi kejawaan, bukan sekadar menjadi identitas kejawaan. Wayang [setidak-tidaknya] menjadi ”tulang sumsum”, bahkan ”jiwa-raga” masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa; dan wayang menjadi pusat, sumbu atau hulu kehidupan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa.
Kedua, dikatakan strategis karena keberadaan, kedudukan, peranan, dan fungsi wayang sangat penting-utama [sentral] sebagai kendaraan atau wahana mencapai tujuan luhur dan sasaran kehidupan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa. Tidak mengherankan, wayang lazim dijadikan acuan, sumber, dan dasar berperasaan, berpikir, bernalar, berlaku, berbuat, dan atau bertindak dalam kehidupan masyarakat, kebudayaan, dan masyarakat Jawa.
Oleh karena itu, wayang sebagai lakon dan seni pertunjukan memiliki kekuatan integratif sekaligus instrumental yang kokoh dalam masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa. Kekuatan integratif wayang mampu mengutuhkan sekaligus merekatkan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa. Kekuatan instrumental wayang dapat mengantarkan sekaligus ”memfasilitasi” masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa mampu mencapai tujuan luhur dan sasaran kehidupan yang dikehendaki bersama. Semua itu menandakan bahwa wayang telah menjadi ”darah daging” masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa [bisa juga masyarakat, kebudayaan, dan peradaban lain yang memiliki tradisi wayang].
Dalam sejarahnya, dinamika perubahan, pergeseran, dan perkembangan wayang sangat tinggi dalam masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa. Dalam hal ini keberadaan, kedudukan, peranan, dan fungsi wayang berubah, bergeser, dan berkembang sangat dinamis dalam masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa. Sebagai contoh, pada masa kuna keberadaan wayang sebagai upacara keagamaan kepada Zat Absolut. Kemudian bergeser sebagai sumbu kebudayaan dan peradaban; selanjutnya bergeser sebagai rujukan dan sumber kehidupan masyarakat dan kebudayaan Jawa. Berikutnya berubah sebagai bentuk tontonan dalam masyarakat dan kebudayaan Jawa.
Pada suatu masa, wayang sebagai lakon dan seni pertunjukan lebih kuat-dominan kedudukannya sebagai integrator masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa. Kemudian lebih kuat-dominan kedudukan wayang sebagai instrumen kepentingan masyarakat dan kebudayaan Jawa. Selaras dengan itu, pada suatu masa peranan integrator wayang lebih dominan, kemudian pada masa lain peranan instrumental wayang justru lebih dominan.
Selanjutnya, pada suatu masa fungsi integrator wayang sebagai presensi atau representasi keutuhan dan kerekatan masyarakat dan kebudayaan Jawa lebih fungsional [misalnya, sebagai identitas masyarakat dan kebudayaan Jawa dan sebagai mitologi-kosmologi masyarakat dan kebudayaan Jawa]. Kemudian pada masa berikutnya fungsi instrumental wayang lebih dominan [misalnya, fungsi spiritual, fungsi filosofis, fungsi etis-moral, fungsi politis, fungsi edukatif, dan fungsi rekreatif].
Semua hal tersebut menunjukkan adanya sebuah transformasi keberadaan, kedudukan, peranan, dan fungsi wayang. Hal ini terjadi sebagai bentuk siasat mempertahankan dan mengembangkan wayang di tengah-tengah dinamika historis, antropo-psikologis, geokultural, religiokultural, dan sosiokultural masyarakat dan kebudayaan Jawa. Dinamika transformasi tradisi wayang tersebut justru membuahkan keanekaragaman dan kekayaan lakon dan seni pertunjukan wayang.
Dalam dinamika transformasi tradisi wayang tersebut berbagai kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan ikut campur, campur tangan, atau ”ikut bermain” secara berarti [signifikan] dan menentukan mengingat demikian fundamental dan strategisnya wayang dalam masyarakat, kebudayaan, dan peradaban Jawa. Tidak mengherankan, dunia wayang menjadi habitus, ranah, arena, dan atau ruang kontestasi [bertarung, bertanding, bersanding, dan atau berunding] aneka kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan, antara lain agama, etika-moral, sosial, politik, ekonomi, dan pendidikan.
Sebagai contoh, aneka kepentingan, kekuatan dan kekuasaan agama silih berganti bertanding, bersanding, dan berunding di dalam dunia wayang sehingga menjadikan lakon wayang, tafsir wayang, dan seni pertunjukan wayang beraneka ragam. Ada lakon, tafsir, dan pertunjukan wayang bercorak pra-Hindu, Hindu, Islam, dan Kejawen [perhatikan, misalnya, lakon beserta tafsir dan pemaknaan Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu]. Seni pertunjukan wayang semakin beraneka ragam dan kaya, misalnya tokoh wayang diperkaya oleh Sunan Kalijaga, dan cerita diperkaya oleh ajaran Islam dan Nasrani.
Demikian juga pelbagai kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan politik berkontestasi [bertanding, bersanding, dan atau berunding] dalam lakon dan pertunjukan wayang [terutama wayang kulit]. Misalnya, pada satu sisi, pada zaman Orde Baru lakon dan pertunjukan wayang kulit dijadikan instrumen legitimasi, sosialisasi program, dan promosi hasil-hasil pembangunan Orde Baru [ingat lakon sekaligus pertunjukan wayang Semar Mbabar Jatidiri]. Pada sisi lain wayang dijadikan instrumen perlawanan kelompok masyarakat tertentu kepada Orde Baru. Pada zaman sekarang [Zaman Reformasi?] lakon dan pertunjukan wayang kulit dijadikan instrumen legitimasi dan sosialisasi penegakan hukum Lihat, misalnya, buku Pedoman Pewayangan Berperspektif Perlindungan Saksi dan Korban, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Pelbagai kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan sosial berkontestasi dalam lakon dan pertunjukan wayang kulit. Misalnya, lakon dan pertunjukan wayang kulit oleh pabrik-pabrik gula di Jawa dijadikan sarana legitimasi dan sosialisasi masa penggilingan tebu selain sarana hiburan bagi masyarakat. Lakon dan pertunjukan wayang sebagai sarana konvervasi ingatan masyarakat akan keberadaan pemerintahan tertentu [ingat wayangan pada peringatan ulang tahun pemerintah daerah].
Pelbagai kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan pendidikan malah sangat kuat-dominan berkontestasi dalam lakon dan pertunjukan wayang sehingga wayang menjadi penggelaran pendidikan bagi masyarakat. Wayang menjadi instrumen sekaligus katalisator pendidikan bagi masyarakat. Wayang menjadi sumber, rujukan, bahan, dan ruang pendidikan bagi masyarakat. Tegasnya, wayang [baca: lakon, pertunjukan, dan komunitas wayang] selalu menjadi habitus, arena, atau ranah kontestasi beraneka ragam kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan. Salah satu di antaranya yang kuat-dominan adalah kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan pendidikan (bersambung, kalau bisa menyambung he he he…)
#ndlemingpagi, 7/3/2020
____________________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.