Fatah Anshori *
Ketika mendengar nama Brasil, yang terkenang di kepala saya hanya sebuah negara dengan keahlian bermain sepakbola yang berlebihan. Kita tidak pernah menengok ke dalam, mengulik kehidupan negara lain. Sementara kita sebagai sebuah negara terlalu banyak mengenal diri sendiri, mengenal bejatnya pemerintahan yang suka menggelapkan uang pajak, mengenal rakyatnya yang segan mengambil pesangon dari seorang calon wakil rakyat untuk memberikan suaranya secara cuma-cuma dalam pemilihan umum, mendengar berita kebakaran hutan, mendengar kasus penculikan, pemerkosaan, bahkan pembunuhan. Mungkin sebagai seorang warga negara kita terlalu banyak mengenal diri sendiri dan terlau sedikit mengenal apa yang terjadi dengan negara lain. Kita seakan terlalu mudah menilai seseorang dari berita atau kabar yang kerap beredar. Yang jarang kita sadari tentu saja di balik itu semua ada hal-hal lain yang belum kita ketahui, ada sesuatu yang masih tertutupi.
Membaca Dona Flor dan Kedua Suaminya seperti sedang mengintip lebih jauh ke dalam tubuh Brasil. Novel ini tidak melulu membicarakan tentang bola, atau bahkan mungkin sama sekali tidak membicarakan bola. Sebagaimana yang kita tahu bahwa Brasil adalah negara produsen penghasil pemain-pemain sepakbola berkualitas dunia. Novel ini bahkan sama sekali tidak menyentuh tentang itu semua. Kita akan di bawa ke sebuah tempat di sekitaran Bahia, Itapoa, Rio Vermelho, dan beberapa tempat di jantung Brasil yang sama sekali asing di telinga. Jorge Amado, penulis yang dilahirkan di Brasil timur laut ini, seakan ingin menunjukkan hal lain tentang Brasil yang tidak melulu sepakbola. Sebagai sebuah negara juga memiliki adat, budaya, mitologi, dan tentu saja hal-hal gelap, atau perkara-perkara cacat yang dianggap menyimpang oleh sekelompok manusia yang menganggap dirinya suci. Seperti skandal, cabul, perjudian dan hal-hal lain yang dilarang dalam kitab umat beragama. Brasil juga melakukan itu semua.
Di sini saya tidak akan mengisahkan secara runtut bagaimana kisah ini terjadi dari awal hingga akhir. Karena tentu saja saya tidak akan ingat detail-detail dari awal hingga akhir. Sejauh saya membaca novel harus saya akui Dona Flor dan Kedua Suaminya adalah novel yang sangat sulit saya pahami dan terlalu lama untuk merampungkannya. Di awal-awal saya sangat sulit menikmati novel ini. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang sedang dibicarakan? Tempat seperti apakah ini? Pertanyaan-pertanyaan itu seolah seperti jutaan lalat yang mengerubungi kepala saya. Amado membuat saya serupa anak kecil yang dilempar ke hiruk pikuk kehidupan masyarakat asing. Novel ini menurut saya terlalu Brasilian, di sana-sini bertaburan istilah asing Brasil, semisal compadre, bastar dan masih banyak lagi. Kita akan dibuat bekerja lebih keras ketika membacanya. Dituntut untuk membuka laman akhir untuk melihat dengan sabar arti istilah-istilah asing yang bertaburan di sepanjang pembacaan novel ini. Ditambah lagi point of view yang diambil Amado sangat tidak biasa, entahlah saya sendiri juga tidak terlalu yakin dengan ini, mungkin ini semacam prasangka saya sendiri, Amado menjadi narator yang terlalu tahu ia lincah keluar masuk isi kelapa setiap tokohnya, narator tidak menceritakan kisah ini hanya berdasar pengakuan atau sudut pandang dari seorang tokoh saja. Dan di awal pembacaan saya merasa ini sangat berat dan mungkin juga karena terlalu banyak tokoh yang disebutkan sekilas saja, tokoh-tokoh itu serupa orang-orang yang berpapasan dengan kita ketika berjalan di sebuah keramaian. Dan tentu saja kita tidak sempat berkenalan dengan mereka satu persatu, kita mungkin hanya akan teringat wajahnya sekilas saja, dan jika bertemu di suatu tempat dan waktu yang lain, ingatan kita mungkin sedikit terusik, namun tidak bisa memastikan di mana kita pernah menjumpainya.
Entah kenapa novel ini membuat saya memikirkan perihal baik dan buruk yang mana keduanya adalah bagian dari hidup, dan kita tidak perlu membunuh salah satunya. Analogi ini ditunjukkan oleh tiga tokoh penting dalam novel ini, Dona Flor, Vadinho, dan Dokter Teodoro. Dona Flor di sini memerankan psikis manusia, ia selalu mengalami tekanan batin. Vadinho, tentu saja lebih cocok memerankan hal buruk yang menurut pandangan umum sangat tercela, ia seorang bergajul, penjudi kelas berat, dan bercinta dengan siapapun yang ia mau, tentu saja ia sangat serampangan, dan sama sekali tak bermoral termasuk ketika di ranjang. Sebaliknya Teodoro adalah perihal baik, lelaki yang menjadi suami kedua Dona Flor ini sangat terpandang, seorang dokter, pemilik apotek, dihormati, juga sangat sopan begitu juga ketika di ranjang. Sebagai psikis manusia Dona Flor sangat tersiksa setelah kematian Vadinho suami pertamanya meski seorang bajingan tidak pernah diharapkan masyarakat, yang kerap memalak uangnya, juga segan menyakiti hati Flor berkali-kali, namun satu yang membuat Flor tidak bisa melupakannya dan sangat kehilangan ketika ia telah mati adalah kejujurannya dalam perihal tidak bermoral. Vadinho mampu melakukan hal-hal yang barangkali tidak bisa dilakukan oleh orang lain termasuk Teodoro, suami kedua Flor, menurut pandangan Masyarakat secara umum sangat berada dan tentu saja sopan, begitu juga ketika diranjang. Dan tentu saja sebagaimana psikis orang normal, Dona Flor tidak cukup bahagia meski sudah memiliki Teodoro, yang berada, berkecukupan, sopan, namun masih ada yang kurang. Dona Flor masih merindukan sisi kekurangajaran Vadinho ketika bercinta. Setidaknya hanya ia yang bisa melakukan segala yang dianggap orang bejat, rusak, invalid yang sesekali memang dibutuhkan dan entah kenapa terasa indah.
Dan pada akhirnya saya kembali teringat sebuah ucapan, membaca novel seperti kata Eka dalam salah satu jurnalnya adalah sebuah usaha kecil meneropong suatu tempat di mana kita asing dengan segalanya.
__________________
*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Belajar menulis sejak pertengahan 2014, dan novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dll. Website: fatahanshori.wordpress.com