(Pelabuhan Kampung Ujung, Muncar di Senja Hari, Foto Aditya Prayuga)
Taufiq Wr. Hidayat *
Apa yang dapat kau hikmatkan lagi dari lautan yang menyimpan ikan? Apakah hidup selalu membutuhkan hikmat? Apakah hidup—pada sekali jenak, senantiasa membutuhkan makna? Setangkup sepi masih mendiami tepi. Kau bayangkan percintaan yang kelam, patah hati, dan sendiri. Perahu-perahu kecil terus bertahan mencari ikan, sebentar akan lenyap disaput kabut. Bukan laut ganas yang ditakutkan, tapi harga ikan. Ikan datang, murah. Ikan langka, tak memenuhi kebutuhan. Bukan cuaca ialah malapetaka, tapi limbah. Konon ada dongeng perihal “pipa-pipa siluman” entah di sebelah mana, secara gaib menyemburkan limbah ke dasar lautan. Tiba-tiba air laut mengental seperti lendir. Pabrik terus mengolah ikan. Tapi ikan-ikan rasanya tak mudah didapatkan dari pelabuhan tua itu. Pelabuhan tak lagi seperti dulu. Dulu kala katanya, ikan-ikan mengalir melimpah. Lautan bersih tak dilahap ambisi. Kini ikan makin langka. Dan susah. Banyak perahu besar bangkrut. Sedang limbah, sedang tambang emas di Tumpangpitu, sedangkan sampah diduga kuat membuat ikan tak kerasan. Sementara langitmu masih saja biru, kata lagu. Orang-orang berbahu kekar, termangu di situ. Angin lewat selintas, tatkala senja yang tangkas, tanpa berhenti sekadar tanya perihal air mata yang membayang gerimis, pada segala isak dan segala tangis.
Lampu-lampu dinyalakan. Petang. Dan orang-orang menyalakan lagu-lagu bising dari warung-warung itu. Para remaja menanti malam, tanpa mengerti kepedihan laut. Hari-hari dilalui saja tanpa tanda tanya. Ada kemiskinan dan kebodohan. Ada masyarakat yang selalu dipermainkan kekuasaan mengerikan dari balik kepentingan-kepentingan besar, mencengkeram secara fisik dan metafisik sampai ke balik celana dan mimpi-mimpi. Kalimati, kata orang. Ada sampah dan limbah. Racun menggenang. Gelisah semesta mengalir tersendat, menuju samudera. Di tempat yang bernama Brak, ikan-ikan dijual. Becak-becak bermesin mengangkutnya. Itu pasar ikan yang menyediakan ikan segar dan yang asin. Ombak laut menggemuruh. Tapi seolah kosong. Mata kail dan mata jaring kesepian. Bisikan Chairil dari “Senja di Pelabuhan Kecil”nya yang mashur itu, terdengar di sini; “kapal, perahu tiada berlaut/menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut,” ujarnya. Setelah kepak burung elang dilihatnya telah “menyinggung muram”. Tapi Pelabuhan Muncar bukan pelabuhan kecil. Ia memiliki ikan yang merupakan deretan besar di dunia, juga sampah yang terbesar di dunia. Tapi siapa yang akan kau kutuk? Bukankah semua selalu berawal dari kesewenangan kekuasaan, ambisi yang tak bertepi?
Tapi sudahlah. Sesalkan saja apa yang ingin kau sesalkan. Tetapi manusia yang masih wajar, selalu tak mungkin diam ketika rasa sakit mendera. Setidaknya ia telah dan terus menerus menjeritkan rasa sakitnya pada semesta raya.
Sekarang hujan turun di Pelabuhan Muncar. Aroma lautan. Rumah-rumah yang pintunya bersalaman dengan ombak. Jalan-jalan gelombang. Menara-menara. Gedung-gedung sepi dan kehitaman. Laut yang dipagari batu-batu, dijadikan daratan yang menyimpan tempat bernyanyi dan rekreasi. Pada malam, ada minuman keras. Ada kenyataan yang ingin dihindarkan atau ditinggalkan saja. Ada orang-orang yang membanting kartu, bagai membanting nasib dan kecemasan yang tak terpecahkan. Sedang ayat-ayat suci masih terus diperdengarkan dari pengeras-pengeras suara, bersaing ketat dengan suara dangdutan dan lagu-lagu rohani yang dipentaskan. Alangkah bisingnya udara. Dan lelah mengendap ke balik senyap segala harap. Anak-anak kecil tumbuh, berlari hendak meraih masa depan. Dan kekuasaan yang mengerikan itu, harus memainkan sulapan, supaya manusia selalu bergairah menjelma sesosok makhluk yang hanya memerlukan surga setelah kehidupan, yang cuma dimabukkan oleh agama dan hiburan, agar kenyataan tak perlu dipersoalkan.
Dan di sana, sepi adalah sesuatu yang lain. Dan malam adalah sesuatu yang lain lagi.
Kampung Ujung,
Pelabuhan Muncar, 2020
_______________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.