HUJAN PERAPATAN LATENG

Taufiq Wr. Hidayat *

Hujan. Sebagaimana berabad-abad lampau, tetaplah titik-titik air yang jatuh ke bumi. Berkilau bagai butiran kristal waktu terkena cahaya lampu. Merintik ke atas aspalan. Ke atas atap-atap rumah. Kemudian air hujan itu, mengaliri pepohonan, menetes dari ujung-ujung dedaunan. Orang memumikan kenangan dengan ingatan yang dibubuhinya penanda. Mumi-mumi kenangan itu pun basah terkena hujan. Dan ada yang menanti entah siapa di sana, sambil melupakan usia, atau berpura-pura lupa pada usia.

Di Perapatan Lateng, Kota Banyuwangi itu, hujan seakan malas menimpa lampu merah. Toko-toko jamu dan pewangi orang Arab. Aspalan berkilau basah terkena lampu jalan dan lampu kendaraan yang berdesakan. Bengkel sepeda. Toko baju di barat perempatan jalan itu sudah tutup. Toko baju yang dulu ramai. Pada tahun 1990-an, tiap hampir lebaran, seorang ibu membawa anaknya membeli baju di toko tersebut. Lampunya terang. Lantainya bersih. Sekarang redup. Toko baju yang bernama Toko Wijaya itu pernah mashur, sekarang tutup, tinggal bangunan bertingkat yang mulai tak terawat. Toko lama yang kalah bersaing dengan toko-toko baju yang lebih besar, murah, dan bagus. Lewatlah di situ. Kau akan merasakan, Perapatan Lateng menyimpan kenangan yang dalam, seolah ingin bercerita namun tak sanggup berkata-kata. Jalanannya yang kesepian tatkala malam larut mengental, bagai berkisah banyak peristiwa masa kecil entah siapa, yang disimpannya dengan begitu pedih, setia, haru, dan sia-sia. Tepat di sebelah kiri Perapatan Lateng dari arah utara, ada lapak penjahit. Lapak penjahit itu entah sudah berapa lama di sana. Hari-hari berganti, zaman berubah, musim demi musim telah berlalu, lapak penjahit di sana masih menerima kain untuk dikerjakannya. Lapak penjahit setelah lampu merah itu seolah kekal, seolah sudah ada di situ sejak dunia baru saja tercipta. Entah baju siapa saja yang telah dijahitnya. Seragam kantor, seragam sekolah, baju ke pesta, atau barangkali baju seorang kekasih. Lapak penjahit itu bagai tak peduli pada kendaraan-kendaraan yang melaju dengan resah di sekitarnya, ia seolah cuek terhadap kesibukan semesta. Ia sibuk sendiri dengan pedal mesin jahitnya yang kuno. Perapatan Lateng menyimpan setiap peristiwa yang silih berganti di dalam dirinya. Ada beberapa tempat dan keadaan yang telah berubah, ada orang yang pergi tak tentu rimba. Perapatan Lateng berusaha menyimpan apa saja yang masih mungkin disimpannya. Dan tak ada yang bertanya perihal derita keperihan, luka-lara duka nestapanya dalam menyimpan ingatan yang tak pernah dibukukan atau dimonumenkan dengan tepuk tangan panjang dan perhatian-perhatian. Namun ia pun dengan apa daya, melepas apa saja yang memang harus ia lepaskan, hilang ditelan waktu. Dan di situ, daun-daun yang menguning dari pohon peneduh jalan berjatuhan, gugur ke bumi. Kemudian ada hati yang juga menggugurkan dedaunannya, bagai bunga-bunga jambu air saat hujan jatuh, seperti kehilangan yang tak mungkin lagi ditemukan. Yang mustahil kembali diutuhkan. Atau ingatan pada keadaan—entah apa, yang tak mungkin dirangkaikan kembali bagai sedia kala.

Perapatan Lateng tak terpisahkan dari kehidupan orang sehari-hari, manusia yang di sana sebagai “orang perapatan”. Ada warung kopi milik orang Madura di timur lampu merah, bengkel, dan toko busana perempuan. Pagi selalu ramai. Kaum makelar, para juru tagih, pengangguran, wartawan, dan tak tahu siapa lagi nongkrong di situ, melewati jeda waktu yang tak dimengerti.

Perapatan Lateng seolah mensahihkan dalil Heidegger yang rumit dan ganjil. Dasein sejatinya menidak pada pandangan, bahwa manusia adalah subyek yang lepas dari ruang-waktu sejarah. Baginya, manusia “ada di situ” senantiasa. Yakni dalam ruang dan saat yang tentu. Ia “ada-dalam-dunia” (in-der-welt-sein/being-in-the-world). Ia adalah kerangka aturan fundamental manusia. Ketakterkaitan spasial manusia (dasein) dan ruang (dunia) yang ditinggali, mengakibatkan segala ruang tidaklah kosong (netral). Dunia telah senantiasa dimengerti pada landasan struktur ontologis “dasein” yang meninggali. Di situ terdapat “dunia pejalan”, “dunia penyanyi”, dan lain-lain. Itulah kiranya afirmasi Heidegger: manusia itu menyejarah. Ia mustahil melompat keluar dari titik pijak kesejarahannya, ia adalah “being-in-the-world”. Ia kepastian yang sangat faktual dan niscaya. Tetapi “ada di situ” berbeda telak dengan benda, atau selain manusia. Seumpama “ada” uang dalam dompet, dapat disebut keterkaitan pada kaitan spasial. Ada jarak, dan yang terpisah. Sedang manusia “ada” dalam Perapatan Lateng, mengandaikan relasi dia dengan perapatan tersebut bukanlah keterkaitan spasial. Bukan yang tercerai, yang lain, atau yang dua hal. Ia “ada” dalam ruang tertentu, ia “meninggali” ruang tertentu itu. Ia “mengutuh” di situ.

Seperti sebuah buku sejarah yang panjang, hujan di Perapatan Lateng memang selalu membuka ruang-ruang kisah dalam dada. Ia sebentuk harapan yang datang untuk menemui bumi kerinduan. Jendela mengembunkan pertanyaan-pertanyaan yang gemar, dalam, dan tiada henti-hentinya. Tapi hujan di situ, pun merintik di kabel listrik, mesin-mesin, orang-orang yang pergi tanpa mantel dan payung. Di situ berdiri Masjid Kiai Saleh Lateng. Masjid bersejarah yang pernah melahirkan pemuda-pemuda gagah. Ada terminal angkutan dalam kota. Pohon besar yang sering ditebang, kemudian tumbuh lagi, di terminal yang dulu selalu mengantarkan anak-anak sekolah. Pasar kecil yang berdenyut dini hari. Bangku warung kopi. Calo kendaraan yang masih saja hidup. Di Lateng itulah, lagu berdialek Banyuwangi “Tetese Eluh” sekitar tahun 1998 dituliskan oleh Yon’s DD, dinyanyikan grup musik POB (Patrol Orkestra Banyuwangi) yang mashur, pun lagu “Layangan” yang dibawakan Catur Arum. Di Dusun Klembon, lahirlah lagu kendang kempul yang legendaris, lagu yang terus kekal dalam sejarah musik Banyuwangi, berjudul “Ulan Andung-andung” diciptakan seorang seniman musik Banyuwangi yang agung, Endro Wilis. Teruslah lurus ke selatan dari lampu merah Perapatan Lateng itu, di sepanjang jalan tersebut, lagu-lagu Banyuwangi sepanjang masa telah tercipta sebagai aset berharga yang tiada pudar, “Sing Ono Jodoh” diciptakan Armaya, “Gelang Alit” oleh Fatrah Abal, dan “Umbul-umbul Blambangan” yang menggema sepanjang waktu, lahir dari jari-jari Andang Cy.

Ke arah selatan dari Perapatan Lateng, Kota Banyuwangi itu, sebuah masjid agung berdiri. Dulu bangunan masjid yang tepat di barat Taman Sritanjung itu antik dan menyimpan kearifan kebudayaan lokal yang khas. Bangunan bersap tiga, seperti sebuah Pura, atau Masjid Agung Demak. Ada budaya setempat yang telah mendesain bangunan peribadatan kaum muslimin tersebut. Di masjid itu dulu, sekira akhir tahun 1970-an, Man Padelikur menyalakan “blanggur”, sejenis mercon besar yang diledakkan untuk menandai waktu berbuka puasa. Man Padelikur disuruh Kang Nan, kawannya. Namun sekarang, bangunan masjid telah berubah total. Kekuasaan dengan segala kekuasaannya, merobohkan bangunan Masjid Baiturrahman, kemudian menggantinya dengan bangunan baru, dengan bentuk masjid dari negeri Arab, megah, mahal, dan gagah. Tak ada akulturasi yang mungkin dapat ditelusuri sebagai jejak kearifan mempertemukan agama dan kebudayaan pada bangunan Masjid Baiturrahman Banyuwangi itu kini. Dulu di taman depan masjid, ada beringin raksasa. Juga di sebelah selatan Taman Sritanjung yang selalu gelap, “orang-orang gelap” tertidur di bangku-bangku lembab, menjilat malam dengan kepasrahan yang menakutkan. Kemudian pasar Banyuwangi yang berdenyut tanpa sentuhan kekuasaan, menyuguhkan barang-barang kepadamu. Ke timur, gedung bioskop yang dulu bernama Irama. Trembesi yang tua. Jalan Banterang yang dulu gelap ketika malam, kini sudah terang. Sebuah Gereja kecil tepat di depan masjid, setelah taman. Perihal kerukunan, bangsa ini sudah berpengalaman, dan tak perlu dicurigai. Kericuhan yang terjadi, selalu mengandung unsur politik yang keji.

Lalu ke barat dari Masjid Agung Baiturrahman, gedung bioskop yang dahulu bernama Suasana, hingga kini begitu tua dan sendiri, besi-besi karat, tembok kehitaman, berlumut ketika musim penghujan. Konon tepat di selatan masjid, pernah berdiri gedung bioskop pada masa kolonial Belanda. Manusia membutuhkan film, katanya. Sebuah tontonan publik yang menampilkan gambar, suara, cerita. Manusia selalu gemar melihat dirinya sendiri. Film menyeretnya dari kenyataan, melupakan dan menghindari kenyataan, sejenak dalam hidupnya. Jembatan Kali Lo yang mengalirkan kesah waktu yang melulu, seperti kedua matamu yang seperti kedua mata seekor lembu, jauh, menatap entah apa, menyimpan keterasingan di balik segala pencapaian kota. Film selalu menjadi ingatan lama yang tak sempat diberi penanda pada benak tiap orang di kota itu. Di lapangan, tepat sebelah timur gedung bersejarah yang disebut Inggrisan, gedung kesenian yang sepi. Yang ramai hanya pertunjukan pesta, warung-warung yang ditata dengan lampu-lampunya yang sangat terang. Di situ, gedung kantor pos yang kuno, mengingatkan seseorang saat mengirimkan surat kepada sang kekasih yang dirindukannya nun di jauh sana. Sepucuk surat. Dan prangko.

Ada yang tertangkap. Ada yang lepas. Kembalilah ke Perapatan Lateng. Malam selalu saja menceritakan hujan dan kenang-kenangan samar di dalam lubuknya. Kemudian ke selatan setelah lampu merah, Dusun Klembon. Aspalan yang tua telah tiada. Toko buku dan kitab suci sebelum pendapa kabupaten yang kini sering didatangi tamu-tamu asing yang menikmati angsa. Dan di Kelurahan Temenggungan, lagu “Genjer-genjer” yang termashur dilahirkan seorang seniman angklung yang hebat Mohammad Arif, pada tahun 1940-an. Orang-orang merampas lagu “Genjer-genjer” dalam pusaran konflik politik pada 1965.

Ada jalan kenangan. Ada yang tertinggal. Segalanya memang harus berubah. Nasib kenangan memang selalu ditinggalkan, pada waktu sibuk, ia dilupakan, lalu dibiarkan sendirian. Tapi adakah hari ini yang bersedia menghargai kenangan? Kesepian yang panjang, seolah sehabis perpisahan. Hanya penguasa yang gemar mengibarkan bendera-bendera negara asing, sambil menertawakan cita-cita bangsa dan bahasanya sendiri. Apakah suatu generasi harus dibangun tanpa masa lalu dan karakter bahasa ibunya? Tetapi di manakah kamu? Lama nian kita tak bertemu. Sedangkan kota, terus menggusur kenanganmu menjadi robekan ingatan, yang tak mungkin dirangkai dalam sebuah narasi kecil, yang hikmat tatkala malam dilarutkan.

Prapatan Lateng, 2020.

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Bahasa »