Kang Sobary (demikian sapaan akrab Mohamad Sobary) cendekiawan, novelis, dan antropolog yang produktif menghasilan tulisan (baca: buku). Dia acap dibaca sebagai manusia perbatasan atau memang manusia yang sengaja atau tak sengaja bertempat tinggal di perbatasan. Maksudnya, perbatasan kebudayaan dan peradaban yang dibekukan menjadi identitas (kelompok/sosok/atau lainnya).
Dia dipahami sebagai orang yang di luar (baca: tidak berada di) pusat lingkaran suatu konstruksi kebudayaan dan peradaban. Padahal sejatinya Kang Sobary manusia justru poros atau ‘as’ segenap arus identitas kebudayaan dan peradaban. Ini karena posisi dan tempat uniknya tersebut justru membuatnya lentur dan bebas menyerap-menyesap arus identitas kebudayaan dan peradaban dari mana pun selama – menurutnya – sesuai dengan keyakinan, pendirian, dan perjuangannya akan kedaulatan, kemerdekaan, dan martabat manusia.
Dalam bahasa antropologi, dia semacam ‘mangkok atau cawan salad’ (baca: bukan kuali peleburan) tempat segenap identitas kebudayaan dan peradaban bisa bersama dalam satu wahana atau wadah. Wadah itu diri Kang Sobary sebagai mikrokosmos. Dalam bahasa himpunan matematis (khususnya diagram Venn), dia adalah interseksi dari berbagai himpunan identitas kebudayaan dan peradaban, yang menautkan dan memadukan komponen himpunan identitas menjadi ‘himpunan baru’ identitas. Sebab itu, dalam bahasa pertembakauan yang juga menjadi pusat perhatiannya, Kang Sobary menampilkan diri (membuktikan diri?) sebagai juru ramu cita rasa berbagai unsur dan matra kebudayaan dan peradaban menjadi ‘sebuah cita rasa baru’ yang (pinjam istilah Bondan Winarno) ‘maknyus’.
Dalam usaha menghadirkan ramuan baru suatu bentuk kebudayaan dan peradaban itu dia menjebol batas-batas konstruksi dan identitas kebudayaan dan peradaban yang dikanonkan. Di samping itu, sekaligus juga menautkan-menata-memadukan pelbagai konstruksi dan identitas kebudayaan dan peradaban. Di sini dia meruntuhkan segregasi, kompartementalisasi, dan disiplinarisasi teks-teks yang dikanonisasi dengan identitas tertentu, misalnya teks ilmiah, teks sastra, dan teks esai. Serentak dengan itu, kemudian dia juga melakukan integrasi, konvergensi, dan atau transdisiplinarisasi pelbagai genre, jenis, dan atau bentuk teks yang sudah terkanonisasi dalam indentitas tertentu.
Kang Sobary mendemontrasikan gerak sentripetal (menuju pusat) pada saat menyusun teks atau karya-karya tekstualnya, bukan gerak sentrifugal (menjauhi pusat). Pusat yang diyakini oleh Kang Sobary itu bernama perspektif keutuhan-kelengkapan (holisme-komplementer), empati-simpati pada martabat kemanusiaan, pemihakan-pembelaan pada (ke)rakyat(an), dan naratif sebagai substansi (khususnya unsur cerita dan berita) teks-teks kebudayaan dan peradaban.
Tak mengherankan, seperti halnya Kang Sobary sendiri, karya-karya tulis Kang Sobary tidak gampang dikategorikan dalam ‘kotak-kotak identitas dan nama’ yang dikanonkan karena senantisa memantulkan paduan serasi atau padu-padan lembut antara cerita dan berita atau berita dan cerita.
Esai-esainya, bahkan diskursus akademisnya selalu kental dengan warna naratif pada satu sisi. Pada sisi lain novel-novelnya sebagai naratif teramat sarat dengan warna esai. Dengan dibuhul oleh refleksi dan sublimasi sedemikian rupa, naratif dan esai – teks puitik dan teks diskursif atau cerita dan berita – senantiasa berkoeksistensi secara mutualistis dalam karya-karya tulis Kang Sobary. Hal ini hendak saya sebut “teks-teks tumpang sari yang multi-lapisan dan multi-arah, bahkan multi-teks”.
Bacalah himpunan esai Kang Sejo Melihat Tuhan dan Sasmita Tuhan niscaya kita berita dan cerita yang berjalin-kelindan serasi seperti pasangan ‘yin dan yang’; kita bertemu kualitas puitik atau literer di dalam esai Kang Sejo Melihat Tuhan. Bacalah juga disertasinya (yang kemudian diterbitkan Gramedia Pustaka Utama) Perlawanan Politik dan Puitik Petani Tembakau Temanggung kita disuguhi tombak kembar politik dan puitik sebagai senjata para petani tembakau Temanggung melawan rezim kesehatan yang memfonis ‘rokok menyebabkan kematian’. Demikian juga bacalah esai Kebudayaan Rakyat dan Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonomi niscaya kita akan menemukan teks esaistik yang kental dengan residu-residu teks puitik atau literer.
Sebaliknya, bacalah juga novel Kidung, Sang Mufasir, dan The President niscayalah kita menjumpai cerita yang berpasangan dengan berita tentang persoalan kompleksitas kebudayaan politik; kita menjumpai esai di dalam naratif novel. Kedua hal tersebut – cerita dan berita, esai dan puitik – tak pernah terpisah dan dipisahkan; di dalam karya Kang Sobary keduanya menjadi sejoli abadi.
Sebab itu, dengan menggunakan terma spiritualitas Jawa (dan saya kira karya-karya Kang Sobary sangat kental dengan serat-serat nilai dan kebajikan budaya Jawa), dapat dikatakan bahwa karya-karya tulis Kang Sobary mencerminkan ‘manunggaling esai dan sastra’ atau ‘manunggaling sastra lan esai’ (menganalogi terma ‘manunggaling kawula lan Gusti’). Teks sastra dan teks esai yang dihasilkan oleh Kang Sobary cerminan ‘loro-loroning atunggil’ atau ‘yin dan yang’ karena esainya selalu sangat sastrawi dan sastranya selalu sangat esaistik.
Lalu di mana posisi dan tempat esai-esai dan novel-novel Kang Sobary dalam ruang genre atau bentuk karya tulis? Karya tulis Kang Sobary tidak mudah disangkarkan dalam kurungan genre atau bentuk karya tulis yang sudah kita pahami bersama sebagai konvensi. Mengapa? Karya-karya tulis Mohamad Sobary ibarat stasiun tekstual tempat keberangkatan dan kedatangan genre atau jenis teks apapun terutama teks sastra dan teks esai. Esai-esainya memanifestasikan kualitas puitik/literer yang kuat pada satu sisi dan pada isi lain novel-novelnya mengejawantahkan kualitas esai yang berenergi.
Baik teks esai maupun teks literer atau puitik hanyalah senjata tekstual bagi Kang Sobary untuk memperjuangkan keyakinan, pendirian, perjuangan, dan pembelaannya terhadap kedaulatan kemanusiaan dan kerakyatan. Karya-karya tulis Kang Sobary baik novel maupun esai senantiasa memberikan solusi secara simbolis, penuh berlambang, dengan mengedapankan kelembutan dan kemengaliran, yang dilambangkan dengan kidung. Bagi Kang Sobary berbagai masalah dapat diselesaikan dengan kidung yang dijadikan lambang kelembutan dan ketenangan.
____________________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.