“Menembak tjelana dalam logam bukanlah djalan keluar” oleh Toef Jaeger

Alih Bahasa oleh Joss wibisono

Berikut terdjemahan resensi jang dimuat oleh harian sore NRC Handelsblad pada edisi 15 djuli 2016, halaman C6.

[Sebelum ini Schoonheid is een vloek (terdjemahan bahasa Belanda Tjantik itu luka), karja Eka Kurniawan sudah diresensi oleh harian pagi de Volkskrant dan harian pagi Trouw.]

(Versi asli resensi ini ketika dimuat di harian NRC Handelsblad)

Apa jang harus diperbuat kalau anda punja tiga putri molek djelita dan jang keempat segera lahir? Berdoa supaja jang lahir itu djelek, demikian bisa dibatja dalam Schoonheid is een vloek — sebuah roman karja Eka Kurniawan jang terbit tahun 2002 dan sekarang diterdjemahkan ke dalam bahasa Belanda.

Kalau kalimat pembuka sebuah roman berbunji: “Suatu sore di achir pekan bulan maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun kematian,” kita bisa datang dengan dua pertanjaan.

Inikah upaja seorang penulis jang setjara klise menerapkan realisme magis dan karena tidak memiliki daja imadjinasi jang memadai dia langsung memporakporandakan tjerita dengan roh2 halus jang datang untuk merusak suasana? Mungkin pertanjaan ini tidak begitu ramah, tetapi untuk roman realisme magis sebaiknja memang segera kita adjukan pertanjaan seperti itu. Lagi pula realisme magis biasanja dipergunakan hanja sebagai akal2an sastrawi jang meng-awang2 untuk me-nutup2i bahan tjerita jang terlalu katjau dan penulis jang mentjari djalan keluar gampangan dengan mengerahkan hantu dan suara2 aneh. Tambahan pula, ketika pada kalimat kedua tertera bahwa “seorang botjah gembala dibuat terbangun dari tidur siang”, maka kita dibuat semakin chawatir bahwa memang itulah jang bakal terdjadi.

Atau tampaknja harus diperhitungkan kemungkinan bahwa di sini kita memang berhadapan dengan penulis jang bertekad bulat membawa pembatja dari kalimat pertama itu langsung ke dalam tjeritanja? Karena djuga di bab2 lain dia langsung menaruh pembatja persis di tengah tjerita. Salah satu bab itu misalnja dibuka dengan kalimat: “Pada suatu masa, penduduk Halimunda digemparkan oleh seorang baji di tempat pembuangan sampah”.

Pilihan kedua ini dipastikan bisa dibatja dalam Schoonheid is een vloek, roman karja penulis Indonesia Eka Kurniawan (1974) jang terbit tahun 2002. Dalam delapan belas bab ia berhasil membawa pembatja ke dalam sedjarah keluarga jang berkisar pada pelatjur Dewi Ayu, seorang perempuan Belanda berdarah Indonesia. Dibesarkan pada zaman kolonial, ia terdampar masuk kamp interniran Djepun, dan dengan tjepat dia terpilih untuk bekerdja dalam bordil mewah, tempat dia harus menjembuhkan orang2 Djepun dari “pegal2 djiwa” mereka. Mendjadi hamil oleh seorang pradjurit Djepun, ia melahirken seorang anak putri tjantik rupawan.

Tjolokan listrik

Selepas perang masih terdjadi pelbagai perkosaan dan beberapa peristiwa peletjehan sexuil, tapi achirnja Dewi Ayu jang pada zaman Indonesia pasca perang berhasil membangun reputasi sebagai pelatjur terbaik di kota pesisir fiktif Halimunda, melahirkan empat anak perempuan. Tiga anak perempuan pertama tjantik djelita luar biasa dan karena itu mendjadi korban tjinta jang tidak bahagia. Itulah sebabnja mengapa Dewi Ayu berdoa memohon supaja anak keempatnja seorang jang buruk rupa. Doa itu terkabul: putri keempat bertampang seperti “kue gosong” dan membuat orang ketakutan — hanja ketika melihat hidung si baji jang tampak seperti tjolokan listrik. Tapi Dewi Ayu tidak melihatnja, tanpa menatap sendiri tampang si baji, baji itu diserahkan kepada orang lain, untuk dalam 12 hari kemudian ia tutup usia di tempat tidur ia melahirkan itu. Sinisnja anak itu dinamai Tjantik. Setelah 21 tahun ia kembali ke dunia orang hidup untuk berupaja menghapus kutuk terhadap keluarganja. Sajang upajanja ini merupakan bagian roman jang paling tidak mejakinkan.

Selain realisme magis, Schoonheid is een vloek adalah —ketjuali Ayu jang bangkit dari kubur masih ada pria2 jang memiliki perut kedap peluru; babi2 jang mati terpanah berubah djadi pria2 tak bernjawa; putri2 menikah dengan andjing; dan perempuan bisa terbang djustru pada saat mereka ingin bunuh diri— kisah jang melek politik. Tidak setjara kritis sosial seperti penulis terkenal tentang dekolonisasi Indonesia, Pramoedya Ananta Toer (Kurniawan menulis buku tentangnja pada 1999), dan djuga bukan lantaran, dalam rangka mengimbangi moralisme berlebihan negeri itu, begitu banjaknja adegan sex, seperti rekan penulis lain, Ayu Utami.

Palang merah

Walaupun kadang2 melebar ke mana2, pentjampuran genres ternjata berhasil. Ini berkat di satu pihak suasana murung tapi tjerdasnja, serta di lain pihak berkat humor dan absurditasnja. Misalnja seorang amtenar dinas kependudukan Belanda tewas oleh malaria karena dia tidak pertjaja bahwa seorang pria hidup di rawa2 bersama sembilan belas djin, sementara jang lainnja menuntut tanah dan perempuan Indonesia seperti sesuatu jang biasa sadja. Sebuah bordil untuk orang Djepang digambarkan sebagai “Palang merah”. Dewi Ayu menasehati seorang pemimpin gerilja jang begitu ngebet supaja mentjari perempuan lain, karena “vagina itu di mana2 rasanja sama”, padahal kelak pedjuang ini mendjadi menantunja dan menembak tjelana dalam logam milik anak perempuan tertua Dewi Ayu. Lalu ada seorang komunis jang akan mendjual pakaian renang pada turis dan seorang harus mengubur 1200 djenazah akibat bandjir darah 1965 ketika orang kumunis di-kedjar2. Achirnja bisa kita pastikan bahwa realisme magis bukanlah pelarian semata jang meng-awang2, melainkan sebuah upaja untuk menggambarkan kembali pelbagai situasi gila.

https://gatholotjo.com/2016/08/14/menembak-tjelana-dalam-logam-bukanlah-djalan-keluar-oleh-toef-jaeger/

Leave a Reply

Bahasa »