Bersyukurlah kita masih dapat menikmati buah pikiran Socrates, Aristoteles, Plato, Ibnu Kaldun, Al-Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Rusjd, Francis Bacon, Newton, Thomas Hobbes, Li Tao Po, Panini, dan pemikir-pemikir lain dari manapun – dari Barat, Islam, ataupun Timur.
Ketika sampai pada kita, buah pikiran mereka sudah menempuh perjalanan ratusan, malah ribuan tahun, melintasi batas-batas masa, etnis, bangsa, geografis, dan budaya.
Misalnya, buku tata bahasa yang ditulis oleh Panini sudah melampaui 2000 tahun. Demikian juga pikiran Socrates dan Aristoteles. Bahkan epik Gilgamesh konon sudah berumur 600-an tahun karena digubah pada zaman Sumeria. Bayangkan, ratusan atau ribuan tahun warisan buah pikiran mereka mampu bertahan dan terawat!
Mengapa buah pikiran mereka dapat bertahan dan terawat hingga sampai kepada kita? Ya, pertama-tama, karena buah pikiran mereka terekam dalam bahasa khususnya tulisan. Tulisan telah menyelamatkan, mengawetkan, dan memantapkan, bahkan memperluas buah pikiran manusia. Maka tulisan menjadi warisan peradaban dunia setelah menempuh sekian panjang waktu. Tanpa tulisan – bisa jadi – kita tak bakal mengenal buah pikiran mereka dan peradaban manusia mengalami amnesia. Sudah terbukti, amnesia sejarah terjadi lantaran tak disangga oleh tulisan. Ini menunjukkan, keberadaan tulisan menjadikan buah pikiran manusia terselamatkan dan terawetkan.
Adanya tulisan mengandaikan atau memprasyaratkan tradisi menulis dan membaca. Tradisi menulis dan membaca niscaya memerlukan tradisi berpikir – terutama berpikir kritis, kreatif, dan yang disangga oleh penalaran atau pemikiran. Tradisi berpikir bersama-sama tradisi menulis dan membaca melahirkan sekaligus menyangga peradaban keberaksaraan yang bersendikan teks (yang menancapkan pikiran secara kuat), bukan kelisanan yang bersendikan ucapan (yang mengakibatkan pikiran cepat menguap).
Di bawah naungan peradaban keberaksaraan inilah pengetahuan-pengetahuan terutama ilmu-ilmu dapat tumbuh, berkembang, dan terawetkan, bahkan terwariskan kepada kita. Dengan kata lain, tradisi berpikir [kritis, kreatif, dan atau inovatif], menulis, dan membaca-lah yang telah berjasa menumbuhkan, mengembangkan, mengawetkan, dan memperluas ilmu-ilmu (yang berkembang secara berkelanjutan). Karangan non-ilmiah dan ilmiah yang bermacam bentuk dan jenis – yang kita kenal sekarang – pada dasarnya penampakan tradisi berpikir-menulis-membaca pada satu sisi dan pada sisi lain tradisi pengembangan pengetahuan/ilmu.
Itu menunjukkan bahwa tradisi berpikir-menulis-membaca berhubungan erat dengan tradisi pengetahuan atau ilmu-ilmu. Hubungan erat keduanya telah dikemukakan dan atau diisyaratkan oleh banyak pihak. Ali bin Abi Thalib r.a., misalnya, bertitah: “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya”. Rene Descartes, raksasa pemikir Abad Pertengahan yang berjasa meletakkan dasar-dasar kemodernan, bersaksi: “… membaca buku yang baik itu bagaikan mengadakan percakapan dengan para cendekiawan yang paling cemerlang dari masa lampau – yakni para penulis buku itu. Ini semua bahkan merupakan percakapan berbobot lantaran dalam buku-buku itu mereka menuangkan gagasan-gagasan mereka yang terbaik …”.
Begitu juga Barbara Tuchman bersaksi: “Buku adalah pengusung peradaban. Tanpa buku, sejarah menjadi sunyi, sastra bisu, ilmu pengetahuan lumpuh, serta pikiran dan spekulasi mandek.” Kutipan-kutipan ini menyiratkan bahwa tanpa tradisi berpikir-menulis-membaca tak mungkin tradisi pengetahuan atau ilmu dapat tumbuh dan berkembang. Jadi, kuatnya tradisi berpikir-menulis-membaca menjadi prasyarat bagi pertumbuhan dan perkembangan tradisi ilmu (keilmuan).
Jelaslah hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya membaca dan menulis serta berpikir kritis-kreatif-inovatif dalam kehidupan kita. Sebab itu, kita harus menguasai sekaligus memiliki kebiasaan membaca dan menulis supaya kebiasaan berpikir kritis-kreatif-inovatif kita dapat berkembang. Membaca dan menulis perlu kita batinkan, hayatkan, dan biasakan (habituasi) dalam kehidupan kita di mana pun berada.
Untuk itu, perpustakaan – dalam bentuk, jenis, dan rupa apapun – bisa menjadi salah satu ruang membaca dan menulis selain mengembangkan kemampuan berpikir kritis-kreatif-inovatif. Marilah kita rajin dan ajek mengunjungi perpustakaan (baik konvesional maupun digital) agar kita memberi arti bagi kehidupan kita.Marilah kita biasakan berpikir, membaca, dan menulis agar kehidupan kita bermakna dan mewariskan sesuatu yang menggemburkan peradaban manusia.
***
____________________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.