Taufiq Wr. Hidayat *
Barangkali harapan, upaya-upaya hidup, dan kesementaraan akan senantiasa menyertai tiap orang, tiap pribadi, dan kenangan. Ia bagai bangunan batu bata yang tertata saling mengokohkan. Kita pun berjalan dalam ironi. Seringkali terjebak banyak hal yang sesungguhnya mustahil. Indonesia yang maju, pintar, sejahtera, adil dan makmur akan selama-lamanya cuma janji. Namun itu selama-lamanya pula kan terus kita upayakan, diikhtiari, diwujudkan entah sampai kapan.
Kita menyadari, ada gejala tak lazim pada tiap babak waktu. R. Ng. Ronggowarsito menandainya dengan “Kalatida”nya yang mashur. Ada suatu zaman, katanya. Yang pada zaman tersebut, kegilaan menjadi idola, dipuja-puja, dan digemari. Narasi-narasi tak lazim, kata-kata yang tak berpijak pada kenyataan, dan orang yang menertawakan kegilaannya, menganggap remeh bahaya yang mengancam keselamatan. Suatu masa, sebutir jarum yang jatuh pun ramai diperdebatkan. Yang sepele diagung-agungkan. Yang agung diremehkan, bahkan dimusnahkan. Ada apa di balik semua itu? Tanya R. Ng. Ronggowarsito. Ia cemas, kenapa pada sebuah panggung menampilkan adegan yang tak lazim? Pasti ada latar belakang yang dapat dipertanggungjawabkan, atau ada alasan yang menyertai ketidaklaziman tersebut. Kenapa ada hidup yang selalu mengalami kegelisahan, menampilkan peristiwa yang tak wajar? Kenapa orang-orang tak lazim itu digandrungi? pasti ada sebab di balik itu semua, pikir R. Ng. Ronggowarsito, pujangga agung Jawa itu, dalam puisi-puisi uniknya “Katatida”.
Zaman punya babaknya, ada babak-babak zaman, ada sebab di balik babak-babak itu seperti dalam sebuah panggung drama. Alangkah rumitnya persoalan yang merundung, betapa buntunya jalan keluar, sedang ketakutan dan kenekatan seolah menghinggapi tiap orang seperti teror. Akal sehat tak berfungsi, lantaran kecemasan telah membunuhnya. Ia pun mencari jalan pintas. Atau melakukan ketakwajaran untuk menjawab tiap persoalan yang mendera dirinya. Kesalahpahaman dan kaburnya segala maksud, menjadi wabah yang berbahaya dalam pikiran manusia. Manusia memandang wabah penyakit dengan dugaan yang diyakini sebagai kebenaran. Karena ketakutan, ia menyingkirkan kemanusiaan. Dugaan yang disebarkan seringkali di luar kenyataan yang terjadi. Kemudian yang masih waras ikutan bingung, ke mana menemukan kebenaran yang dapat dipercaya dari suatu peristiwa?
Kita lihat Charlie Chaplin yang mashur dengan “The Great Dictator”, setelah ia membuat film bisu dengan adegan humor yang kelam dan mematikan. Ada babak zaman yang menyertainya. Ia menjadi penanda suatu waktu, mencerminkan suatu masyarakat yang dirundung kecemasan yang seakan tanpa jalan keluar. Ada sebentuk keadaan dari jiwa suatu masyarakat yang mendiami zaman (babak) dari waktu, membuatnya menggemari atau membenci suatu hal yang mewakili kegelisahannya. Ada kegagapan di situ. Ia mengalami pergeseran pengertian dan pandangan perihal kenyataan sehari-hari yang tak punya wajah jelas, selain kekaburan dan ketidaklengkapan informasi. Ia mengalami penurunan daya tahan budaya. Daya tahan itu terkait sejauh apa seseorang memahami budaya atau sejauh apa ia mengenali dirinya. Ia rentan pada perubahan, rawan pada pengaruh yang tak sejalan dengan jati dirinya. Rapuh. Dan gagu.
Bagi R. Ng. Ronggowarsito, manusia di suatu “zaman yang kacau” itu, hanya mungkin disadarkan pada akal sehatnya dengan sunyi. Ia barangkali dapat kembali memilah-milah, bahwa dalam hidup ini, sesungguhnya apa saja yang penting dan apa saja yang tidak penting secara wajar. Baginya manusia itu “orang biasa”. Ketidakbiasaan pada satu sisi zaman, seringkali menjadi ukuran keunggulan. Tapi pada sisi lain, menjadi keterasingan dan disisihkan, dianggap sampah dan tak perlu. Bahwa segala upaya untuk apa yang hendak dicapai, mestilah tetap dalam kewajaran sebagai seorang manusia. “Sak begja-begjane wong kang begja,” katanya. Lebih utama yang ingat pada jati dirinya, dan berhati-hati pada apa pun yang dapat meruntuhkannya. Ia harus selalu “eling lan waspodo”, pungkasnya.
Sitinggil, 2020
_______________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.