PAGEBLUK KEEMPAT DAN BIBIR YANG KUTUNGGU

Djoko Saryono *

(1)
Umurku kini sudah 63 tahun lewat beberapa bulan. Berarti sudah kulalui empat pagebluk besar berskala luas yang amat mencekam dan sangat mengerikan. Tiga pagebluk bermula dari perbedaan pandangan yang diolah jadi hoaks dan kabar bohong atau kabar burung, yang lalu berujung pada pembantaian brutal dan massal. Sejarah macet di situ — tak ada narasi pasti dan jelas — semua terkarantina misteri. Hanya pagebluk sekarang bermula dari kehancuran alam semesta, yang menjadikan makhluk selain manusia kehilangan habitat hidupnya, lantas beradaptasi dan bermutasi, dan berujung menyerang manusia. Orang-orang menamai wabah pandemi virus korona. Aku suka menyebutnya pagebluk korona.

Pada sore yang disepikan oleh kecemasan dan kekalangkabutan akan pagebluk korona, juga kedunguan dan kesempitan wawasan manusia akibat enggan belajar dari masa lalu dari mana saja, aku berkesempatan menerawang jalan panjang kenangan hidup. Tak kusadari, umurku kini sudah 63 tahun lewat beberapa bulan. Ini berarti, sudah 40 tahun lebih — yang disemaraki oleh empat pagebluk — aku menunggunya — ya menunggunya — perempuan itu — perempuan itu. Menunggu perempuan itu menyerahkan dua lembar bibirnya yang di bayanganku telah membentuk jembatan panjang sekali — seperti panjang jembatan Sungai Kapuas.

Sejak muda aku memang bernafsu melumat habis dua bibir perempuan itu…dengan kedua bibirku — dalam waktu lama, kalau bisa berhari-hari, malah berminggu-minggu. Tapi, sampai empat pagebluk dahsyat kulalui, aku hanya bisa menanti dalam ketakpastian. “Jangan! Jangan!”, jeritnya senantiasa tiap kudekap kuat tubuhnya. “Kenapa?!”, sergahku. “Aku takut rindu kita jadi pudar! Aku takut cinta kita berubah jadi kewajiban robotik belaka! Bukankah ketakpastian telah membuat rindu dan cinta kita selalu menyala-nyala, membakar umur yang memberi alarm perasaan tua melulu!”, alasan perempuan itu. Lalu aku melepaskannya seketika.

Padahal perempuan itu bukan hanya telah kumiliki, bahkan sudah kujelajahi seluruh tubuhnya, tak jarang aku menindihnya sangat lama hingga terkapar berdua — kecuali kedua lapis bibirnya. Pada pagebluk keempat yang kusaksikan di dalam hidupku sekarang, aku masih menanti untuk bisa melumat habis kedua bibir perempuan itu. Dan senja yang muram karena mendung dan gemetar karena wabah yang menyeramkan — menemaniku menatap tajam perempuan itu dari jarak beberapa jengkal. Sementara itu, di karpet yang tergelar di beranda, perempuan itu asyik mengajari baca-tulis cucunya, yang dititipkan anak dan menantunya gara-gara pagebluk virus korona.

(2)
Wabah pandemi virus korona tipe 7 yang dikenal COVID-19 yang melanda dan menyebar sangat cepat di negeri +62 merupakan pagebluk keempat yang kusaksikan dan kualami dalam hidup. Selain yang paling membuat kalang kakut dan silang sengkarut, bahkan saling tuduh dan menyalahkan di antara pelbagai pihak, pagebluk korona ini menurutku yang membuat manusia — ah ya masyarakat awam dan pemuka masyarakat — menjadi bebal, dungu, dan gila. Kebebalan, kedunguan, dan ketakwarasan mendadak berjangkit di mana-mana dan kepada siapa saja. Tak ada suara otoritas tunggal atau terpercaya diikuti atau ditaati untuk menanggulangi atau mempercepat penanganan COVID-19. Semua mulut bicara tanpa peduli akurat tidaknya. Semua tangan khususnya jemari melepaskan segala hal tentang virus korona dalam bentuk teks, gambar, dan lain-lain. Semua telinga tak sudi mendengarkan, bahkan mendengar pun mungkin tidak, info-info tentang pencegahan wabah pandemik virus korona. Jangankan suara kaum profesional, malah suara pemerintah atau pihak otoritatif saja tak didengarkan.

Tentu aku tak ingin bebal, dungu, atau tak waras dalam pagebluk keempat dalam hidupku ini. Kekonyolan dan ketololan sungguh tak patut bagiku, tak pada tempatnya buatku. Maka kucari buku-buku rujukan dari sana-sini, lantas kubaca layap dengan lumayan cepat. Berbagai protokol, bahkan juga infografis dan video perihal pencegahan pagebluk virus korona. Semua kuupayakan sendiri karena bertanya dan meminta pada orang lain menurutku percuma dan buang-buang waktu. Pasalnya, di negeri +62 tempatku hidup rata-rata orang kurang baca, malah melihat buku saja enggan, apalagi memahami dengan cermat dan utuh. Begitulah, dengan berbagai rujukan ilmiah yang cukup utuh disertai oleh protokol-protokol penangan pagebluk keempat dalam hidupku, lalu aku mengambil keputusan dan sikap.

Kuputuskan dan kuambil sikap bahwa aku menaati imbauan dan perintah serta protokol yang sudah ditetapkan pemerintah. Bukankah pemerintah yang mengurusi negara +62 ini tak bodoh, tentu sudah didukung oleh kajian dan pandangan para pakar di bidang pandemi virus korona. Maka aku pun mengarantina diri di rumah, menaati perintah lockdown. Bukan hanya melakukan pembatasan sosial, tapi juga pembatasan fisikal. Bukan cuma menjaga jarak sosial, tapi juga jarak fisikal. Tapi, memang, aku kurang bisa bekerja dari rumah. Tak bisa efektif bekerja dari rumah buatku lantaran aku kurang piawai mengoperasikan cara kerja daring atau belajar daring yang diimbaukan dan difasilitasi pemerintah selagi bagiku kerja dengan medium daring terlalu banyak menjadikan kemanusiaan kita tergerus. Ikatan dan kehangatan sesama manusia bisa keropos kalau orang-orang gila kerja dengan cara daring. Ketangguhan dan keutuhan tatanan kemasyarakatan bisa rapuh dan rentan bila menghadapi masalah.

Lebih daripada itu, yang membuatku tak bakal bisa efektif dan optimal bekerja dari rumah karena di rumah ada perempuan dengan bibir yang kutunggu nyaris selama 40 tahun untuk dapat kulumat tandas, kukulum sepuas-puasnya. Bayangkan! Bagaimana mungkin aku bisa bekerja dari rumah dengan maksimal kalau di sekitarku berlalu-lalang perempuan dengan bibir yang diincar selama 40 tahun untuk dapat kusesap rahasia nikmatnya?! Mustahil, omong kosong, dan dusta semata kalau aku bilang bisa! Jujur, haruslah kuakui, aku tak bisa bekerja dari rumah tatkala karantina wilayah dan jarak sosial diberlakukan untuk memutuskan penularan virus korona yang sekarang sedang menggegerkan dunia. Perempuan itu ya perempuan itu — perempuan yang bibirnya telah membuatku terbelenggu selama 40 tahun selalu karena tak sudi kuciumi dan lantas kukulum setandas-tandasnya.

“Sudah, kerja! Katanya kerja dari rumah! Jangan melamun saja!”, suara perempuan itu tiba-tiba merontokkan imajinasiku. Tiba-tiba dia sudah berdiri di sampingku sembari meletakkan telapak tangannya di pundakku. Seketika aku bereaksi, meraih tubuhnya, lalu membantingnya lembut di lantai. Pikirku, kapan lagi aku bisa merasakan nikmat rahasia bibirnya kalau tak sekarang! Segera kubalikkan tubuhnya, lantas kutelentangkan di lantai dan kutindihkan tubuhku ke tubuh perempuan itu! Secepat kilat bibirku menyerbu bibirnya. “Jangan! Jangan! Wabah korona sedang mengancam melalui bibir kita!”‘, lolong perempuan itu sambil menjauhkan kepalaku dari kepalanya dengan tangannya. Tergeragap aku, lantas memandang wajah terutama bibir perempuan itu. Sesudah itu, kulepaskan tindihan tubuhku di tubuhnya. Lantas dia bangun dan berdiri sambil membetulkan letak masker di mulutnya. “Pagi-pagi sudah bikin rusak masker yang kupakai. Padahal harga masker sekarang melambung tinggi! Sudah tinggi, langka pula sekarang!”, gerutu perempuan itu. Aku cuma berdiri terpaku beberapa saat. Lamat-lamat suara teve memberitakan korban yang terus berjatuhan dengan cepat di berbagai tempat.

#nglamunpagi — lockdown hari keenam.

____________________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *