Djoko Saryono *
/1/
Pendidikan kita memerlukan tatanan belajar berbasis kehidupan (BBK). Tatanan ini penting dikembangkan dengan nalar adanya berbagai fenomena perubahan, pergeseran, dan pergantian fundamental-radikal (baca: mendasar dan menjangkau dasar) di berbagai lapangan kehidupan sejak dasawarsa kedua Abad XXI, baik dalam skala global, regional, nasional maupun lokal, baik dalam dimensi empiris maupun normatif, yang menimbulkan tantangan, tuntutan, dan kebutuhan baru di bidang pendidikan khususnya belajar Abad XXI.
Tantangan, tuntutan, dan kebutuhan baru di bidang pendidikan khususnya belajar tersebut harus direspons secara setimpal berdasarkan budaya dan tradisi pendidikan khususnya kearifan-kearifan belajar yang sudah tumbuh dan berkembang di Indonesia disertai dengan usaha menemukan “jawaban-jawaban baru” yang cocok dan sepadan dengan tantangan, tuntutan, dan kebutuhan baru belajar pada Abad XXI.
Enam fenomena perubahan, pergeseran, dan atau pergantian yang mengubah lanskap percaturan skala global, regional, nasional, dan lokal yang sangat menonjol dan menentukan bentuk dan ragam tantangan, tuntutan, dan kebutuhan baru di bidang pendidikan khususnya tatanan belajar adalah revolusi digital, dunia yang terintegrasi, dunia yang lari lintang pukang, makin pentingnya modal pengetahuan atau harta pengetahuan, dan terjadinya dehumanisasi manusia.
/2/
Revolusi digital yang berlangsung makin luar biasa dan bertubi-tubi. Ini disokong oleh pertumbuh-kembangan menakjubkan teknologi komunikasi dan informasi khususnya internet merupakan fenomena sangat penting Abad XXI, yang berbeda secara signifikan dengan Abad XX. Secara mendasar revolusi digital ini telah mengubah wajah kehidupan, pelbagai lapangan kehidupan, cara pandang dan cara hidup manusia, dan bahkan karakteristik kehidupan manusia.
Dapat dikatakan bahwa sekarang dunia dan kehidupan manusia sudah terdigitalisasi. Tidak mengherankan, banyak kalangan memaklumkan bahwa sekarang dunia dan kehidupan manusia berada dalam abad digital. Dalam abad digital lahirlah generasi digital yang asli (native digital) yang sangat berbeda profil dan karakteristiknya dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Juga tumbuh dan berkembang kehidupan berjejaring yang selalu terhubung secara digital (always communication online).
Lebih lanjut terjadi kekaburan batas-batas teritorial, politik, sosial, dan budaya yang menimbulkan dinamika geopolitik, teknopolitik, sosiokultural, dan regiokultural. Secara cepat tumbuh aneka ragam pekerjaan terdigitalisasi. Di samping itu, pendidikan atau pembelajaran terdigitalisasi secara luar biasa (massive open online course); dan sebagainya.
Pendek kata, revolusi digital yang telah mengubah rupa dunia dan kehidupan manusia. Hal ini membuahkan tantangan, tuntutan, dan kebutuhan baru bagi dunia pendidikan khususnya belajar sehingga harus direspons dan diantisipasi secara memadai.
/2/
Dunia yang semakin terintegrasi berkat semakin intensifnya internasionalisasi, globalisasi, teknologi transportasi, dan teknologi komunikasi dan informasi juga merupakan fenomena amat penting sejak awal Abad XXI. Dunia yang makin terintegrasi ini mengakibatkan mobilitas fisikal (baca: manusia, barang, dan sejenisnya) dan non-fisikal (baca: keuangan, seni, nilai, dan sejenisnya) dapat terjadi dan berlangsung secara leluasa, bebas, terbuka, intensif, berskala luas, dan cepat. Demikian juga dinamika keruangan dan jarak (spasial) berlangsung secara planeter atau berskala dunia atau regional, tidak terpadu pada ruang-ruang tradisional yang tetap dan beku.
Lebih lanjut, hal tersebut membuahkan perlintasan, perjumpaan, dan persilangan berbagai manusia dan kebudayaan secara kompleks baik yang lokal maupun yang global atau regional; tradisi dan kearifan lokal berbaur dengan tradisi dan nilai global. Hal ini membuahkan tantangan, tuntutan, dan kebutuhan baru bagi dunia pendidikan khususnya belajar.
/3/
Dunia berlari tunggang langgang atau berubah sangat cepat akibat revolusi digital yang menerpa semua belahan bumi dan integrasi dunia yang secara nyata menjangkau semua belahan bumi merupakan fenomena amat penting ketiga Abad XXI. Dalam dunia tunggang langgang biasa terjadi perubahan tak terduga, turbulens, dan tidak jelas arahnya di samping luar biasa cepat. Bentuk dan jenis pekerjaan, profesi, dan pasar saham berubah sedemikian cepatnya, sering tidak terduga dan turbulens.
Dalam dunia tunggang langgang, kecepatan dan kecekatan (agilitas) dipandang positif dan baik sehingga kecepatan, keringkasan, dan kependekan serta kepraktisan menjadi ukuran atau tolok ukur baik tidaknya sesuatu di pelbagai lapangan kehidupan manusia. Kelambatan, kerumitan, “kenjelimetan”, dan kekakuan dipandang negatif dan tidak baik, misalnya kekakuan, kerumitan, dan “kenjelimetan” tatacara administrasi dan birokrasi dipandang negatif dan tidak baik. Keterbukaan, keleluasan, kelenturan, dan keterpaduan secara serentak dipandang secara positif. Hal ini jelas menjadi tantangan dan tuntutan baru dalam dunia pendidikan khususnya belajar.
/4/
Revolusi digital, integrasi dunia global, dan dunia tunggang langgang dapat terjadi karena pengetahuan yang mengalami kemajuan yang luar biasa sehingga memasuki Abad XXI dunia mengalami padat pengetahuan. Dengan kata lain, Abad XXI ditandai oleh revolusi pengetahuan yang menjadikan kehidupan padat pengetahuan. Sekarang dan lebih-lebih pada masa depan, segala sesuatu selalu bertumpu pada pengetahuan terutama pengetahuan ilmiah; tanpa pengetahuan seorang manusia atau sebuah bangsa akan kalah, bahkan tergilas karena pengetahuan silih-berganti dalam kehidupan sehari-hari manusia.
Di situlah modal insani atau pengetahuan (baik pengetahuan ilmiah maupun non-ilmiah, baik pengetahuan tersurat (explicit knowledge) maupun pengetahuan tersirat (tacit knowledge) menjadi utama dan perlu selalu diperbaharui dalam tindak kehidupan sehari-hari manusia. Hal ini menyangkut antara lain kreativitas, inovasi, daya interaksi, dan kemampuan berpikir kritis-reflektif-kontemplatif menjadi sangat penting dan perlu senantiasa dikembangkan.
Agar seorang manusia atau sekelompok manusia sanggup bertahan dan berkembang, usaha-usaha penguasaan pengetahuan harus dilakukan secara terus-menerus, berkesinambungan dan berkelanjutan dalam segala ruang dan waktu – baik waktu dan ruang bekerja, bersantai, berkeluarga maupun bermasyarakat. Hal ini menjadi tantangan, tuntutan, dan kebutuhan baru pendidikan terutama belajar yang harus direspons secara memadai.
/5/
Fenomena-fenomena nomor 2 sampai 4 di atas bukan hanya memberikan berbagai kemudahan dan kenikmatan hidup manusia. Tetapi, juga menciptakan atau menimbulkan ekses-ekses kosmis dan humanistis yang tidak diidamkan oleh manusia (sebagai unintended impact). Hal ini dapat berupa kondisi manusia dan kemanusiaan sekarang yang makin mengalami dehumanisasi, MacDonaldisasi, medikalisasi berlebihan, virtualisasi dan hiper-realitas kehidupan, dan destruksi di samping pemanasan global, kerusakan lingkungan, dan semakin terancamnya biodiversitas.
Kondisi-kondisi tersebut dapat berupa bermacam-macam. Pertama, alienasi dan diorientasi yang menjadikan manusia tercerabut dari akar kehidupan yang manusiawi, kekosongan jiwa akibat sulit menyerasikan jiwa-perasaan-tubuhnya, dan megalami kepribadian terbelah. Kedua, ilusi dan halusinasi akibat hidup tidak membumi dan dalam lingkaran palsu tak berujung pangkal (simulakra). Ketiga, pendangkalan makna hidup yang bisa berwujud memahami hidup sebatas bekerja mencari penghidupan dan menjadikan ilmu sekadar hapalan bukan alat memecahkan persoalan kehidupan. Kemudian keempat, berbagai bentuk kekerasan dan perusakan yang menghancurkan manusia dan peradaban.
Seturut dengan kondisi tersebut, pendidikan ditantang dan dituntut untuk mengatasinya. Bahkan memprediksi dan mengantisipasi pencegahannya sehingga tidak semakin merosot kualitas hidup dan kehidupan manusia pada masa mendatang. Di sinilah diperlukan transformasi psikokultural dan sosiokultural masyarakat atau manusia.
Untuk itu, pendidikan khususnya belajar bertanggung jawab dan dituntut untuk mampu melakukan tindak humanisasi, transendensi, dan konsientisasi para subjek didik. Hal tersebut dapat dilakukan antara lain dengan meningkatkan kualitas interaksi dan komunikasi humanistis langsung, mengelola secara seimbang interaksi virtual-digital dengan interaksi humanistis-alamiah, menempatkan kehidupan nyata sebagai ruang perjumpaan, dan sebagainya.
____________________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.