Memandang keluar jendela kamarku di rumah peninggalan mendiang kakekku di Belinyu, Bangka, langit pulau timah yang biru cerah dengan angin yang sesekali berhembus cukup kencang membuatku merasa nyaman dalam melamun. Ya, mungkin lebih tepat disebut melamun daripada merenung. Sebab pikiranku seperti melayang ke mana-mana. Ngungun menatap masa depan yang samar, juga cemas berseliweran di masa lalu. Aku coba merancang-rancang apa yang harus kuperbuat di hari-hari esok, dan menimbang-nimbang kembali episode-episode yang telah lewat dalam hidupku.
Dulu, separuh menghadap keluar jendela kamar ini, ada sebuah meja kecil bikinan ayahku. Di situlah aku belajar menulis. Berbekal mesin tik hadiah kakekku ketika aku masuk SMA, aku mulai mengetik cerita-cerita pertamaku, puisi-puisian cinta, dan sesekali catatan sentimentil ala remaja pria. Tak-tik-tok sampai jelang dinihari sehingga kadang-kadang membuat mendiang ayahku berang karena merasa terganggu.
Bacaanku belum banyak ketika itu. Selain komik, novel-novel picisan, dan cerita silat populer yang berserakan di kios-kios sewa buku, tidaklah mudah mendapatkan buku-buku yang lebih berbobot di kota kecamatan yang perlahan ditinggalkan oleh kejayaan penambangan ini. Beruntung kemudian ada perpustakaan milik Dharma Wanita Timah, dimana aku masih bisa mengakses segelintir buku-buku sastra terbitan Balai Pustaka dan sedikit penerbit lainnya. Dari perpustakaan sekolahku, selanjutnya aku juga mendapatkan sejumlah novel pop lebih berkualitas terbitan Gramedia dan Kanisius.
Aku tidak tahu kenapa aku tiba-tiba tertarik pada dunia menulis. Padahal aku tidak begitu suka pelajaran bahasa Indonesia sejak SD, apalagi disuruh membuat karangan di sekolah.
Sampai sekarang jika ada yang bertanya kepadaku mengenai ketertarikan awalku untuk menulis, aku hanya bisa menjawab kalem: “Sebagai pelarian”. Kurasa itu jawaban paling masuk akal yang bisa aku pikirkan.
Ya, kala itu tiba-tiba saja aku merasa punya sebuah dunia lain yang demikian menggairahkan. Sejak memasuki masa-masa terakhir di bangku SMP, aku pun mulai rajin membeli majalah-majalah remaja yang memuat cerpen seperti Hai, Anita Cemerlang, dan Aneka selain berlangganan tabloid olahraga semacam Bola dan Tribun. Aku mulai menulis untuk majalah dinding sekolah, lalu disuruh mengasuh buletin berita paroki Gereja Katolik, kemudian mengelola majalah sekolah SMA-ku (sebagai ilustrator).
Namun tak ada teman dan tempat untuk sekadar berdiskusi seputar menulis. Aku belajar menulis hanya dari membaca dan membaca bacaan yang sangat terbatas. Itu sebelum aku kenal dengan Willie Xue dan rutin menempuh perjalanan bus 87 km ke Pangkalpinang untuk sekadar bertanya ini-itu perihal puisi dan cerpen.
Aku suka pada orang-orang muda, para remaja pelajar dan mahasiswa, juga kaum Buruh Migran Indonesia yang tertarik ingin menulis. Aku tidak tahu apa motif mereka, hal apa yang membuat mereka merasa tertarik pada dunia menulis. Sejak muda aku sudah tahu kalau aku tidak mungkin mencari uang banyak dari dunia menulis, dan kukira aku juga bukan orang yang suka mencari popularitas. Aku hanya ingin menulis saja dan senang kalau dibaca orang. Sesederhana itu.
Ida Fitri bilang padaku kalau ia baru memasuki dunia menulis pada tahun 2013. Itu sudah jaman yang teramat mudah untuk mengakses bacaan dan membangun interaksi. Aku tidak bertanya kepadanya mengapa ia bisa tertarik menulis, tetapi ia bercerita bagaimana ia mulai belajar menulis di sebuah grup Facebook bernama “Komunitas Bisa Menulis”. Aku pernah mendengar nama grup ini. Jika tak salah ingat, seorang yang kukenal sangat dekat juga pernah bergabung di sana. Ida bercerita sedikit tentang grup itu yang terdengar olehku penuh dengan ketidakpuasan. Ia kemudian ikut sebuah kelas menulis online yang syahdan lebih berkualitas, diasuh oleh sastrawan-sastrawan muda yang kukenal. Dan cerpen-cerpennya pun mulai dipublikasikan di Republika dan koran-koran lokal.
Ya, sekali lagi aku tidak tahu kenapa seseorang tertarik pada dunia menulis: para remaja dan buruh migran. Belum lama ini aku menemukan digital-book seorang yang pernah dekat denganku itu di google book. Sebuah buku cerita anak-anak yang ditulisnya dengan memakai nama samaran. Aku cuma membaca sekilas isi buku itu, namun aku kemudian merasa tertarik pada biodatanya di halaman belakang buku. Bukan karena ada fotonya di sana, yang tampak masih begitu belia dengan ekspresi wajah demikian polos, tetapi lebih lantaran deskripsi tentang dirinya yang tertera di situ. Yang di antaranya berbunyi: “[…] mempunyai mimpi menjadi penulis besar di Indonesia”.
Digital-book ini diterbitkan oleh sebuah grup menulis bernama “Q-Writing Consulting”. Aku mendengar tentang grup ini dari seorang teman BMI yang bekerja di Taiwan. Kukira atmosfer belajar di sana tidaklah berbeda dengan grup “Komunitas Bisa Menulis”. Arah-arahnya adalah cerpen dan novel dakwah populer ala FLP yang melabel diri sebagai Sastra Islami.
Lalu aku tercenung. Itu bukan mimpi yang kecil dan mudah, Dik. Batinku. Aku tidak meragukan sedikitpun mimpinya itu. Aku hanya menguatirkan ketahanan mentalnya. Dunia menulis itu butuh cinta yang keras kepala dan keikhlasan untuk belajar tanpa henti; ia adalah jagat yang sunyi mencekam.
Aku pernah melihat ia punya komitmen untuk mewujudkan mimpinya tersebut. Beberapa waktu lalu misalnya, ia mengikuti kelas menulis online berbayar yang diasuh oleh sahabatku, salah seorang penyair, prosais, dan kritikus sastra terbaik Indonesia. Aku senang sekali ketika aku tahu ia bergabung di sana, dan sesekali ia pun menceritakan proses pembelajarannya kepadaku. Kukira ia cukup progresif. Aku juga bertanya kepada sahabatku yang membimbingnya belajar, apakah ia bisa memahami materi? Bisa, kata sahabatku itu. Wah, hebat. Aku cukup takjub. Aku tahu materi-materi yang diberikan dalam kursus menulis ini bukanlah materi kacangan, tetapi sangat berat dan berkelas. Dan ia cuma tamatan sekolah menengah.
Karena itu, aku merasa begitu sedih ketika mendengar ia kembali dikeluarkan oleh sahabatku. Syahdan, karena ia membantah materi dan karena tidak disiplin.
“Apakah ia memang serius belajar menulis?” tanyaku lagi. “Ia serius ingin bisa menulis. Tapi kadang ia bandel dan kebandelannya itu mengalahkan hasrat ia untuk menulis,” jawab sahabatku tegas.
Aku menjadi semakin sedih lagi ketika sahabatku kemudian menyimpulkan bahwa, “Ia tidak akan bisa jadi seorang penulis.”
Tentu, aku tidak ingin ia berhenti belajar menulis dan berhenti menulis. Aku tidak tahu apakah sekarang ini ia masih akan terus mencari jalan untuk menjadi seorang penulis, yang betul-betul penulis. Aku hanya tahu ia memang agak malas-malasan dan sering merasa minder.
Bakat alam, kecerdasan, dan ketertarikan semata memang tidak cukup mengantar seorang menjadi penulis. Kecuali mungkin penulis kacang-kacangan. Sekali lagi, seperti bidang apapun, dunia menulis membutuhkan usaha keras, cinta yang bengal, dan keikhlasan untuk belajar dan belajar.
Aku masih duduk menghadap keluar jendela kamarku—dan masih betah melamuni mengapa dulu ketika remaja, aku tiba-tiba merasa tertarik untuk menulis.[]
Bangka, Februari 2020.
____________________
*) Sunlie Thomas Alexander memiliki nama lahir Tang Shunli, (lahir di Bangka, Kepulauan Bangka-Belitung, 7 Juni 1977), sastrawan berkebangsaan Indonesia keturunan Tionghoa. Ia dikenal melalui karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, kritik sastra, catatan sepak bola, dan ulasan seni yang dipublikasikan di berbagai surat kabar serta jurnal yang terbit di Indonesia dan di luar negeri: Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Horison, Suara Merdeka, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Poetika, Kedaulatan Rakyat, DetikSport, Jurnal Ruang, Gong, Lampung Post, Bangka Pos, Hai, Nova, Hakka Monthly, dll. Tahun 2016, menerima beasiswa residensi penulis di Taiwan dari Menteri Kebudayaan Republik China Taiwan, dan tahun 2018 menerima beasiswa residensi ke Belanda dari Komite Buku Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
One Reply to “PERIHAL MENULIS (2)”