Puisi-Puisi Ahmad Yulden Erwin


(Photo: Shino Chawan by Toyozo Arakawa, Japan)
KITA BERANJAK TUA

Kepadamu aku
Akan berkata:
‘Kita beranjak tua.’

Mata telah rabun, rambut
Mulai memutih, encok
Dan linu di persendian
Atau gigi yang tanggal,
Cemas juga mulai
Sering datang, sebelum
Sunya tiba-tiba hadir,
Begitu seterusnya.

Kita memang beranjak tua,
Takdir kita akan berakhir,
Kromosom kita akan mangkir,
Dan maut mulai mengintip
Dari balik cermin.

Kepadamu aku
Akan berkata:
‘Kita beranjak tua.’

Rencana akan kita lepaskan,
Seperti debu pada sebuah cawan.
Mungkin hanya kenangan,
Yang masih mencoba bertahan,
Tapi, itu juga akan kita lepaskan.

Tentu, sekarang, kita bisa memilih,
Dan hidup akan terus berlanjut,
Serupa senyum anak-anak kita,
Tapi, dunia juga akan kita lepaskan

DARI YUNOMI RAYMOND TOMS

Engkau menduga harum cendana
Di tengah silam desir angin
Lesap seakan bayang pasang laut
Mengendap ke petang lain

Lalu langit terakota itu padam
Menitik di samping telapak kakimu
Sebelum kilau sebulir embun
Membaca jejak penafsir sunyi itu

DARI 9 TEMBIKAR ASIMETRI PETER VOULKOS

0/
Kesunyian kita meledak
Dalam pertanyaan, sebelum
Kekosongan mengunci permainan

1/
Aku mesti pulang
Sekarang dan, benar, hal begini
Tak selalu tentang melankoli

2/
Dunia adalah
Soal bagaimana kau mengetuk
Pintu dan bergegas melupakannya

3/
Seorang lelaki
Belajar meletakkan kepalanya
Baik-baik dan, pasti, selalu baik-baik

4/
Ruang tak mengajarkan
Apa pun, kecuali bagaimana
Kau meletakkan mimpimu di luar pintu

5/
Kadang kita merasa
Tak siap menyimpan kenangan,
Kecuali saat kita menatap cermin

6/
Mereka harus mulai belajar
Membersihkan lumpur di kaki sendiri
Atau, sama sekali, melupakannya

7/
Waktu adalah
Soal bagaimana kau meletakkan
Tiga setelah empat

8/
Apa yang benar-benar
Berharga dalam hidup ini, kecuali
Saat kau terjaga dari mimpimu sendiri?

IMARI

Setiap kata tak mampu menangkapnya
Setiap tafsir tak mampu menguncinya
Ia halus dalam misteri, juga segenap tanda

Di sini kita akan terjaga dan membuka diri
Seperti angkasa, presisi awan dan cuaca
Tumbuh untuk mengingkari bunga-bunga

Lalu, pelan-pelan, menyimpan seluruh putihnya

PULANG

0/
Pagi terakhir di jalan gunung
Stasiun silam: abu putih, salju hitam

1/
Seluruh sutra Buddha—
Tinggal jejak kelinci di hutan Ogaya

2/
Kuntum ume jiwanya, tetes embun
Matanya, tetapi kita ada di luar itu semua

3/
Hutan ini selalu guruku, sebab
Kau tahu, cawan terbaik ialah keheningan

4/
Lelaki itu telah selesai—
Sebelum menyentuh lempungnya

5/
Senja, api, dan tungku anagama
Arakawa telah pulang ke lekang cawannya

@2016 – 2019

______________________
*) Ahmad Yulden Erwin lahir di Bandar Lampung, 15 Juli 1972. Ia telah menerbitkan kumpulan puisi “Perawi Tanpa Rumah” (2013), “Sabda Ruang” (2015), “Hara Semua Kata” (2018) “Perawi Tanpa Rumah (Edisi revisi, 2018), “Perawi Rempah” (5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2018).

Leave a Reply

Bahasa »