[Photo: Shoji Hamada, Master Potter, Japan]
CAWAN BIASA HAMADA
Salju itu hitam, pasti, selalu
Ada malam di tengahnya
Saat kaubuka mata, kembali
Setiap detik adalah samudra
Perlahan kaumasuki gerbang
Cahaya di cawan Hamada
Seruang-seruang, di sini
Setiap benda tak lain semesta
PIRING BIASA HAMADA
Di antara sekian piring Hamada
Satu semesta kembali tercipta—
Tenang dan menolak sempurna,
Meski bukan batin paling peka
Bisa menduga api hijau muda
Dalam abu glasir kurva, kecuali
Sanggup kauseka batas segenap
Indra, menyerap haru orang biasa,
Dalam detak jantung segala benda.
DI MUSEUM KERAMIK HAMADA
Kita masuki halaman senyap itu
Selepas jeda antara abjad k dan a luruh
Di tepi hutan: luka ini hidup, juga cahaya
Matahari pagi mulai sedikit manis;
Di depan pukau ungu setangkai anemon
Kau kembali berbisik inilah cara terlekas
Menghapus cemas dalam mimpimu;
Kami terdiam menatap capung hitam dan
Warna anggur di dinding cawan Hamada
Seakan tak hendak berpaling saat itu
Dua pasang mata masih menatap di ruang
Yang sama: bayang anemon, juga embun;
Kau membuka pintu dan berbalik
Menatap kilat pagi di bola mataku, tentu,
Hujan begini tak bisa menolak senyummu.
2014
____________________
*) Ahmad Yulden Erwin lahir di Bandar Lampung, 15 Juli 1972. Ia telah menerbitkan kumpulan puisi “Perawi Tanpa Rumah” (2013), “Sabda Ruang” (2015), “Hara Semua Kata” (2018) “Perawi Tanpa Rumah (Edisi revisi, 2018), “Perawi Rempah” (5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2018).