(Gandrung Banyuwangi, Ndix Endik, Akrilik di kanvas 100×120 cm)
Taufiq Wr. Hidayat *
Lugonto adalah sebuah dusun di wilayah Desa Rogojampi, Banyuwangi. Di situ ada jembatan. Sungai yang curam. Entah siapa yang pertama kali—barangkali dengan maksud berlelucon, menyebutkan “Lugonto Nasional”. Di situ terdapat Pertelon Lingcing Rogojampi. Pertelon yang menjadi ingatan pertama saat memasuki Rogojampi yang termashur dengan pasarnya yang bergairah, tua dengan pengalaman berdagang, dan tak pernah sepi.
Pasar rakyat Rogojampi menyimpan barang-barang. Apa saja. Sebutir jarum sampai sebuah mobil mewah. Didasarkan. Ditawarkan. Bahkan benda-benda lama yang langka, masih saja dijual di sana. Toko-toko kuno milik orang China. Bangunan-bangunan tua yang kehitaman dihantam cuaca. Dan penjahit sepatu. Orang Jawa, Madura, China, Arab hidup dari pasar itu. Tempat peribadatan orang China, Tik Liong Tian. Masjid besar. Gereja besar. Berjajar-jajar. Kuburan China di Jagalan menjadi penanda, betapa tak ada yang mau meninggalkan lezatnya perdagangan pasar Rogojampi, jiwa raga diserahkan; lahir, tumbuh, hidup di sana, mati di sana. Pasar Rogojampi seolah pasar dari surga. Tetapi juga mengandung kecemasan.
Tanah perbukitan di barat sana. Air mengalir di Desa Pakel dan Gombolirang. Kau akan menemukan jalan kecil bersih yang berkelok dan panjang di antara sawah, sungai-sungai di Dusun Kopenlaban dan Kopenlangi pada Kecamatan Kabat yang bergandeng mesra dengan Rogojampi. Tapi banyak jalan vital sebagai sarana ekonomi rakyat di dusun itu yang tak tersentuh pembangunan, sementara penguasa berbusa-busa perihal jalan tol. Di sana, rumah-rumah berdiri di permukaan tanah yang tinggi. Kau akan melihat lautan dari situ. Seakan melihat seluruh dunia dengan segala isinya. Tatkala gerimis reda pada senja hari, kau akan menyaksikan pelangi melengkung indah sekali. Ke barat dari pasar Rogojampi, di wilayah yang disebut Kulon Ban, jalan-jalan menanjak dan berliuk-liuk. Perkebunan dan sawah yang menakjubkan. Mata air dan sungai-sungai yang bening, yang kesejukan dan derasnya air di sana, seakan memang hanya satu-satunya di dunia.
Konon Banyuwangi berasal dari dua kata, yakni “banyu” (air) dan “wangi” (harum). Menandakan bahwa potensi utama Banyuwangi adalah air. Airnya berkualitas (wangi). Tak banyak metafora “air yang wangi” menjadi nama sebuah wilayah di dunia ini. Kalau bicara air, berarti bicara hutan. Air melimpah dan berkualitas layak minum tanpa dimasak adalah anugerah hutan angker dan lebat. Itu terdapat di Banyuwangi, ada hutan wingit, bersejarah, dan disakralkan orang Jawa, yakni hutan Purwo. Dalam syair lagu Umbul-umbul Blambangan, kekuatan alam Banyuwangi disebutkan: “kulon gunung wetan segara/lor lan kidul alas angker/keliwat-liwat” (barat adalah gunung, timur adalah lautan, utara dan selatan hutan wingit yang luar biasa). Banyuwangi dikepung daya alam yang kekayaannya mengherankan. Belum lagi budaya khas dan watak sosial masyarakatnya yang dinamis; “akeh prahara, taping langitiro mageh biru yoro” (banyak prahara, tetapi langitmu biru selalu). Banyuwangi melewati pengalaman sejarah yang telah menciptakan kekokohan sikap dan kedewasaan masyarakatnya. Di Banyuwangi terdapat banyak sekali daerah menggunakan nama-nama air. Misalnya, Sumbersewu (seribu mata air), Sumberayu (mata air indah), Kalirejo (sungai besar), Kaligondo (sungai wangi), banyak lagi. Ini bukti air adalah yang utama di Banyuwangi. Tetapi petani menanam padi dan menjualnya dengan harga yang ditekan-tekan. Kopi pun tak lazim dinikmati orang Banyuwangi, dikirim ke luar daerah. Begitu pun beras Genjah Arum yang mashur itu, dinikmati orang luar. Kenapa kita tak mampu beli? Mana bukti kalau wilayah ini punya ekonomi yang baik? Mana pula bukti omongan pemerintah, bahwa kemiskinan sudah turun? Turun ke mana? Turun ke anak cucu! Jawab seorang kawan sambil kencing berdiri.
Tapi jangan kau tanyakan di mana kekuasaan. Penguasa Banyuwangi seolah hanyalah penguasa, bukan seorang pemimpin yang sanggup mengolah surga di sini. Hanya kaum pesolek yang menjijikkan. Seakan memang kebiasaan penguasa sepanjang sejarah.
Sahdan pada zaman entah, tersebutlah seorang yang gila. Orang gila itu berlari-lari genting pada sebuah pasar. Ia berseru-seru penuh kesungguhan: “Tuhan telah mati! Tuhan tetap saja mati!” katanya.
Tentu saja ucapan sang gila itu sungguh menggelikan sejumlah orang. Tak satu pun yang memerhatikan sang gila tersebut. Sang gila kecewa berat, ia membanting lentera di tangannya ke atas bumi, lalu berseru, dirinya tiba terlalu cepat, karena manusia masih belum menyadari bahwa manusia itu sendiri telah membunuh Tuhan.
Itulah secuplik kisah dalam novel termashur dalam sejarah “Also sprach Zarathustra” atau “Sabda Zarathustra”. Novel yang ditulis Friedrich Nietzsche itu agaknya mengilhami Francesco Guccini menciptakan lagu dalam Bahasa Itali “Dio è morto” (Tuhan Telah Mati). Pada tahun 1965, lagu tersebut dibawakan band Italia, Nomadi, menjadi hit yang digemari manusia, lantaran barangkali manusia memang sudah benar-benar telah membunuh Tuhan. Namun kenapa Zarathustra harus muncul di sebuah pasar? Kenapa pasar? Kenapa ia yang dianggap gila setelah melontarkan dalil “Tuhan telah mati” itu, tak mendakwahkan dalilnya di tempat peribadatan yang jelas-jelas sebagai tempat menyembah Tuhan? Kenapa ia teriak di tengah pasar, di sebuah tempat yang Tuhan memang sering diragukan, bahkan dianggap tak perlu ada karena selalu menghalang-halangi kebebasan, bahkan kesewenangan?
Barangkali Zarathustra menyadari, di tempat peribadatan tak mungkin orang melakukan kegiatan duniawi secara nyata. Di situ, ia hanya akan heran melihat orang beribadah, sedang si orang yang beribadah itu belum mendengar kabar bahwa Tuhan sudah mati. Namun di pasar, segalanya terjadi. Ada barang, ada harga, makelar, tengkulak, penjual dan pembeli. Manusia berkumpul dengan satu kepentingan, yakni jual-beli. Pasar dalam pengandaian Nietzsche pada novelnya yang tak lazim itu, barangkali sebuah panggung kehidupan yang dipenuhi para pemeran. Manusia memerankan apa saja di sana. Sebuah tatanan yang dipatri, dikokohkan, dijaga, dan tak bisa dipertanyakan lagi. Ini mirip sebuah doktrin dari keimanan. Sedang Tuhan—yang diiman-imani itu, telah dibunuh manusia secara sadar dengan mengokohkan sebuah bangunan sistem kehidupannya sebagai doktrin, dan itu dipergunakan untuk mengkafirkan segala kebebasan dan kemungkinan-kemungkinan paling liar dari akal-pikiran manusia sendiri. Pada titik itu, Tuhan mati, dan tetap mati.
Kita tahu, Zarathustra tak pernah muncul di Pasar Rogojampi kini. Andai ia muncul di sana, ia akan berpikir lebih berat untuk mengumumkan dalilnya. Lantaran di sebuah pasar yang ramai itu, justru kesepian tercipta. Pertemuan hanyalah sesaat, jenak, dan ringkas. Tak ada yang kekal di dalamnya. Orang-orang berkumpul karena satu kepentingan yang sama, yakni jual-beli. Dan di dalamnya, kepentingan dari kekuasaan ekonomi raksasa mencengkeram sampai metafisik. Kekuatan kapital menjaya. Sedangkan daya sosialisme, seakan lumpuh di antara kedua kakinya. Manusia justru membunuh Tuhan atasnama Tuhan.
Dan di Pasar Rogojampi, harum bawang dan aroma kain bercampur di udara. Air sungai memecah lapak pedagang buah. Pasar tua itu terus berdenyut dengan segala dayanya yang tersisa, entah sampai kapan. Ada yang tertinggal. Ada yang tak kebagian. Kekalahan dan keterasingan tak terhindarkan. Penguasaan uang dan modal terus melakukan penghisapan. Sedang orang-orang terus menjalani hidupnya. Sesekali menuju tempat peribadatan, mengadukan kecemasan atau mencari pembenaran atas segala kenaifan dan kekejian dirinya sendiri, mengaku bertuhan tapi gemar bersolek menindas yang lemah, atau bakhil dan angkuh. Di situ, penguasa terus menerus menyelenggarakan pesta demi pesta, pertemuan-pertemuan orang-orang besar, makan-makan, dan menjaga kekuasaannya dari rong-rongan siapa pun, bahkan dalam kekuasaannya itu, tak boleh ada Tuhan sekalipun. Yang boleh ada hanya si penguasa sendiri, menepuk diri sebagai yang maha sejati.
Lugonto,
Rogojampi, 2020.
_______________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.
Mantab