Sajak-Sajak Abi N. Bayan

Di Pantai Jaya yang Pasifik

Kau masih berdiri
dan sesekali duduk
di atas bodi perahu,
kau pandangi laut biru
yang tak ada pulau-pulau.

Di kejauhan awan putih menari-nari
ke matamu ombak pasifik berlari-lari
sementara angin dari laut begitu pandai
melipat rambutmu, dan sungai di belakangmu
tak henti-henti menggeser segala dari bukit-bukit.

Kau masih berdiri seperti pohon kelapa
yang berayun-ayun di sepanjang pantai
yang di bawahnya batu hitam terhampar,
sedang lororo begitu erat mengikat kakinya.

Kau masih berdiri
dan sesekali membalikkan mata
ke bukit yang erat dipeluk kabut
gerimis, oh gerimis, alangkah rindu ia kepada
pohon cengkeh yang berbaris menatap ke laut,
sementara tanjung berbukit yang kaulihat
berdiri di antara Hapo dan Titigogoli—
seperti ego yang tumbuh kokoh di dadamu.

Kau masih berdiri
dan tak ingin lagi
menjadi lelaki yang cemas dan mabuk
meski pulang yang kaurindukan adalah
arus dan gelombang
yang mendidih di sepanjang ingatan.

Morotai, 24 Maret 2019.

lororo: rumput melata biasa tumbuh di pantai.
Hapo dan Titigogoli: Pemukiman warga di Pulau Morotai.

Memandangi Laut yang Dibelah Kapal-kapal

Apakah kau masih di sana, Tan?
di tebing hijau itu, memeluk lelah dan rindu
memandangi laut yang dibelah kapal-kapal
dan berpikir tak lagi ombak yang meriak dan membuih
setelah kapal-kapal itu pergi— meninggalkan matamu.

Atau kau yang sedang bersandar di batang cengkeh itu
menghitung daun-daun nasib berjatuhan dan berharap
—-tak ada lagi mimpi yang melompat dari tebing,
setelah benih itu kau tanam dan musim memintamu
untuk memanen, sebab angin adalah maut, kadang datang tiba-tiba.

Atau kau yang setiap pagi membentangkan terpal di jalan-jalan itu
sambil meraba-raba warna langit yang terus berawan, dan berharap
selain dari langit, hujan tak lagi tumpah dari langit-langit matamu.

Morotai, 2019.

Sebab Kami Tak Ingin

Aku anak petani
yang cuma ingin menjaga wangi
maka tolong– jangan paksa tanah kami
menelan obat kuat yang pada akhirnya ia menjadi mandul
sebab kami tak ingin, harapan anak-anak kami menjadi gundul.

Aku anak pelaut
yang cuma ingin menjaga langit
maka tolong– jangan paksa laut kami
menelan limbah yang pada akhirnya ia kehilangan biru
sebab kami tak ingin, harapan anak-anak kami kehilangan hijau.

Morotai, 2019.

Apa yang Paling Kekal Dari Telaga Itu

Apa yang paling kekal
untuk kau kenang dari telaga itu
selain tubuh masa kecil yang di kepalanya
hanya ada ayah, ibu, dan kedamaian:

Ayah yang berhari-hari menangkap udang
untuk ikan-ikan yang lapar di laut
dan nasib yang lapar di darat.

Ibu yang setiap pagi melepas ayah melaut
dan setiap sore menjemput ayah pulang
lalu esoknya ibu ke kota menggendong ember
dan di bawah matahari timur yang cukup ganas
ibu akan beranjak dari satu gang ke gang lainnya.

Kedamaian yang tak kau temui di kota-kota
saat kau duduk di bibir telaga
memandangi pohon soki yang rimbun
digoyang-goyangkan angin
dan kau bayangkan dirimu
menjadi ikan-ikan.

Morotai, 2019.

*Telaga Nusliko: Tempat wisata di Kabupaten Halmahera Tengah.

Kalau Kau Tak Ingin Pulang
Biar Aku yang Mengingatkan

Kalau pupeda
sudah dingin dan mengeras
ikan kua kabur adalah sungai-sungai
pisang kuli-kuli sagu kasbi serta batata
adalah kadaho–kita selamkan berkali-kali
kemudian kelaparan menggiringnya
ke lautan
ke mulutmu
ke mulutku
kemudian cinta
menjadikannya kehidupan

dan kita
menjadi sepasang kekasih
paling bahagia
menikmati segala
yang kita tanam
dengan tangan sendiri
sedang Bismillah serta syukur
adalah bahasa paling ibu
yang kita panjatkan diam-diam.

Kalau padi
sudah menguning di kebun mama
dan lisung sudah berbunyi setiap sore
nasi pulo adalah pulau-pulau
yang penuh kelapa dan pohon sewo
berinji adalah hamparan pasir
yang memutih sampai ke hati
nasi jaha adalah potongan-potongan tubuh kita
yang harum kelapa bambu dan daun pisang
waji adalah wajah kita yang ramah
di antara sabua yang ramai
dan tikar yang dibentangkan

kita mendaki di sana
kita menari di sana
kita bernyanyi di sana
kita bertigalu di sana
orang-orang datang
kita berhadapan.

Kalau loga-loga
sudah menyala
dan jum-jum sudah di tangan
di rumah-rumah sunyi itu
di TPQ-TPQ ramai itu
siapa bilang kita lupakan Tuhan?

Morotai, 2020.

*loga-loga: lampu kecil.

*) Abi N. Bayan, lahir di Desa Supu Kec. Loloda Utara, Kab. Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara, 14 September 1990. Anak dari Hi. Naser Dano Bayan, dan Hj. Rasiba Nabiu. Kini tinggal di Morotai sebagai guru MA Nurul Huda, dan Pembina Sanggar Nurul Huda Gotalamo. Tahun 2019, menerima Anugerah Sastra Apajake (kategori penyair), dan salah satu nomine Anugerah Sastra Litera 2019. Karyanya tergabung beberapa antologi, diantaranya: Antologi Puisi Dari Negeri Poci 9: Pesisiran (2018), Perjumpaan: Antologi Sastra, Festival Sastra Bengkulu (2019), Membaca Asap (2019), Antologi: Situs Kota Cinta dalam Puisi (2019), dll. Karyanya pernah dimuat di Majalah MAJAS Edisi-3, dan di Website Sastra-Indonesia.com Nomor Kontak: 081343630934. Email: abibayan1990@mail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *