BENCI TAPI RINDU
Terjal penuh duri dan berliku,
tampak putih dari dekat kelabu,
gegap rasa sendu, benci merindu.
Oase kehidupan melantun merdu
seperti nyanyian mendayu-dayu,
secercah harapan indah berpadu
seonggok kenangan sulit disapu
mutiara berlian untuk sang ratu
lantunan pujian demi sang guru.
Adakalanya rindu merasa malu
ada rasanya sayang tetapi kaku
bibir berucap sulit tak mampu
hati gelisah pikiran tiada tentu
bulir bening menetes satu-satu
malam dingin pun telah berlalu.
Benci, benci, dan benci jadi hantu
kata hati, tak dapat diingkari selalu,
ingin bertemu dengan pujaan hatiku.
MUARA TAK BERLENTERA
Hitam, pekat, dan menyeramkan
semakin dekat penuhi bayangan,
ingar bingar lalu lalang gerangan
gusar hati seolah ancaman perang.
Dapatkan berat jadi ringan
dapatkan oleh keterangan,
sesusah payah dilakukan
jeritan pilu tak dirasakan
: muara laksana kubangan.
Secolek ayu melintas meninggalkan
setampan Arjuna terbang melupakan
nyala lentera padam tak bertuan,
mutiara indah tiada berkilauan.
Sayup-sayup melupakan…
entah apa yang jadi harapan,
selenggok penuhi simpangan,
berharap gapai secercah impian:
muara tak berlentera jadi pujaan.
MISTERI TIGA BELAS
Semua hilang tanpa kabar
alasan-alasan menghindar,
bertemu pun hanya sebentar
lamat suara-suara terdengar
tanpa sengaja adanya kabar.
Sepintas tak kuasa menatap gemetar
semilir angin, bara api membakar
detik-detikan perasaan terdampar
hari-hari meronta-ronta kian besar
tak kuasa merengkuh-menghindar,
ingin bersatu terhalang tembok besar.
Tiga belas tahun rasanya hambar…
tiga belas tahun ingin ditebus tegar,
makna demi makna di hati bergetar,
merajut asa nan kasih di ingar-bingar
deru seru suara cibiran datang terdengar
pujian, hardikan, ratapan, susah kian pudar.
Akankah, dan kapankah kutunggu sadar
semakin lama makin tiada kuasa berkoar,
cepatlah bersatu di sisa usia walau sebentar
selalu berdo’a, dan kutunggu sepurna sabar…
IKHLAS BAKTIKU
Nyala lentera tidaklah bertuan
terombang-ambing sang bayu,
lirih gemuruh hikmah bersahutan.
Derap langkah murid terngiang
di pelosok desa nan sepi-sunyi,
secercah harapan kian menawan
ikhlas baktiku kan tersampaikan.
Akankah usang tak sampai di tangan?
akankah langit sampai tak berbintang?
Aku terbangun, tersadar mimpi belaka
kuat niat, bulat tekat, maju semangat.
Ikhlaslah baktiku kupersembahkan
demi sang murid permata harapan
tumpuan cita-cita di masa depan.
RU
PANGGILANKU
Ru… permisi…
Ru… kemana?
Ru… guru…
Sapaan akrab di pelosok desa,
digugu lan ditiru arti maknanya.
Sosok wibawa patut diteladani
peluh lelah tak dirasa juangnya
demi ilmu tak jemu dan resah
sirna disaat hasil siswa nyata.
Wajah tetap belia semangat muda
walau tanpa sadar termakan usia.
Gerilya otak selalu demi sekolah,
maju sukseskan cita-cita. Hulu hilir
dilalui, semoga surga setia menanti.
___________________________
*) Nurul Komariyah, S.Pd., lahir 22 September 1985, beralamat di Dusun Bagel, Sumberagung, Sukodadi, Lamongan. Mengajar di SDN Sumberaji, Sukodadi. Kini sedang menunggu jadwal wisuda Strata Dua di UT Surabaya. Aktif menulis buku harian, puisi, dan pantun, sejak di bangku SD, dan beranjak SMP gemar mengisi majalah dinding. Sewaktu SMA dan kuliah, menulis di beberapa jurnal, tabloid, majalah sekolah, dan kampus. Bergabung di komunitas: FLP, FP2L, Literacy Institute Lamongan. Antologi puisi tunggalnya “Dentingan Bulan,” Penerbit PUstaka puJAngga dengan Pustaka Ilalang, 2020.