Anindita S. Thayf
Harian Fajar, 19/01/2020
Sulit untuk mendamparkan ingatan pada era 80-an tanpa terkenang pada nada-nada yang sering dimainkan hari-hari kala itu. Salah satu nada adalah milik lagu-lagu yang kerap merajai hampir semua stasiun radio: lagu-lagu festival. Adalah Festival Lagu Populer Indonesia (FLPI) dan Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR) Prambors yang menjadi sumber pemasok banyak lagu populer ke tengah industri musik Indonesia saat itu. Baik FLPI maupun LCLR adalah ajang kontes seni yang lahir pada era 70-an.
Pada era yang sama lahir pula sebuah ajang bersifat serupa di ranah sastra, Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Kendati dilahirkan dengan semangat yang sama, yaitu merangsang kreativitas dan mencari kebaruan, tapi nasib ajang ini berbeda. FLPI dan LCLR bisa mencapai puncaknya tidak sampai satu dasawarsa, sedangkan Sayembara Novel DKJ memerlukan waktu lebih lama untuk mencapai posisi bergengsinya sebagaimana sekarang.
Dunia literasi Indonesia hari ini mencatat hampir selalu ada sayembara menulis baru yang lahir saban tahun. Hal ini dipicu oleh satu keyakinan yang menyebar di kalangan penulis dan calon penulis. Bahwa sayembara menulis adalah semacam ajang pembaptisan yang bersifat mutlak, terutama sayembara yang dianggap berprestise, seperti Sayembara Menulis DKJ. Sayembara menulis pun dilihat sebagai tahapan yang wajib dilalui demi mendapat pengakuan dalam dunia tulis menulis, khususnya sastra.
Banyak penulis lantas berlomba menghasilkan karya untuk mendapat cap “unggulan” atau “juara”, jika beruntung. Maka terbitlah segerombolan buku dengan ciri seragam: sampul berhias cap sayembara menulis. Buku-buku yang menciptakan satu tren baru dalam dunia sastra kita, menyetir selera penulis pemula dan mendiktekan ukurannya sendiri untuk ajang sejenis lainnya: tren sastra sayembara.
Juri Bukan Dewa
Berbicara tentang sayembara berarti berbicara tentang juri. Dalam lingkup sayembara, juri diposisikan seagung jenderal komandan pasukan yang keputusannya terlarang digugat. Padahal, siapapun bisa menjadi juri. Selama orang itu dipilih oleh panitia sayembara untuk posisi tersebut, entah karena kepakaran, ketenaran, kesenioran atau hubungan perkoncoannya, maka jadilah orang itu juri.
Juri memang pusat semesta sayembara. Dengan kekuasaan pada tangannya, dia berhak memilih para unggulan dan menentukan siapa sang juara. Namun, juri bukanlah dewa. Keputusannya bukan pula takdir yang kebal gugatan. Pidato pertanggungjawabannya bukan sabda.
Di luar lingkup sayembara, seorang juri bisa saja hanya seorang sastrawan selebriti, penggiat literasi yang banyak kawan, atau penulis biasa-biasa saja. Ketika keputusannya telah menjelma buku yang dijual di pasar, kekebalan itu lenyap. Di tengah pasar yang kejam, keputusan juri tidak bisa menyelamatkan nasib sebuah buku dari penilaian. Pembaca boleh tidak menyukainya. Pengulas buku berhak mengkritisi kemenangannya. Pada akhirnya, pidato pertanggungjawaban juri hanyalah semacam argumentasi menawan yang dibutuhkan seorang juri untuk membenarkan pilihannya sekaligus menutup masa jabatannya dengan meyakinkan.
Ada banyak bukti bahwa pidato pertanggungjawaban juri sebuah sayembara tidak kebal kritik. Sebagaimana yang terjadi pada Saman, peraih juara pertama Sayembara Menulis DKJ 1998. Kendati kehadirannya disambut meriah oleh khalayak sastra kala itu, novel ini tidak bebas dari kritik tajam. Hal serupa juga dialami salah satu pemenang sayembara menulis yang sama, alumnus dua tahun kemarin. Seorang pengulas buku menemukan banyak kelemahan dalam karya tersebut yang berlawanan dari pujian juri.
Kreativitas yang Dikebiri
Ada sebuah kontradiksi yang terabaikan selama ini. Hampir semua sayembara di bidang seni mengatasnamakan kreativitas dan semangat kebaruan sebagai visi dan misinya. Ironisnya, si pengagas visi dan misi sayembara tersebut seolah lupa bahwa kreativitas dan kebaruan memerlukan keberanian kreatif. Dan, keberanian semacam ini sulit lahir di tengah ajang yang menjadikan satu atau sekelompok orang tertentu sebagai penentu nilai dengan kekuasaan yang absolut.
Menurut Rollo May, seorang psikolog eksistensial Amerika Serikat, keberanian kreatif berhubungan dengan penjelajahan atas bentuk-bentuk baru. Setiap seniman mempunyai citra dan imajinasi, juga batas-batasnya sendiri, begitu pula peserta sayembara dan para juri. Di luar sayembara, seorang peserta atau seorang juri barangkali adalah cerpenis atau novelis dengan imajinasi, selera, pandangan, kemampuan dan keunikan masing-masing. Namun, bagaimana jika keduanya bertemu dalam sebuah sayembara? Sudah pasti yang berada pada posisi terlemah mesti mengalah. Peserta sayembara yang malang.
Seorang cerpenis, penyair, novelis, kritikus, atau akademisi yang kebetulan menjadi juri tentu akan menjadikan apa yang dimilikinya sebagai ukuran penilaian. Ketika karya seorang peserta menyajikan suatu imajinasi, ide atau realitas yang bertentangan, atau bahkan tidak pernah ada, dalam kepala sang juri maka karya tersebut mudah diberi nilai minus hanya gara-gara rasa asing yang ditawarkannya. Penilaian negatif juga bisa menimpa karya-karya peserta sayembara yang, sialnya, dinilai oleh juri yang kurang tepat untuk genre yang dilombakan.
Di sisi lain, peserta sayembara selalu berjuang mati-matian. Banyak penulis bahkan rela didikte oleh sayembara yang ingin diikutinya demi memikat hati juri. Dimulai dengan membentuk ulang imajinasinya lewat santapan buku-buku sastra sayembara dan menentukan citra baru berdasarkan karya para pemenang terdahulu.
Selanjutnya, sebagaimana yang ditulis dalam salah satu artikel tentang tips memenangkan sayembara menulis adalah mencari tahu nama calon juri, lalu membuat karya yang sesuai selera mereka. Misalnya, menulis tentang adat budaya suatu daerah atau menggunakan gaya penulisan realis sebab begitulah gaya yang dikuasai seorang juri. Tanpa disadari, kehadiran sayembara menulis justru mengebiri keberanian kreatif banyak penulis kita, yang ujung-ujungnya bermuara pada tumpulnya kreativitas.
Bukan rahasia lagi kalau kehidupan sebagai penulis adalah kehidupan yang berat. Dibutuhkan kejaiban untuk mengubah nasib, apalagi mengangkat nama seorang penulis. Mengikuti sayembara menulis memang membuat satu-dua penulis bisa tampil di atas panggung, tapi hanya sebatas itu. Hadiah sayembara yang cukup besar juga hanya membuat si pemenang kaya sesaat, sebelum kembali miskin kemudian.
Sayembara menulis hanya pantas dijadikan pemicu semangat. Layaknya seniman, pencapaian seorang penulis yang sesungguhnya adalah menemukan bentuk-bentuk baru yang mampu menghidupkan imajinasi, rasa dan sensasi dalam benak pembacanya. Sebuah pencapaian yang mungkin saja bisa diraih oleh seorang penulis yang berani berkarya demi kepuasan pribadi, bukan kepuasan pasar, apalagi juri sayembara.***
*) Novelis dan esais
https://www.facebook.com/anindita.thayf/posts/10207170725144689