Muhammad Muhibbuddin *
3 Idiots, judul film itu. Ini sesungguhnya film lama tetapi makna dan pesan moralnya masih relevan hingga sekarang. Aku menonton film ini ketika masa-masa akhir menjadi mahasiswa. Film Bollywood hasil besutan Rajkumar Hirani dan dibintangi oleh Aamir Khan dan Kareena Kapoor ini bercerita tentang tiga mahasiswa di sebuah universitas.
Meskipun film 3 Idiots ini mengambil setting di India, bisa jadi secara umum film itu diproyeksikan untuk menggambarkan atau memotret sekaligus mengkritisi sistem dan kultur pendidikan di seluruh negara-negara Dunia Ketiga (underdeveloped country). Artinya, kultur dan sistem pendidikan yang diangkat dalam film itu bukan hanya terjadi di India saja, tetapi tidak menutup kemungkinan juga terjadi di negara-negara dan bangsa-bangsa Dunia Ketiga lainnya.
Jika benar bahwa film ini menggambarkan potret kultur pendidikan di Dunia Ketiga, semoga saja ini bukan bagian dari apa yang disebut Edward Said sebagai jejak-jejak orientalisme hasil konstruksi Barat: Representasi Timur. Artinya, film itu mudah-mudahan saja “murni” refleksi dan otokritik yang menyembul dari ruang kesadaran masyarakat Dunia Ke Tiga sendiri dan bukannya secara latah meniru-niru Barat. Alih-alih meniru Barat (meskipun dalam konteks kritik), film ini semoga justru menampilkan diri sebagai sarana kritik ideologis terhadap sistem pendidikan Barat yang dijadikan sebagai “resep” tunggal dan benchmark bagi pendidikan di seluruh dunia, termasuk di Dunia Ketiga/masyarakat Timur.
Orientalisme secara sederhana, sebagaimana diintrodusir Said, adalah gerakan ideologis yang mencoba memaksa masyarakat global, terutama masyarakat Timur/Dunia Ketiga, untuk meniru dunia Barat/Dunia Pertama. Dalam nalar orientalisme, Barat atau Dunia Pertama direpresentasikan sebagai simbol keunggulan, kemodernan dan kemajuan. Sebaliknya Timur atau Dunia Ketiga bahkan mungkin Keempat disimbolkan sebagai kemunduruan, ketradisionalan dan keterbelakangan. Pembedaan secara biner, imajiner dan sepihak yang belum tentu kompatibel dengan kenyataan ini membuat para orientalis Barat langsung berfilsafat: Jika Timur atau negara-negara Dunia Ketiga hendak maju dan superior, maka “mutlak” (ora keno ora) harus mengikuti sepenuhnya, menjiplak mentah-mentah dan mengekor apa adanya terhadap Barat.
Lalu bagaimana jika Dunia Timur atau Negara-Negara Dunia Ketiga itu menempuh jalannya sendiri yang berbeda, bahkan berlawanan dengan Barat atau Dunia Pertama? Kaum orientalis Barat itu, kata Said, akan menarik konklusi filosofisnya: bahwa bangsa-bangsa Timur atau negara-negara Dunia Ketiga dan Keempat memang tidak bisa diperbaiki, karenanya tidak bisa dipercaya alias tidak bisa dijadikan rujukan bagi nilai apapun apalagi ilmu pengetahuan (Said, 2010:503).
Karenanya sekali lagi, meski film 3 Idiots ini sarat kritik atas dunia pendidikan, semoga saja kritik itu cermin kesadaran dari masyarakat Timur atau Dunia Ketiga (yang dalam hal ini India) sendiri, dan bukan wujud penjiplakan mentah-mentah dari, apalagi upaya peniruan secara latah pada, apa yang diwartakan dan dikehendaki Barat/Dunia Pertama. Jika memang demikian, film 3 Idiots ini bisa dikategorikan sebagai wacana postkolonial, yang alih-alih meniru atau mengekor, tetapi justru mencoba melawan, menerobos dan go beyond pakem-pakem kultural dan ideologis yang dijajakan dan dipaksakan secara sepihak oleh Barat atau Dunia Pertama kepada masyarakat Timur atau Dunia Ketiga, termasuk di ranah pendidikan.
Daya pikat dari film 3 Idiots itu secara umum adalah kritik sosial dan pesan moralnya. Film ini berkisah tentang 3 mahasiswa Imperial College Of Engeenering (ICE), New Delhi, yang dikenal sebagai kampus terbaik di India dan gudangnya para insinyur dan anak-anak genius. Tiga mahasiswa yang dimaksud itu adalah Ranchodas Syalmadas Chancad (Aamir Khan), Farhan Qureishi (R.Madhavan) dan Raju Rastogi (Sharman Joshi).
Rancho-panggilan dari Ranchodas Syalmadas Chanchad- merupakan mahasiswa genius. Ia sering memunculkan ide-ide brilian, unik dan menantang kemapanan. Segenap pemikiran, performa dan tingkah lakunya penuh dengan kritik-revolusioner terhadap kondisi dunia pendidikan yang ada di India, khususnya di lingkungan kampus ICE. Pikiran dan gaya hidupnya senantiasa membrontak dan tak mau kompromi dengan pakem akademis yang dianggapnya menindas dan hanya membuat para mahasiswa sebagai “keledai”. Karena pemikirannya yang cenderung oposan terhadap sistem akademik itulah, Rancho dan dua temannya (Farhan dan Raju) yang mengikuti langkah-langkah dan pola pikirnya dijuluki idiot oleh para dosennya.
Menurut Rancho, kampus ICE yang dikenal sebagai universitas terbaik di India setiap tahunnya hanya mencetak para “keledai”, sebab di kampus ini, para mahasiswa hanya ditekan dan disuruh berkompetisi untuk mendapatkan nilai bagus, lulus cepat dan akhirnya diterima di berbagai perusahaan besar. Mahasiswa sama sekali tidak didorong untuk menemukan hal-hal baru, tidak diperbolehkan membicarakan terobosan-terobosan baru, tidak diajari untuk kreatif dan produktif, apalagi didorong untuk memahami eksistensinya sebagai manusia.
Para mahasiswa senantiasa dipresure untuk tunduk dan patuh terhadap aturan kampus yang serba kaku; disuruh menelan mentah-mentah teori secara verbalistik dan literalistik seperti yang tertulis di buku-buku dan diktat-diktat kuliah tanpa boleh mengkritisi atau sekedar memahami dengan bahasa atau sudut pandang berbeda. Singkatnya, mahasiswa tidak diperkenankan dan tidak diberikan ruang seluas-luasnya untuk berpikir secara mandiri, melainkan cukup menerima secara pasif berbagai jenis pengetahuan yang disemburkan oleh para dosen.
Dengan model pendidikan dan pembelajaran seperti itu, mahasiswa atau anak didik hanya diposisikan sebagai “ember kosong” yang pasif yang kemudian diisi beragam aliran pengetahuan dan informasi sesuai selera para pendidik atau pengajar. Pola pendidikan seperti inilah yang oleh salah seorang pemikir pendidikan asal Brazil, Paulo Freire (2008:52) disebut dengan pendidikan gaya bank (banking education), dimana para anak didik dipandang sebagai celengan kosong yang kemudian diisi tabungan (pengetahuan) seenaknya oleh para penabung (guru atau dosen), sehingga dalam proses belajar-mengajar yang terjadi bukan dialog, melainkan monolog di mana anak didik atau mahasiswa cukup diam mendengarkan, menerima, mengingat, menghafal dan mengulangi secara patuh dan letterlijk apa saja yang disampaikan guru, dosen atau pengajar.
Target utama universitas yang menerapkan sistem banking education seperti yang dikritik Freire tersebut adalah bagaimana para mahasiswa nantinya setelah lulus laku di pasar kerja. Untuk mengejar target ini, mahasiswa dicetak menjadi mesin untuk melayani perusahaan-perusahaan besar atau lembaga-lembaga birokrasi. Karenanya, di mata Rancho mahasiswa tak ubahnya keledai yang mudah disetir, dicetak, diarahkan dan dipekerjakan sesuai dengan petunjuk dan kepentingan pasar. Kondisi kehidupan kampus yang demikian itulah yang membuat hati Rancho tidak terima sehingga dia harus berontak.
Belajar bagi Rancho adalah untuk meraih kesempurnaan hidup, bukannya menjadi tenaga siap pakai di berbagai pabrik atau perkantoran. Maka idealnya, seorang mahasiswa harus belajar serius tetapi bukan sekedar untuk lulus, mencari sepotong ijazah dan mencari kerja, melainkan untuk penyempurnaan kualitas diri. Dengan mengusung idealisme semacam ini,, Rancho di kampusnya sering bentrok dengan rektornya yang sangat diktator, Viru Sasthrabudhi (Boman Irani)– dipanggil Virus— dan para dosen lainnya.
Rancho sering diusir dari kelas karena sering membantah dan menggugat pemikiran para Profesor yang mengajarnya. Pemikiran dan tindakan Rancho yang kritis, mendobrak kemapanan dan menawarkan ide-ide baru itu, dianggap oleh Virus—Sang Rektor— sebagai pengacau sistem pendidikan yang ada dan telah lama mapan. Karena itulah, Sang Rektor menganggap Rancho sebagai mahasiswa yang berbahaya, sehingga ia pun menasihati dua teman Rancho, yakni Farhan dan Rajo untuk tidak dekat-dekat dan meniru pola pikirnya Rancho dan sebaliknya, mereka berdua disarankan untuk berkawan dengan Chatur Ramalingam (Omi Vaidya).
Chatur, yang dijuluki Silencer, adalah mahasiswa yang sepenuhnya patuh dan membabi buta mengikuti sistem kampus dan karenanya sangat berlawanan dengan Rancho. Karena menerima begitu saja apa yang disuguhkan kampus termasuk hal-hal yang kontradiksi dengan spirit intelektual dan nalar akademik, tanpa ada kemauan untuk mengkritisi apalagi melawan, maka Chatur lebih disukai oleh para dosen, termasuk oleh rektornya sendiri. Ia oleh pihak kampus ditetapkan sebagai role model yang layak ditiru oleh para mahasiswa lain. Tetapi kelak, Farhan dan Raju menjadi orang sukses justru berkat mengikuti pemikiran-pemikiran Rancho yang bersebrangan dengan Chatur.
Chatur sendiri sering meremehkan pola pikir dan ide-ide pemberontakan yang ditunjukkan Rancho. Dalam pandangan Chatur yang selalu patuh dan menerima apa adanya terhadap sistem kampus, orang seperti Rancho tidak akan mempunyai masa depan. Kesuksesan belajar bagi Chatur adalah ketika bisa lulus tepat waktu lalu diterima di perusahaan besar dengan gaji besar sehingga bisa membangun kehidupan mapan dan lux secara material.
Dalam film itu, juga diangkat pola pikir masyarakat India yang membabi buta membentuk anak-anaknya tanpa melihat dan mempertimbangkan ke mana kecenderungan dan bakat sang anak. Persoalan ini telah menimpa Farhan, teman sekelas dan satu kamar kos Rancho. Farhan mempunyai bakat dan kecenderungan yang berbeda dengan Rancho dan Raju. Apabila Rancho dan Raju memang mencintai dunia insinyur maka Farhan sesungguhnya sangat berbakat dan mencintai dunia fotographer alam liar (Wild Phrotgrapher). Tetapi oleh bapaknya, ia dipaksa menjadi insinyur.
Dalam pandangan masyarakat India seperti tergambar dalam film itu, insinyur dan dokter adalah profesi yang strategis dan yang membuat orang bisa lebih cepat sukses secara material. Karenanya, banyak masyarakat India yang menginginkan putra-putrinya menjadi insinyur atau dokter, termasuk ayahnya Farhan. Padahal Farhan tidak memahami dan tidak menguasai masalah mekanika. Inilah yang membuat Farhan selalu mendapatkan nilai paling bontot di antara teman-temannya. Kuliah bagi Farhan akhirnya hanya menjadi beban yang menakutkan.
Apa yang menimpa Farhan itu juga terjadi pada anaknya Virus. Anak laki-laki Virus sendiri sebenarnya ingin belajar sastra karena bercita-cita menjadi penulis, tetapi oleh Virus dipaksa menjadi insinyur, padahal tidak mempunyai bakat sebagai insinyur, sehingga malah frustasi dan akhirnya bunuh diri karena sudah tiga kali mendaftar di kampus ICE dan selalu ditolak.
Farhan sendiri meski sudah lulus dari ICE dan menggondol gelar insinyur, atas saran Rancho, akhirnya memilih bekerja sebagai fotografer. Ayahnya yang awalnya keberatan dan menentang keras, akhirnya bisa menerima setelah Farhan berhasil meyakinkannya. Sementara Raju sendiri, yang memang sejak awal ingin menjadi insinyur, atas bantuan Rancho juga, menjadi peneliti profesional di sebuah perusahaan. Di mana hasil-hasil risetnya banyak dipublikasikan di sejumlah jurnal internasional.
Akhir cerita dari film ini adalah suksesnya tiga idiot, yakni Farhan yang sukses menjadi Photgrapher terkenal, Raju yang menjadi peneliti profesional di sebuah perusahaan dan Rancho sendiri menjadi ilmuwan besar dengan 400 hak paten. Namun setelah diselidiki ternyata nama asli Rancho bukan Ranchodas Syalmadhas Chanchad, melainkan Pungsukh Wangdu. Nama Pungsukh Wangdu terkenal sebagai ilmuwan besar, bukan hanya di India melainkan di berbagai negara melalui temuan-temuan briliannya yang telah dipatenkan.
Ranchodas adalah nama mantan juragan Pungsukh Wangdu yang telah menjadi kontraktor. Rupanya ketika belajar di ICE, Punsukh Wangdu disuruh kuliah dengan memakai nama juragannya itu. Sebab, juragannya yang merupakan anak seorang bangsawan India tidak mencintai ilmu, melainkan lebih menginginkan ijasah dan gelar insinyur. Karenanya, Pungsukh Wangdu disuruh kuliah di ICE dengan menggunakan nama juragannya, Ranchodas Syalmadhas Chancad. Selama Pungsukh Wangdu kuliah di ICE, sang juragan, Rancho, lebih memilih hidup di Inggris hingga menunggu kelulusan Wangdu.
Maka, ketika Pungsukh Wangdu telah lulus dari ICE, nama yang tercatat dalam ijasah itu bukan Pungsukh Wangdu, melainkan Ranchodas Syalmadhas Chancad, juraganya sendiri. Wangdu sendiri sehabis lulus langsung lari ke sebuah desa terpencil, di sana dia menekuni dan mengembangkan riset-riset keilmuannya yang melahirkan berbagai temuan penting. Selain itu, di desa terpencil itu, ia juga mendirikan sekolah untuk anak-anak desa. Di kampung terpencil dan jauh dari peradaban modern inilah Wangdu bisa menghasilkan 400 penemuan barunya yang diburu oleh perusahaan-perusahaan besar di dunia, termasuk perusahaan Amerika, Rockledge, tempat Chatur Ramalingam bekerja sebagai wakil direktur.
Karena itu, Chatur yang dulunya mencibir idealismenya Rancho, akhirnya justru memburu Wangdu terkait dengan penemuannya itu untuk membesarkan PT. Rockledge. Awalnya Chatur tidak tahu kalau ilmuwan yang bernama Pungsukh Wangdu yang ia cari-cari itu adalah temannya yang dulu di kampus menggunakan nama sebutan Rancho. Dia baru tahu kalau Pungsugkh Wangdu itu adalah teman kuliahnya yang dulu bernama Rancho saat ia sudah ketemu langsung.
Chatur akhirnya yang kena malu karena ia yang justru mengemis-ngemis kepada Wangdu, dengan harapan agar temannya yang sukses jadi ilmuwan itu bersedia untuk kerja sama dengan perusahaan Rockledge, tempat Chatur mengais rezeki. Sebab, temuan dan paten Wangdu itu ternyata sangat dibutuhkan oleh perusahaan Rockledge tersebut. Di hadapan Wangdu, Chatur benar-benar memohon dengan sangat, agar teman kuliahnya yang dulu ia remehkan itu bersedia menandatangani kontrak kerjasama dengan perusahaannya.
Konteks Indonesia
Apabila film itu dicermati, betapa makna dan pesan moralnya sangat relevan dengan kondisi pendidikan di Indoensia, sebuah negara yang juga masuk kategori Dunia Ketiga/bangsa Timur seperti halnya India. Dunia pendidikan di Indonesia sekarang, entah itu karena pegaruh pasar global, nyaris bukan membentuk manusia seutuhnya, melainkan hanya menciptakan ‘keledai’. Mahasiswa hanya dicetak supaya laku di pasar kerja. Kuliah bertahun-tahun dan menguras hasil kerja orangtua bahkan tak jarang harus menjual tanah dan barang berharga lainnya hanya didorong untuk cepat-cepat lulus, syukur bisa cumlaude dengan IPK sempurna (4.0) dan yang penting berhasil menyabet gelar dan ijasah. Dengan anggapan bahwa ijasah itulah yang nantinya laku di pasar dan mengantarkan lulusan universitas mencapai puncak kesuksesan dunia-akhirat. heemmmmm!
Masih mendingan kalau ijazah itu didapatkan melalui proses belajar yang sesungguhnya, dari awal sampai akhir. Yang lebih parah lagi adalah kalau ijazah dan gelar itu diraih dengan hanya membeli, tanpa melalui proses belajar. Akhirnya lahirlah sarjana gadungan. Mereka bangga punya ijazah dan gelar mentereng tapi palsu. Dikatakan palsu karena gelar dan ijazah itu didapatkan tidak melalui prosedur akademik dan proses belajar yang semestinya. Ini termasuk kebodohan dan keculasan kelas tinggi, sebab mereka itu bangga justru karena berhasil membohongi diri sendiri. Ini sama saja dengan orang yang tidak pernah ke Makkah untuk melakukan ibadah haji tapi di depan namanya dipasang gelar “Haji”. Atau orang yang tidak pernah ngaji dan tidak menguasai ilmu-ilmu keislaman, melainkan hanya bisa memakai sorban dan jubah lalu ngoceh, provokasi, mengumpat dan mencemooh orang lain, tetapi tanpa malu melabeli dirinya dengan Ustadz, Habib atau Syaikh. Tolol bukan?
Gelar dan ijazah seharusnya didapatkan melalui proses belajar secara sungguh-sungguh, sebab gelar dan ijazah sesungguhnya hanyalah dampak (effect) saja dari kesungguhan belajar. Artinya yang paling penting dan utama adalah kesungguhan dalam belajar dan menempa diri. Tapi bagi para sarjana gadungan, yang menyembah formalitas, ijazah dan gelar itu dipandang sebagai barang mewah yang tak ada hubungannya dengan proses belajar sehingga bagi mereka, formalitas itu cukup diraih dengan cara-cara illegal seperti membeli. “……Karena ijazah bagai lampu kristal yang mewah// ada di ruang tamu// hiasan lambang gengsi// tinggal membeli// gampang sajalah”, begitulah kritik Iwan Fals dalam lagunya ketika melihat banyaknya sarjana gadungan di negeri yang katanya sangat relijius dan bertuhan ini.
Pola berpikir yang hanya mengejar formalitas demikian itulah yang kemudian menjadikan para mahasiswa hanya mementingkan simbol-simbol akademis, dan bukannya kualitas keilmuan dan kepribadian. Target utama sekolah adalah yang penting kuliah, cepat lulus, dapat ijasah dan kemudian bisa bekerja di perusahaan atau menjadi PNS. Persoalan keilmuan, kualitas intelektual dan kematangan potensi diri itu bagi mereka adalah persoalan bulshit. Yang penting tetap ijasah dan nilai tinggi, terlepas apakah untuk mendapatkan nilai dan ijasah itu benar-benar melalui proses yang benar atau tidak; terlepas apakah nilai-nilai tinggi yang tertulis dalam ijazah itu sesuai dengan kualitas keilmuannya ataukah tidak.
Dengan pola dan kualitas pendidikan semacam itu, wajar jika di Indonesia sulit ditemukan ilmuwan-ilmuwan besar yang mampu melahirkan beragam terobosan dan sejumlah inovasi yang bisa memberikan perubahan dan perbaikan konkret dalam mengatasi problematika kehidupan. Negara dipenuhi oleh banyak orang yang berijasah sarjana, magister dan doktor, tetapi sepi dari kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan; temuan-temuan baru pun tidak berkembang secara signifikan.
Persoalan tersebut muncul selain karena kultur pendidikan yang rusak, konon juga disebabkan oleh persoalan birokrasi yang ruwet. Birokrasi di Indonesia yang rumit dan berbelit-belit diduga turut menjadi ganjalan para ilmuwan Indonesia untuk mengembangkan risetnya. Benarkah begitu?
*) Muhammad Mubibbuddin adalah penulis lepas, tinggal di Krapyak Yogyakarta.