Setelah mendengar kabar kematian ibunya, Mersault lantas meminta cuti pada majikannya dan segera pergi ke panti jompo, tempat dimana ibunya tinggal selama ini.
Begitulah novel ini dibuka. Pada awalnya saya merasa novel ini akan melelahkan. Sebab menurut saya novel ini menganut hukum show ketimbang tell. Diawal-awal Albert Camus memang tampak bekerja keras dan berusaha menunjukkan prosesi pemakaman ibunya secara detail dengan menunjukkan hal-hal kecil yang ia peroleh dari kelima indranya atau beberapa orang menyebutnya dengan istilah deskripsi lima indra. Menurut A.S. Laksana hal itu merupakan usaha penulis untuk membuat pembaca seoalah bisa merasakan dengan nyata apa yang sedang di alami penulis dalam dunia rekaannya, atau dunia cerita yang sedang ia buat.
Novel ini dituturkan dari mulut Mersault, orang pertama yang sok tahu. Setidaknya saya bisa belajar cara bertutur cerita dari sudut pandang aku, apa saja yang boleh dikatakan dan tidak boleh dikatakan. Dan sekedar prasangka ternyata boleh-boleh saja. Sejak awal saya sebenarnya mempunyai rasa penasaran yang berlebihan tentang penulis satu ini. Penulis ini juga telah mempengaruhi tulisan-tulisaan Sabda Armandio. Ketika saya mencari informasi lebih banyak tentang Albert Camus, ia adalah seorang penulis bergenre absurditas. Rasanya saya setuju jika dia telah membuat tulisan-tulisan Sabda Armandio berkuasa membuat saya terpingkal disana sini sambil memujanya sebagai penulis yang wajib saya curi ilmu-ilmunya. Namun dalam novel satu ini aroma absurditas itu hanya nampak sedikit saja, bahkan dibagian kedua, Albert Camus tampak filosofis sekali.dan hanya sesekali saja ia sempat membuat saya tertawa.
Sebenarnya novel ini memang memiliki dua bagian. Pertama adalah bagian yang menceritakan tentang kematian ibunya dan hari-hari biasa yang terjadi setelah ibunya meninggal. Hari-hari itu adalah masa berkabung Mersault atas meninggalnya ibunya. Namun masa-masa barkabung itu tak membuatnya bersedih. Ia malah bisa ke pantai bersama Marie pacarnya dan sesekali bersenang-senang dengan pacarnya itu. Bagian pertama ini di akhiri dengan adegan pembunuhan yang dilakukan Mersault pada orang Arab dengan menembakkan lima butir peluru pada orang arab itu. Yang kemudian segala masalah dan klimaks cerita akan diselesaikan dalam bagian kedua cerita.
Dibagian kedua ini saya seolah melihat Albert Camus menjadi seperti orang tua yang membenci tawa dan omong kosong. Ia tampak seperti seorang yang selalu serius. Dan benar memang dibagian kedua ini. Mersault telah dimasukkan sel dan sedang menunggu persidangan kasus kriminalnya. Ketika didalam penjara inilah, Albert Camus berbicara tentang perkara-perkara serius yang membuat saya merenung. Ia berbicara melalu psikoligi seorang Mersault yang sedang berada di dalam sel. Ia mengoceh kemana-mana, mengoceh tentang kebebasan yang dirampas dan akhirnya ia mengatakan, “perasaan kekurangan atau kehilangan adalah bagian dari hukuman.”
Saya tidak akan menjelaskan secara detail ceritanya bagaimana. Namun di bagian kedua ini barangkali adalah klimaks dari cerita ini. Albert Camus berbicara serius tentang kematian, juga psikologi orang akan meninggal. Dan ia juga berusaha membuat kematian itu sebagai perkara yang tidak perlu dibesar-besarkan atau membuat kematian memang suatu yang biasa terjadi. Inilah yang ia ucapkan:
“Dalam arti yang luas, dapat kupahami cuma terdapat perbedaan kecil, apakah seseorang akan mati pada umur 30, 60 atau 100 tahun, karena ada orang-orang lain—perempuan dan laki-laki yang akan terus hidup dan dunia akan berputar pula seperti semula. Dan mati—tak dapat dipungkiri—akan tetap terjadi juga. Terserah apakah kau akan mati sekarang atau 40 tahun yang akan datang.” (Hlm 101).
Seolah-olah ia ingin menunjukkan bahwa kematian adalah hal yang wajar untuk setiap yang hidup. Dan mungkin ia juga ingin menghapus ketakutan akan kematian itu. Namun ketakutan akan kematian itu benar-benar tidak mudah untuk ditiadakan, seolah mirip api yang tidak bisa kau padamkan meski berkali-kali kau siram dengan air. Tidak hanya itu saja di beberapa kesempatan Albert Camus juga berbicara tentang kesadaran yang diyakini oleh seorang ateis, yakni tidak memiliki kesadaran akan adanya dosa.
Untuk catatan saja, sebenarnya saya membaca sastra luar, karena saya ingin menemukan cerita apa yang terjadi di luar negara saya. Dan budaya seperti apa yang ada disana. Pertanyaan-pertanyaan itulah barangkali yang menyesaki kepala saya dari awal hingga akhir. Dan tentu saja sambil bermaksud mencuri-curi teknik menulis mereka. Dibeberapa kesempatan saya juga mencatat apa-apa yang tidak saya ketahui semisal: pohon sipres, bunga geranium, anjing keturunan spaniel, rumput purun, topi felt, wanita moor, pisau guillotine, topi panama dan lain-lain. Menurut saya hal-hal kecil itu juga termasuk budaya. Seperti budaya membuang sampah sembarangan di negara kita.
***
_______________________
*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dan buku kumpulan puisinya “Hujan yang Hendak Menyalakan Api” (2018). Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018, dan tulisanya terpublikasi di Website Sastra-Indonesia.com sedang blog pribadinya fatahanshori.wordpress.com