Bahasa Hakekat Keindahan Sastra

Sayyid Fahmi Alathas *
riaupos.co

SEORANG pengarang dalam menciptakan keindahan sastra melakukan berbagai proses keyakinan ataupun proses penjiwaan dari sisi keindahan makna yang terdapat pada karya sastra. Meskipun hakekat keindahan sastra yang terjadi sebagai upaya pergolakan dari sisi panutan dalam proses lingkungan sosial masyarakat ataupun pembaca.

Apabila pernah dikemukakan oleh seorang tokoh kaum Formalis Rusia pergerakan kaum otonomi dari kaum Pasca strukturalisme yang terkenal dengan teori semiotik bernama, Jurich Lotman dengan pernah mengatakan bahwa karya sastra dapat dijadikan sistem sekunder.

Dengan memunculkan berbagai anggapan bahwa karya sastra yang dihasilkan oleh seorang pengarang mempunyai nilai-nilai yang sangat penting, yang tertanam di dalamnya ataupun yang tidak. Dari sinilah proses perkembangan bahasa hakekat keindahan karya sastra upaya pembentukan makna atas keindahan karya sastra yang antara lain.

Pertama dalam proses penekanan bahasa terhadap pembentukan makna, seorang pengarang dengan membangun kedua rangkaian sumber imajinasi dan keindahan makna. Pembaca selaku pemberi makna dengan mudah memahami makna yang terkandung dalam keindahan karya sastra tersebut.

Kedua, bahasa dipandang dari sisi hakekat keindahan karya sastra yang menyampaikan teks-teks dengan “tekstualitas” yang murni. Sebagai akibat penyesuaian asal-muasal dari suatu perkembangan pemikiran manusia adanya upaya mencari dan menggali maupun memverifikasi bidang ilmu pengetahuan yang masih belum sempurna.

Apabila menurut seorang tokoh terkemuka bernama, Hopkins. Dengan pernah mengatakan bahwa keindahan dalam karya sastra merupakan suatu hasil dari proses intresa dan inscape. Maka, dalam tataran perkembangan bahasa sebagai hakekat keindahan karya sastra dalam membangun bahasa bukan hanya berkenaan kepada keindahan atas sebuah karya sastra yang diciptakan oleh seorang pengarang.

Bukan hanya pembentukan bahasa yang nyata sebagai akibat dari pergolakan dalam proses penciptaan akan sebuah karya sastra. Baik dalam hal sebagai panutan dalam masyarakat maupun sebagai proses keyakinan. Baik sebagai proses penjiwaan oleh seorang pengarang. Sebelum memproses karya sastra dari segi makna dan bahasa agar lebih berpengaruh pada sosio-budaya masyarakat karya sastra tersebut diciptakan.

Bukan hanya menyangkut keindahan makna dalam kalimat disandingkan, merasuk, bersatu, menenggelamkan maupun meleburkan diri kedalam keindahan makna. Meskipun bahasa sebagai hakekat keindahan sastra bertitik tolak asumsi dasar keindahan makna terdapat kemampuan seorang pengarang tanpa mengingkari ilham.

Sebagaimana dilihat dari proses pembentukan makna yang memperlihatkan adanya proses penekanan bahasa dalam memperoleh kalimat yang berbeda pada setiap kalimat dalam bahasa yang digunakan terletak kepada proses pencapaian fungsi estetika dan puitika bahasa dari memperoleh kalimat memberikan kelonggaran kepada tubuh bahasa.

Ketiga, bahasa sebagai hakekat keindahan sastra membangkitkan tema serta keindahan makna sebagai sarana karya sastra berhadapan langsung ‘realitas’ atau kenyataan menentukan kualitas atau tidaknya karya sastra dalam penggunaan bahasa. Keempat bahasa sebagai hakekat keindahan sastra dari sisi pembentukan bahasa melampaui ruang”realitas” kalimat.

Apabila teks yang terdapat pada karya sastra dalam setiap baris pada bait kalimat, memiliki kandungan keindahan makna estetika dan puitika bahasa. Disebabkan teks pada karya sastra dibekali kandungan makna yang efektif dalam penggunaan bahasa setiap baris pada bait kalimat. Apabila kosakata bahasa menjadikan kalimat memiliki kemantapan makna dari proses generalisasi beraneka ragam kosakata bahasa.

Keenam bahasa hakekat keindahan sastra menghambat makna kata, apabila proses struktur koskata bahasa dalam proses penyepadanan kata sampai menjadi kalimat. Memilah-milah setiap struktur kosakata bahasa kearah bahasa, meskipun proses generalisasi untuk sampai pada struktur koskata bahasa menjadikan sistim tanda primer.

Apabila, bahasa hakekat keindahan sastra diamati dari kesatuan atau (unility), dimana majas, rima, diksi, bunyi, struktur kosakata bahasa dan kalimat membangun bahasa sebagai hakekat keindahan sastra kedalam teks mempunyai kandungan makna secara keseluruhan ketimbang bunyi.

Apabila, diamati dari keselarasan (harmony), dimana majas, rima, diksi, bunyi, struktur kosakata bahasa dan kalimat mengandung pengungkapan dalam bahasa sebagai hakekat keindahan sastra membangun kalimat kedalam keindahan, mengandung nilai-nilai estetika dan puitika bahasa dalam penggunaan bahasa dengan berlandaskan konsep filosofisitas makna yang disampaikan pengarang terhadap pembaca.

Apabila, diamati dari kesetangkupan (simetry), dimana majas, rima, diksi, bunyi, struktur kosakata bahasa dan kalimat dalam bahasa sebagai hakekat keindahan sastra yang dirangkai secara efektif dan efiisien dalam pengungkapan majas, dalam penggunaan bahasa, kedalam tingkat konkritisasi makna.

Apabila, diamati dari keseimbangan (balance), dimana majas, rima, diksi, bunyi, struktur kosakata bahasa dan kalimat kedalam tingkat konkretisasi makna menuju kebenaran penggunaan bahasa dari pembentukan majas melalui simbol-simbol pengungkapan yang notebene.

Apabila, diamati dari pertentangan (contras), dimana majas, rima, diksi, bunyi, struktur kosakata bahasa dan kalimat dalam penggunaan bahasa sebagai hakekat keindahan sastra bersifat dominan atas penekanan majas, rima, diksi, dan bunyi yang terkandung nilai-nilai estetika dan puitika bahasa dalam kalimat yang padat karya dan makna.

Padahal proses struktur kosakata bahasa menjadikan kalimat menimbulkan rima, diksi dan bunyi. Meskipun proses keindahan bahasa hanya memberikan kelonggaran pada struktur kosakata bahasa, meskipun struktur kosa kata bahasa dalam memilah-milah makna kosakata bahasa untuk menjadikan kalimat.***

*) Sayyid Fahmi Alathas bermukim di Lampung Timur. Puisi dan esai terbit di berbagai media massa baik lokal maupun nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *