Taufiq Wr. Hidayat *
“Sahdan buah jeruk yang manis, dalam kisah Akutagawa, dilemparkan seorang gadis asing dari dalam kereta melalui jendela,” kata Saliman malam itu di rumah saya.
Saya tidak menyangka, Saliman membaca Akutagawa. Orang bersembunyi di dalam rumah, keranda mayat dibawa keliling kota oleh petugas kesehatan pada siang hari, mencari orang yang mati kena virus, untuk dikuburkan secara benar sesuai prosedur medis agar virus dalam tubuh mayat tidak menular sama orang hidup. Malam. Di luar banyak virus tak terlihat, seperti hantu ketika kecil. Setelah dewasa, ternyata hantu-hantu itu tidak pernah ada, ujar Salimin.
“Orangtua kita telah berbohong. Kau pernah membaca cerita hantu?” tanya Salimin.
“Pernah,” jawab saya.
“Cerita hantu selalu menegangkan. Kita dibawa oleh cerita. Kita ditakut-takuti sosok hantu yang tidak ada, tidak masuk akal, dan bohong besar. Tapi kenapa kita suka?”
“Menurutmu?”
“Letakkan kepalamu ketika membaca cerita hantu atau ketika melihat film hantu. Hal itu supaya kamu benar-benar merasa takut, mencekam, dan meyakini bahwa hantu benar-benar ada. Tapi jangan lupa, pasang kembali kepalamu setelah itu, agar kau tidak takut dan selalu waspada saat masuk kamar mandi. Dalam kenyataan, hantu tidak benar-benar terbukti ada dan membunuh orang hidup. Bukankah itu seperti virus?”
“Jangan mengait-ngaitkan hantu dan virus, Min Salimin. Keduanya beda!”
“Apa bedanya?”
“Virus itu jelas ada. Bisa menyebabkan sakit. Sedangkan hantu cuma cerita bohong!”
“Setuju! Tapi virus yang katanya menginfeksi manusia lewat percikan ludah, lalu bikin mati, orang-orang sembunyi dalam rumah, orang-orang mencuci tangan hampir tiap beberapa jam sekali, orang-orang tidak boleh berkerumun. Coba kamu pikirkan, bukankah itu mirip cerita hantu?”
Salimin menyandar di kursi. Malam. Orang-orang sembunyi dalam rumah, katanya. Dan saya tidak terpengaruh omongan Salimin. Dia gemar baca. Tapi dia tidak punya ijazah. Sehingga omongannya tidak bisa diyakini kebenarannya, tidak bisa dipakai menjadi kebijakan negara, apalagi dijadikan pertimbangan medis. Salimin hanyalah seorang pembual. Dia bisa membual sampai berjam-jam di warung kopi, sampai penjual kopi mengantuk. Segelas kopi bisa seharian. Rokoknya tidak mau mati. Habis. Nyalakan lagi.
Salimin bercerita tentang buku-buku yang pernah dibacanya. Saya heran, bacaannya banyak. Dia gemar membual dengan bacaan-bacaannya itu. Dia sering menyebutkan nama-nama orang asing. Dia bisa menyebutkan nama-nama, misalnya Hemingway, Chaim Potok, I.L. Peretz, Akutagawa, dan lain-lain. Malam itu, di rumah, dia bercerita perihal sebuah kota yang mencekam. Saya tahu, Salimin membual. Tapi bualannya asik didengarkan dan diikuti. Dia bercerita seperti mendongeng, membuat pendengarnya hanyut dalam aliran kisah. Dia juga sering bercerita panjang lebar tentang teori konspirasi yang rumit dan meyakinkan, merangkai tiap kejadian seolah-olah memang benar-benar direncanakan secara matang dan rapi. Dia gemar mengikuti cerita-cerita konspirasi yang omong kosong, menggelikan, dan tidak masuk akal. Bualan-bualan akhir zaman dan turunnya dajjal. Bualan-bualan hampir kiamat dan dunia yang sudah rusak.
Menurut Salimin, di sebuah negeri, terdapat kota yang mencekam ketika malam hari. Orang-orang melakukan penjagaan keamanan. Sebelum petang, mobil petugas berkeliling sambil membawa keranda mayat, menghimbau masyarakat masuk rumah dengan pengeras suara. Virus berbahaya dan gawat keluar tepat ketika waktu memasuki malam. Kata Salimin, virus jahat itu akan menginfeksi manusia pada jam malam. Siang hari, menurut Salimin, virus jahat sedang tidur, takut sama panas. Sehingga petugas menghimbau warga supaya masuk rumah, diam di rumah saja, tidak boleh keluar rumah. Toko-toko harus tutup. Dan segala kegiatan berkerumun tidak boleh dilakukan. Orang-orang sangat disiplin. Itu demi keselamatan. Agar virus tidak menular. Barangsiapa yang batuk-batuk, patut dicurigai kena virus. Harus diperiksa suhu badannya. Kalau suhu badan orang yang batuk itu melebihi 30 derajat, tangkap! Dikurung. Agar virus yang diderita tidak menular.
Pada tahun 1981, menurut Salimin, sastrawan Indonesia, Hamsad Rangkuti, sudah menggambarkan situasi mencekam itu dalam ceritanya berjudul “Wedang Jahe”. Orang luar yang datang ke sebuah kota yang dicekam kewaspadaan menakutkan dan melampaui batas kewajaran, harus diperiksa. Orang luar itu harus menyebutkan kata sandi “wedus ireng” alias “kambing hitam”. Jika orang luar tidak bisa menyebutkan kata sandi tersebut dengan benar, dia akan ditangkap. Kemudian diperiksa apakah orang luar tersebut benar-benar manusia atau manusia jadi-jadian, sebangsa tuyul atau babi ngepet. Jendela-jendela rumah ditutup rapat. Pintu-pintu dikunci. Jalanan sepi. Cerita itu persis seperti yang dialami sebuah kota yang diserang wabah virus dalam kisah Salimin.
“Setiap orang dari luar datang, wajib lapor. Periksa. Cek suhu badannya. Kalau memiliki gejala virus, tangkap. Masukkan ruangan. Kurung. Jangan sampai menularkan penyakit,” kata Salimin.
“Seperti cerita hantu ya,” ujar saya.
“Betul! Itu memang cerita horor yang saya dapatkan dari sebuah koran kota. Semua akan berakhir seiring kesadaran tiap orang, bahwa hantu tidak benar-benar nyata. Dan kesadaran itu akan terjadi, tepat ketika orang pun sadar, uang mereka telah hilang dalam gelap malam, dicuri hantu!” jawab Salimin sembari mengepulkan asap rokoknya.
Cerita omong kosong. Tidak benar. Fiksi. Orang tidak perlu percaya pada cerita bualan Salimin itu, karena Salimin tidak punya ijazah.
23 April 2020
_____________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.