Ahmad Farid Yahya *
Radar Bojonegoro, 8 Mar 2020
Dari depan pintu gerbang Petrokimia yang sering disebut “Petro” oleh muda-mudi kota Babat. Di sebuah warung kopi sederhana yang sudah tak seramai dulu ketika baru buka. Seorang lelaki paruh baya duduk menyesap kopi pahit sambil termangu membaca berita yang muncul di panel notifikasi ponsel pintarnya yang sudah retak layarnya, karena terlalu sering jatuh.
Berita itu tentang sebuah wabah penyakit yang menyerang negeri para pendekar Kung Fu. Saking penasarannya, ia buka berita itu. Sambil sedikit berharap pendekar idolanya semasa remaja dulu tak ikut terjangkit wabah itu.
Ia ingat ketika masih SMP pernah di-bully oleh teman sekelasnya. Lalu ia menirukan gaya berkelahi Bruce Lee. Dengan begitu ia malah menjadi sasaran semua anak lelaki satu kelas yang merasa tertantang. Tubuh yang kurus dan jangkung itu menjadi bulan-bulanan satu kelas. Mulai dari preman kelas yang suka malak duit, sampai ketua kelas yang juga ikut memukulnya sekali lalu lari.
Pria paruh baya itu menyesap kopi pahitnya lagi. Datang seseorang yang menepuk bahunya dari belakang. “Aji, sudah lama?”
“O Abidin, Pak Ketua Kelas!” Aji bersalaman dengan Abidin kemudian Abidin memesan kopi pahit dan duduk di sebelah Aji.
Mereka sudah janjian lewat WA ingin ngopi bareng. Setelah insiden pem-bully-an itu, mereka berdua berteman dekat. Karena sehari setelah Aji menjadi sasaran, keesokan harinya giliran Abidin. Dan dengan seperti balas dendam Aji pun memukul Abidin sekali lalu lari. Tentunya dengan gaya pukulan Bruce Lee. Tak lupa juga teriakan melengking ala Bruce Lee.
“Baca apa, Ji?” Tanya Abidin pada Aji.
“Ini, virus Corona di China. Kubaca dari tadi, tapi tak paham-paham juga. Aku jadi agak takut.” Setelah lulus SMP, Aji memutuskan untuk bekerja di toko kelontong milik orang China. Sepuluh tahun bekerja di sana ia pun jenuh, dan memutuskan untuk keluar lalu memilih menjadi tukang parkir di pasar Agrobis Semando Babat. Ia khawatir tertular virus Corona yang saat ini mewabah di China. Karena dulu ia pernah bekerja di toko milik orang China peranakan.
“Hahaha, kamu kok enggak berubah-berubah dari dulu. Mana mungkin kamu tertular. Virusnya kan baru ngetren sekarang. Dan itu di China, negeri China. Bukan di sini. Pedagang-pedagang China di sini tidak salah apa-apa, Ji.” Aji mengangguk-ngangguk memahami sebuah teori yang memang ia sudah pahami. Hanya saja berita di TV, koran, media sosial, dan sebagainya membuat virus ini seolah-olah berada di tingkat tak masuk akal.
Abidin menuang kopi pahitnya yang baru saja diantarkan ke lepek yang berada di bawah cangkir kopi. Ditunggu sebentar lalu diseruputnya. Ia menyalakan rokok kretek pabrikan Kediri, dan berkata kepada Aji.
“Ji, Corona itu singkatan dari ‘Komunitas Rondo Mempesona’. Kau ingat teman SMP kita yang semok itu?”
“Riya?!” Tebak Aji. Ia masih sangat ingat, karena dulu pernah menaksirnya. Tapi begitulah, surat yang ditulis Aji untuk Riya dirampas oleh Yayan si preman kelas itu. Aji dipermalukan di kelas. Saat itulah awal mula Aji menjadi bulan-bulanan sekelas. Dua tahun setelah lulus SMP, Riya menikah dengan Yayan. Tapi entah karena apa mereka berpisah, dan akhirnya Riya menjanda.
“Ya! Riya cerai dari Yayan dan membuat komunitas janda mempesona yang pusatnya di kecamatan Kepohbaru Bojonegoro. Kabarnya mereka tiap bulan mengadakan arisan. Per anggota -yang sudah pasti janda- membayar Rp. 12.000.000. Anggotanya pun bukan orang-orang biasa. Rata-rata mereka setidaknya punya tiga mobil. Dan setiap waktu pengocokan arisan mereka mem-booking hotel.” Gaya bicara Abidin sangat meyakinkan seperti pemimpin kekaisaran Matahari.
“Alah, tidak mungkin. Corona itu pakai huruf ‘C’. Komunitas kan pakai huruf ‘K’ awalnya.” Aji menyanggah.
“Aduh, Aji, Aji. Kamu harus belajar sejarah lagi.” Persis petinggi Sunda Empire Abidin menjelaskan, “Corona kan di China. Itu artinya Comunity of Rondo Mempesona! Saking besarnya komunitas yang didirikan oleh Riya itu membuat para TKW -yang sudah pasti janda- ingin mendirikan cabang di China. Karena komunitas sudah setingkat internasional, jadi pakai bahasa Inggris, Ji. ‘Komunitas’ diganti ‘Comunity’.”
“Lah kenapa Rondo Mempesonanya tidak ikut di-Inggriskan?” Tanya Aji.
“Sederhana saja. Agar komunitas itu tidak kehilangan unsur budaya lokal. Semakin ke sini kan budaya semakin tidak diperhatikan, Ji.”
Mereka berdua berhenti sejenak dari obrolan yang semakin ngawur itu. Kopi diseruput sedikit. Terasa pahit itu bercampur pula dengan kepahitan di masa-masa silam. Di layar televisi yang ada di warung tersebut diputar lagu “Sugeng Dalu” dari Denny Caknan. Aji memandangnya lamat-lamat seraya ikut menyanyi dalam hati. “Udan tangise ati saiki wis rodo terang. Masio isih kadang kelingan kowe sing tak sayang-sayang…”
Aji teringat semasa SMP dulu, ia sangat mengagumi Riya. Ya beginilah hidup. Terkadang ada sesuatu yang benar-benar tak bisa digapai. Meski ia sudah memiliki seorang istri, dan dua orang anak. Tapi masa lalu, kadang memiliki aura tersendiri.
Sebuah mobil Fortuner parkir di depan warung kopi itu. Seseorang keluar dari mobil dan memesan kopi pahit, lalu duduk di samping mereka. Aji mengamati orang itu agak lama, kemudian menyapanya. “Hee Mansyur! Siswa paling cabul di kelas!”
Mereka bertiga bersalaman. Mengenang masa lalu yang begitu lucu untuk dikenang. Sebentar Mansyur bercerita kalau dia baru saja pulang dari kuliah di Surabaya. Ia bahkan menempuh pendidikan sampai sejauh ini, melanjutkan S3. Padahal dua temannya itu tak ada yang pernah mencicipi bangku kuliah, karena terhalang biaya.
“Nah, ini ada orang yang beres. Lebih baik saya tanya Mansyur saja soal Corona, ini.” Aji menemukan solusi yang lebih baik daripada penjelasan Abidin.
“Oh, Corona. Aku tidak yakin kalau itu murni wabah yang tersebar secara alami. Ada yang bilang kalau itu settingan Amerika, karena tidak bisa menandingi Ekonomi China. Tapi beberapa media Barat menganggap bahwa virus Corona adalah virus yang bocor dari laboratorium yang ada di kota Wuhan. Entah yang mana yang benar.” Jawab Mansyur.
“Ini baru jawaban ilmiah!” Aji merasa puas dengan jawaban Mansyur.
“Memangnya bagaimana kata Abidin, Ji?” Tanya Mansyur.
“Katanya Corona itu cabang dari Komunitas Rondo Mempesona yang ada di China. Sebuah komunitas yang didirikan oleh Riya setelah dia cerai dengan Yayan. Pusatnya di Kepohbaru Bojonegoro, katanya.”
“Wih. Itu lebih masuk akal lagi, Ji. Gegegege..” Balas Mansyur sambil nyenol gorengan yang ada di depan mereka.
“O bajigur! Hahaha.” Mereka bertiga tertawa bersama. Satu per satu ikut mengambil gorengan di depan mereka, dan melumurinya dengan petis. Sampai beberapa saat gorengan itu hampir habis.
Terlihat ada seorang perempuan yang sekiranya seumuran dengan mereka datang ke warung kopi itu sambil membawa keranjang kecil penuh gorengan. Berbincang sebentar dengan penjaga warung. Lalu menaruh beberapa gorengan di depan mereka bertiga. Aji, Abidin, dan Mansyur memperhatikan perempuan yang terlihat lusuh kelelahan itu.
Setelah perempuan itu pergi dari warung, Abidin menatap muka Aji dengan tatapan yang susah ditafsirkan. Mansyur menyalakan rokok, tanda bahwa ia berada dalam suasana yang tak mengenakkan. Sebentar kemudian Aji menelan sisa gorengan yang tertahan di tenggorokan lalu berkata lirih, “Riya.”
Babat Lamongan, 4 Februari 2020.
*) Ahmad Farid Yahya, lahir di Desa Kebalankulon, Sekaran, Lamongan (LA) 9 Agustus 1996. Riwayat pendidikannya, MI Ma’arif NU Kebalankulon, SMP Negeri 3 Babat, MAN 2 LA, melanjutkan kuliah di UNISDA LA jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (angkatan 2016). Penerima beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) tahun 2018/2019, dan 2019/2020. Anggota BEM UNISDA periode 2019. Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, esai, dan tulisan lain dimuat di berbagai media; Amanah, Suara KPK, Gelanggang FKIP, Radar Bojonegoro. Di buku antologi; Jejak yang Tertinggal (2017), Manunggaling Kawula Muda (2018), Memoar Purnama di Kampung Halaman (2019), Coretan Tinta Kecil (2019), Apa Kabar Lamongan? (2020). Dan buku tunggalnya; Seorang Bocah yang Menyaksikan Kematian (2020). instagram @ahmad.faridyahya.