DARI SA’DI KE BOCCACCIO: WARISAN SASTRA PANDEMI

Hamid Dabashi
Diterjemahkan oleh Dwi Pranoto

Kesusastraan dapat membantu kita bertahan dari pandemi ini dengan kekayaan konstelasi mental, moral, dan daya kritis.

Ketika kasus dan korban Covid-19 meningkat secara global, para pakar medis sangat khawatir tidak hanya mengenai virus itu sendiri, tapi juga mengenai meningkatnya kecemasan dan menajamnya ketakutan orang-orang yang sedang mengalami saat mereka berusaha menghadapi pandemi.

Ketika orang-orang seantero dunia diminta untuk mengisolasi diri, melakukan penjarakan sosial, dan bersama-sama memasuki suatu kehidupan yang kedap untuk membantu “melandaikan kurva” bencana manusia, ada kepastian sesuatu dalam tenunan dan pengaturan kampong global sedang berubah, dan berubah dengan cepat.

Masalah kunci hari ini adalah bagaimana tidak hanya bertahan terhadap pandemi itu sendiri, tapi juga bertahan dengan kekayaan dan kemantapan konstelasi mental, moral, kreatif, dan daya kritis kita.

Kemanusiaan Sudah Di Sini Sebelumnya

Baru-baru ini aku membaca tulisan menarik Andre Spicer dalam New Statesman mengenai buku abad ke empat belas karya Giovanni Boccaccio, The Decameron, dan alangkah karya itu menunjukan pada kita bagaimana bertahan dari virus corona.

Boccaccio menulis The Decameron pada saat pecahnya pageblug di Florence tahun 1348 untuk membimbing orang-orang Italia sebangsanya mengenai “bagaimana mengelola kesejahteraan mental pada masa wabah dan isolasi”. Cerita-cerita menggairahkan di dalam buku adalah alusi penceritaan yang kuat guna mengelola kemantapan kesehatan mental pada masa membanjirnya kecemasan.

“Maksudnya melindungi diri kalian sendiri dengan cerita-cerita”, kata Spicer, “Boccaccio menyarankanmu untuk dapat menyelamatkan diri kalian sendiri dengan meninggalkan kota-kota, menempatkan kalian sendiri di sekeliling teman-teman yang menyenangkan dan menceritakan kisah-kisah yang menghibur guna menjaga nyala jiwa. Melalui gabungan isolasi sosial dan kegiatan-kegiatan menyenangkan, memungkinkan bertahan dari hari-hari wabah yang terburuk”. Kedengarannya seperti resep yang sempurna untuk hari ini juga.

Novel Boccaccio memberikan tujuan lain pada tahun-tahun lebih kini. Tahun 1971 filem The Decameron, berdasarkan karya besar abad ke empat belas Boccaccio, adalah filem pertama dari sutradara Italia Pier Paolo Pasolini, Trilogy of Life, yang juga mencakup The Canterbury Tales dan Arabian Nights. Dalam mewujudkannya, Pasolini tetap terpaku pada penderitaan umat manusia dalam terjangan fasisme dan segala patologi kekuasaannya.

Selanjutnya, dalam karya besar yang sangat mengganggu lainnya, Salo, atau The 120 Days of Sodom (1975), Pasolini menumpahkan ketakutan-ketakutan yang sama dengan ujungnya yang bahkan lebih bobrok. Fasisme dan pageblug, atau fasisme sebagai pageblug, gema yang sama dengan zaman xenofobia rasisme kita yang diteladankan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menyatakan Covid-19 sebagai “virus China”.

Bahkan sebelum Pasolini, tema-tema yang sama menyuntukan Albert Camus dalam karya besar tahun 1947 yang abadi, Sampar (The Plague), di mana kota Oran di Aljazair menjadi latar refleksi ekstensialnya mengenai dampak-dampak alegoris pandemi atas jiwa manusia.

Camus mencampur dua kejadian terpisah, wabah kolera di Aljazair pada 1849 dan munculnya fasisme Eropa, untuk merefleksikan rapuhnya pengalaman hidup kita pada masa hiruk-pikuk kolektif. Sebagai suatu alegori pemaksaan pendudukan Nazi atas Prancis dan lainnya, Camus menggunakan acuan pemakaman masal sebagai suatu alusi untuk kamp-kamp konsentrasi dan pemusnahan di Nazi Jerman. Ada, dan masih ada suatu potensi alegoris yang kuat untuk gagasan yang sama mengenai wabah.

Bahkan lebih awal lagi, pada 1882, dramawan Norwegia, Henrik Ibsen, menjelajahi sentimen yang sama dalam naskah drama Musuh Masyarakat (An Enemy of the People). Kadang-kadang dalam kekuatan penceritaan atau pemanggungan pada saat yang bersamaan menyampaikan kewaspadaan dan ketakutan namun secara paradox juga kepuasan dan ketentraman. Apakah tidak ada godaan-godaan juga juga di balik novel tahun 1985 Garcia Marquez, Love in the Time of Cholera?

Pada masa Covid-19, segala metafor tersebut telah berubah menjadi kenyataan. Filem-Filem seperti Outbreak (1995) karya Wofgang Petersen dan Contagion (2011) karya Steven Soderbergh sekarang telah menjadi profetik jika bukan apokaliptik.

Kelaparan berbulan-bulan di Damaskus pada Masa Lalu

Namun lebih dari Pasolini yang membawa The Decameron Boccacio dengan akhir fasis, atau Camus juga Ibsen, ini adalah sajak Sa’di Shirazi yang berasal sekitar seabad sebelum Boccaccio yang potongannya di New Statesman menarik pikirannku.

Setiap anak-anak sekolah Iran segenerasiku hafal baris pembuka yang kuat dari sajak hebat ini:

Kelaparan yang menghancurkan selama setahun terjadi di Damaskus
Para kekasih melupakan cinta…

Lanjutan sajak mendeskripsikan dengan sangat indah rincian malapetaka yang telah menimpa Suriah yang sangat lama tidak turun hujan, air mata yang mengalir telah kering, tidak ada dapur yang mengepulkan asap masakan, para janda tua putus asa, bukit-bukit sekeliling digersangkan semua tetumbuhannya, kebun buah tak melahirkan buah-buahan, para belalang sedang makan mayat dan orang-orang makan belalang.

Tokoh puitik Sa’di kemudian menjumpai seorang kawan yang kurus kering. Ia bertanya padanya mengapa ia sangat lemah, karena ia orang kaya dan telah menahan cuaca kelaparan dengan lebih baik. Lantas datanglah kejenakaan sajak yang sangat tak terlupakan:

Orang bijak menatapku yang jelas-jelas terluka
Dengan tatapannya orang bijak itu menyerbu orang bebal:
Aku tidak lemah karena aku tidak punya makanan untuk dimakan
Aku sedih karena menanggung kemiskinan!

Kita membaca sajak Sa’di hari ini dengan dua perasaan langsung: pertama keindahan dan keelokan diksi puitiknya, kekuatan perumpamaan-perumpamaannya, kelugasannya yang tersampaikan hingga lintas generasi dan dunia, dan kedua, peninggian suara moral yang ia topangkan untuk tugas-tugas sosial yang yang perkasa lagi kuat.

Rak-Rak Kosong, Takut akan Ketakutan Itu Sendiri

Aku membisikan sajak Sa’di pada diriku sendiri saat aku berangkat keluar guna sedikit berbelanja untuk keluargaku di New York, tempat kita diminta mengisolasi diri sebisa mungkin, menatap deretan demi deretan rak kosong, dijarah oleh penduduk yang ketakutan dan keji yang tidak punya rasa paling tipis untuk tugas kewargaan terhadap tetangga-tetangga mereka yang lebih tua dan lebih rentan, apalagi mampu memahami visi dan kebajikan “sosialisme demokrasi” yang Bernie Sanders tawarkan pada mereka.

Tapi, tepatkah kita bertahan terhadap pandemi ini dengan rasa kepatutan umum? Jauh sebelum pandemi ini mulai, pada tahun 2012, Jonathan Jones menulis tulisan yang meyakinkan untuk Guardian, Brush with the Black Death: bagaimana seniman-seniman melukis menembuh pagebluk, di mana ia menjelaskan alangkah “dari 1347 sampai akhir abad 17, Eropa dilintasi oleh Black Death, tapi seni tidak hanya bertahan, seni bermekaran”. Menjelang akhir esai, Jones menyimpulkan:

“Umat manusia mempunyai daya tahan mengejutkan. Mereka juga punya kekuatan untuk bangkit melampaui belas kasihan diri sendiri. Bila itu tidak nampak jelas hari ini, cukup perhatikanlah ketenangan St. Paul di langit London, sebuah pesan bagi kita dari masa heroisme sehari-hari”

Tapi apakah kita? Secercah harapan dari pandemi virus corona yang planet kita hadapi adalah bahwa segala garis pemisah Timur dan Barat, Selatan dan Utara, kaya dan miskin, kuat dan lemah, dihapuskan. Donald Trump hari ini seperti rasa taku berjabattangan saat para dokter pemberani di garis depan sedang memerangi virus dengan kondisi rentan. Dan para dokter bahkan bukan satu-satunya pahlawan tragedi manusia ini. Bahkan yang jauh lebih berani dari mereka semua adalah ibu tunggal di New York yang sekolah umum anaknya ditutup dan yang harus mengirim bayi tercintanya ke belantara penuh sesak kereta bawah tanah dan jalanan untuk memungut kotak makan siang agar mereka tak kelaparan sampai mati sebelum virus corona menulari mereka.

Bertahan dari pandemi ini penting tapi tak cukup, bertahan dengan rasa kepatutan umum, penalaran kolektif, dan tujuan publik juga penting.
***

______________________
Diterjemahkan oleh Dwi Pranoto dari “From Sa’di to Boccaccio: Literary Legacy of Pandemic” (27 Maret 2020), Hamid Dabashi, Profesor Kajian Iran dan Literatur Perbandingan di Columbia University.

Leave a Reply

Bahasa »