F. Aziz Manna Playon


Fatah Anshori *

F Aziz Manna adalah seorang penyair kelahiran Sidoarjo, Jawa Timur. Ia sudah banyak menerbitkan buku kumpulan puisi, dan Playon adalah manuskrip puisinya yang memenangi Sayembara Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur 2015 dan Kusala Sastra Khatulistiwa 2015 – 2016. Beberapa puisinya juga kerap dimuat di Kompas. Membaca kumpulan puisi Playon-nya F Aziz Manna ini sama sekali berbeda dengan membaca M Aan Mansyur, Afrizal Malna, atau penyair-penyair lainnya. F Aziz Manna seolah ingin menunjukkan daya ucap yang berbeda dari penyair lain dan melalui itu ia seakan telah berhasil menunjukkan dirinya sendiri.

Oka Rusmini, mengatakan Playon merupakan ide yang cemerlang, pembaca dipaksa untuk kembali diseret ke dalam cuaca yang riang, cuaca yang jujur dan seru menjadi kanak-kanak yang dekat dengan alam dan lingkungan sekitar. Kurang lebih seperti itu, F Aziz Manna menunjukkan bahwa puisi juga bisa menyampaikan hal-hal yang akrab dengan anak-anak. Akrab dengan aktivitas sehari-hari di Jawa Timur. Jika anda pembaca dari Jawa Timur anda mungkin akan mengenal buku Playon ini mirip anak sendiri, yang sama sekali tidak asing, pengucapan dan prilakunya, barangkali seperti itu.

Saya merasa buku Playon ini disusun untuk merayakan masa lalu yang masih lugu di Jawa Timur. Dimana kita masih bisa melihat budaya-budaya Jawa Timuran seperti permainan tradisional, kebiasaan sehari-hari orang Jawa Timur, serta mendengar istilah-istilah yang tidak asing jika anda memang orang Jawa Timur.

F Aziz Manna menyusun buku Playon menjadi tiga sub bab, pertama: Main, kedua: Ajang Barang, ketiga: Laku. Puisi-puisi di sub bab pertama banyak berbicara tentang permainan tradisional, mungkin setiap daerah mengenal permainan-permainan itu hanya saja mungkin, memiliki nama yang berbeda. Mungkin inilah yang ingin dikukuhkan oleh F Aziz Manna dalam kumpulan puisi Playon-nya, kekayaan bahasa atau kosakata daerah yang belum terhimpun dalam kosakata Bahasa Indonesia (KBBI) secara resmi. Seperti ada usaha untuk menyelamatkan kata atau istilah-istilah yang pernah populer pada masa lalu di Jawa Timur. Begitu juga dengan dua bab berikutnya, Ajang Barang, ini mirip dengan kata benda, atau suatu barang yang memiliki nama akrab di suatu daerah. Di bab yang ketiga, Laku, ini mirip dengan kata kerja. Meski jika ditilik satu persatu dari keseluruhan puisi di bab ketiga ini tidak seluruhnya adalah kata kerja, seperti puisi Piatu misalnya, rasanya kurang tepat jika ia masuk di bab ketiga, kata kerja, jika Piatu ini memiliki arti seorang anak yang ditinggal mati ibunya. Tapi tidak menutup kemungkinan, Piatu memiliki arti lain selain yang saya katakan barusan jika dikaitkan dengan daerah yang penyair maksudkan.

Dalam kumpulan puisi Playon, F Aziz Manna seperti ingin menunjukkan jati dirinya, bahwa dia adalah orang Jawa Timur. Dia dibesarkan dengan kearifan lokal Jawa Timur. Dan sebagai penyair barangkali adalah sebuah kewajiban mencintai kata-kata, menyelamatkannya dari lupa, dan merawatnya kembali dengan tetap mengenakannya. Sebagaimana kita tahu seriring waktu berjalan banyak sekali kosakata baru, entah itu baku atau bukan yang kerap muncul dan dilupakan, dipakai sebentar dan dibuang, selalu begitu tidak ada usaha untuk merawatnya sebagai benda berharga. Dalam buku Playon ini saya merasa F Aziz Manna telah melakukan usaha-usaha semacam itu. Ia telah menyelamatkan kata-kata yang pernah di pakai pada suatu masa yang lampau di Jawa Timur, sekaligus kenangan dibalik kata-kata itu. Sebagaimana saya percaya setiap kata memiliki romantismenya masing-masing. Ada kenangan yang tersembunyi dibaliknya.

F Aziz Manna saya rasa sebagai penyair ia telah berhasil banyak hal melalui Playon-nya, selain yang saya sebutkan diatas ia barangkali telah berhasil menciptakan daya ucapnya sendiri. Ia telah berhasil menjadi dirinya sendiri sebagai penyair yang berbeda dengan penyair-penyair lainnya. Ia telah menemukan jati dirinya didalam jati diri penyair itu sendiri. Sebagaimana yang saya mengerti, menciptakan daya ucap dalam suatu puisi benar-benar bukan perihal yang mudah. Begitu banyak penyair tapi hanya sedikit yang berhasil menciptakan daya ucapnya sendiri. Bahkan beberapa hanya mengulang-ulang ucapan dari penyair sebelumnya, sebagaimana kita tahu menyimak hal yang sudah pernah dilihat adakah perkara membosankan, barangkali membuat kita muntah juga. Namun tidak menutup kemungkinan menyimak perkara baru, berbeda, dan agak ganjil dengan kebanyakan juga membuat kita tidak nyaman. Cara menikmati Playon barangkali juga seperti itu, ia hadir, berbeda dari kebanyakan, dan ingin dinikmati dengan cara yang berbeda pula dengan puisi-puisi kebanyakan. Saya rasa tidak ada lagi yang ingin saya sampaikan terkait Playon, ini selebihnya baca sendiri, nikmati dan tafsirkan sendiri puisi-puisi didalamnya.

_______________________
*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dan buku kumpulan puisinya “Hujan yang Hendak Menyalakan Api” (2018). Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018, dan tulisanya terpublikasi di Website Sastra-Indonesia.com sedang blog pribadinya fatahanshori.wordpress.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *