Kalau Mau Tembak, Tembaklah

Eka Kurniawan
Jawa Pos, 28 Maret 2020

Akhir-akhir ini muncul kisah lama tentang malapetaka dan pertolongan Tuhan, yang dibagiulangkan untuk banyak orang. Salah satunya seperti ini.

Ada seorang imam yang daerahnya kebanjiran. Datanglah tukang perahu untuk menolong, tapi ia tak mau. Ia memutuskan naik ke atas bukit sambil berkata, ”Tuhan akan menolongku.” Banjir makin besar, perahu datang lagi, tapi ia ngeyel dan terus naik ke puncak.

Akhirnya banjir menenggelamkannya dan ia mati. Sang imam protes kepada Tuhan, ”Kenapa Engkau tak menolongku?” Dengan tenang Tuhan berkata, ”Kan sudah Aku kirim tukang perahu dan perahunya?”

Tentu saja kisah itu dibagiulangkan di berbagai jejaring media sosial untuk mengingatkan orang tentang pentingnya melakukan ikhtiar, melengkapi tawakal kepada Tuhan. Terutama di tengah wabah virus korona seperti sekarang.

Meskipun begitu, saya juga jadi tergelitik untuk melanjutkan dialog sang imam dengan Tuhan. Saya membayangkan sang imam tetap protes. ”Bagaimana aku tahu itu perahu kiriman-Mu?” tanya sang imam sambil mengingatkan Tuhan tentang orang Troy yang menerima pemberian hadiah perdamaian berupa kuda kayu raksasa.

Bukannya memberi kedamaian, ternyata malah membawa bala tentara musuh. Bagaimana jika perahu itu malah membawa petaka?

Ketakutan adalah hal yang alamiah, sebagaimana hidup akan selalu menghadapi berbagai ancaman. Dari ancaman sepele hingga ancaman yang bisa berujung kematian. Dalam menghadapi ketakutan, otak manusia terbiasa bereaksi dengan dua cara. Melawan atau lari. Untuk menentukan apakah ia melawan atau lari, tentu ia harus berhitung.

Permasalahannya, bagaimana cara seseorang berhitung? Apakah ia bisa menghitung besar kecilnya ancaman? Apakah ia juga mampu menghitung kekuatan dirinya menghadapi ancaman tersebut.

Kita mungkin cenderung akan menertawakan sang imam. Sebagian akan menganggapnya sebagai orang yang beragama, tapi tak mempergunakan isi kepalanya. Bagi kita, dengan akal pikiran, melihat air yang terus naik, melompat ke perahu jelas lebih mungkin untuk selamat.

Masalahnya, akal pikiran kadang kala tak berjalan dengan baik di tengah ketakutan. Saya sering melihat orang yang berlari panik menjerit-jerit hanya karena melihat ulat. Kenapa ia harus berlari? Kenapa harus menjerit? Kita tahu ulat tak akan bisa mengejarnya.

Faktor lain yang sering kali melipatgandakan ketakutan, sekaligus menumpulkan akal pikiran, adalah kebingungan. Seseorang tak bisa membuat perhitungan, dan pada akhirnya tak bisa membuat keputusan yang tepat. Naik ke atas bukit dan berharap mukjizat Tuhan atau menerima pertolongan tukang perahu yang ada di depan mata?

Varian terbaru virus korona tak banyak dikenali kebanyakan orang. Bahkan, sampai hari ini, manusia belum menemukan vaksin maupun antivirusnya. Pada saat yang sama, kasusnya di berbagai negara memberi gambaran mengerikan. Tak hanya kematian, tapi juga penutupan kota dan negara.

Bagi saya ketakutan atas wabah ini nyata. Orang-orang mulai mencuci tangan lebih sering. Saya menyuruh anak untuk mencuci tangan bahkan sambil menyanyikan lagu “Happy Birthday”, untuk memastikan dia mencucinya lama. Di situasi terburuk, orang memborong mi instan. Masker menghilang dari toko-toko.

Saya yakin orang lain juga sama khawatirnya. Tapi, kenapa masih banyak orang berlalu-lalang? Masih banyak yang kumpul-kumpul? Bahkan ada anggota DPRD yang dengan pongah menolak diperiksa tim kesehatan ketika pulang dari perjalanan luar kota.

Kenapa kita tidak bisa satu barisan, bersama-sama melawan ketakutan, melawan wabah yang tak hanya memorak-porandakan tubuh, tapi juga jiwa (lelah, cemas), serta kehidupan sosial (curiga, renggang)?

Saya jadi teringat satu dialog dari film koboi lawas karya Sergio Leone berjudul The Good, The Bad and The Ugly: ”When you have to shoot, shoot! Don’t talk!”

Di banyak film, kalau ada seorang bocah atau tokoh yang lemah menodongkan pistol ke penjahat, penjahatnya akan terus ngoceh, mengalihkan perhatiannya. Membuatnya bingung, membuatnya tak bisa mengambil keputusan dengan tepat.

Di tengah kecemasan menghadapi wabah ini, kita juga melihat rakyat yang bingung, gagap membuat keputusan penting untuk mereka sendiri. Di rumah saja atau tetap keluar demi sesuap nasi? Pergi Jumatan atau salat di rumah?

Mereka seperti bocah dengan pistol yang tak tahu harus menembak atau tidak, sementara para pemimpin malah membuatnya tambah bingung. Di awal wabah, Presiden Jokowi masih mempromosikan diskon hotel agar pariwisata tetap tumbuh. Menteri kesehatan? Ia bilang, korona penyakit yang bisa sembuh sendiri.

Bahkan, sampai sekarang, kita tak tahu apakah penjarakan sosial merupakan imbauan serius? Toh, orang masih keluar rumah tanpa ada sanksi.

Saya ingin mengingatkan kembali akan dialog film koboi tadi untuk para pemimpin kita. Ketika harus menembak, segera tembak! Terlalu banyak omong, malah kita ditembak duluan. Itu aturan penting di dunia koboi, dan saya pikir aturan penting juga di masa krisis, di dunia nyata.

https://ekakurniawan.com/esai/kalau-mau-tembak-tembaklah-2-11609.php

Leave a Reply

Bahasa »