Karya Buruh Migran Indonesia dan TLAM

Semacam Prolog untuk Sebuah Esai Kritik


Sunlie Thomas Alexander *

Ya, aku lupa. Lupa bagaimana bertanggung jawab pada pekerjaan yang sesungguhnya. Lupa pada cara bagaimana memberi kehidupan pada setengah kematian yang gamang. Seperti pada jiwa nenek.
(Kha Alme, “Lupa dan Kenangan”)
***

PERTENGAHAN tahun yang basah tapi gerah itu, di toko buku kecil berlantai dua yang milik teman kami Yiping di Meinong, Taiwan, aku menghadapi setumpuk naskah yang telah diprint-out oleh Sima Wu Ting Kuan.

Naskah-naskah itu merupakan karya para buruh migran Indonesia yang masuk ke panitia Taiwan Literature Award for Migrants (TLAM)—sebuah ajang sayembara berhadiah cukup besar untuk para pekerja migran asing yang diselenggarakan oleh Ministry of Culture Taiwan dengan Brilliant Time, sebuah toko buku bertema Asia Tenggara yang mashyur di Taipei sebagai pelaksananya.(1)

Itu adalah minggu pertama dan kedua Juni 2016, aku ingat betul karena pada hari-hari itu berlangsung perayaan Duan Wu Jie yang oleh kami orang Hakka kerap disebut sebagai “Ng Ngiat Ciat”.(2)

Aku dan Sima menempati sebuah kamar di lantai dua toko buku Yiping yang memang disewakan untuk para tamu. Kamar lainnya ditempati oleh dua kawan dari Hongkong, Judy Wudy dan Hiu Tung Chong yang sedang berlibur dan mengadakan semacam riset di sana. Keduanya aktivis dan mahasiswi. Judy kuliah di The Chinese University of Hong Kong dan menulis puisi dalam bahasa Inggris juga kajian sastra. Aku membaca dan masih menyimpan karya-karyanya itu sampai sekarang.

Yiping sendiri lulusan universitas di Taipei. Usai menyelesaikan S2, alih-alih meniti karir di ibukota, ia memilih untuk pulang ke Meinong dan mendirikan toko buku yang sepi pembeli itu. Kuingat kata-kata Sima: “Selepas The Sunflower Student Movement pada tahun 2014 (3), banyak orang muda Taiwan menjadi idealis. Pemikiran mereka tentang masa depan cenderung bergeser. Sebagian mereka menjadi aktivis pejuang kemerdekaan Taiwan yang cukup militan.”

Dan toko buku tempat kami menginap itu pun menjadi tempat berkumpul orang-orang muda yang kritis. Auranya friendly. Setiap malam kami minum bir, membahas banyak hal, lalu bersenda gurau. Kami juga memasak bersama, di antara ayam Coca Cola…

Ya, Meinong memang sebuah distrik kecil yang menyenangkan di wilayah Kaoshiung. Menjauh dari Taipei yang padat dan bising, kami memasuki musim panas Taiwan yang sumuk itu dengan sambutan hujan yang turun cukup deras saban hari di daerah yang didominasi oleh budaya Hakka ini.

Aku membaca naskah-naskah dalam bahasa Indonesia itu di kamar juga di meja dapur. Tidaklah mudah mengatasi rasa jenuh menghadapi teks-teks itu. Kendati hujan yang luruh di luar jendela sesekali cukup menghibur, juga rentetan ledakan petasan yang dipasang oleh warga sekitar di pekarangan luas belakang toko buku.

Ada hampir 200an naskah berbahasa Indonesia dari seluruh kontestan yang berjumlah 219 lantaran pada tahun itu peserta yang terbanyak memang berasal dari Buruh Migran Indonesia. Ini berarti tugas kami para juri Indonesia seyogianya jauh lebih berat ketimbang juri-juri dari negara Asia Tenggara lainnya, sementara juri utama dari Taiwan hanyalah akan memeriksa masing-masing 10 naskah yang mendapatkan nilai tertinggi dari kami.

Tentu kejenuhanku itu muncul bukan karena jumlah 200an tersebut. Kalian tahu, itu angka yang membahagiakan. Menyadari ada begitu banyak buruh migran dari Indonesia yang tertarik menulis, yang boleh dikatakan telah mendominasi jumlah peserta, adalah hal yang amat membanggakan bagiku. Masalahnya kemudian adalah kuantitas itu sungguh-sungguh berbanding terbalik dengan kualitas naskah!

Dan ini bukanlah perkara mudah, meskipun sejak awal aku sudah menyiapkan diri. Menjadi juri untuk sebuah ajang perlombaan menulis, kita memang harus siap berhadapan dengan berbagai kemungkinan terburuk, termasuk rasa bosan dan lelah seperti ini, yang datang menghinggapi tatkala kita tak kunjung menemukan karya yang layak.

Ya, terus-terang aku kecapekan.

Betapa tidak, dari 200an naskah yang masuk itu hampir sebagian besar isinya hanyalah berupa curhatan (tak jarang berwujud ratap dan keluh-kesah berkepanjangan). Sementara sebagian lagi–yang tampaknya berusaha menulis cerita–hasilnya tak lebih dari cerpen-cerpen didaktis dengan pesan moral versi agama yang cukup kelewatan.(4)

Itu pun dengan penguasaan bahasa Indonesia yang jauh dari khatam: kata dan kalimat yang amburadul, pemakaian huruf besar-kecil yang kacau balau, dan jelas-jelas ketidakpahaman dalam menggunakan tanda baca.

Ini baru soal cerpen, aku belum bicara mengenai segelintir naskah yang dimaksudkan sebagai puisi. Yang mana jika harus aku katakan dengan jujur: tidaklah lebih dari sekadar racauan.

Toh demikian, aku tetaplah harus membaca seluruh naskah tersebut secara adil dan memberi nilai. Aku merasa frustasi? Tidak. Sebab bagaimana pun aku telah dan mesti mahfum (tanpa tendensi meremehkan apalagi merendahkan) bahwa penulis karya-karya ini bukanlah mereka yang betul-betul berkelut dengan dunia kepenulisan. Kendati aku juga mengenal sejumlah BMI yang telah mencoba untuk bersungguh-sungguh mengasah dirinya menjadi penulis profesional dengan belajar dan belajar!

Ah, bukankah kerapkali kita pun masih menemukan karya-karya mentah dari mereka yang mengaku sebagai penulis sastra serius?

Karena itu aku mencoba berdiskusi dengan Sima, bertanya kepadanya apa yang panitia TLAM targetkan atau setidaknya yang mereka harapkan dari perlombaan menulis ini. Dan ia menjawab dengan cukup lugas, persis seperti yang telah aku pikirkan sebelumnya, yakni: kesempatan, keberanian, dan kebebasan para buruh migran untuk bersuara.

Tetapi tetap saja aku memiliki kriteria sebagai juri. Isi, Teknik, dan Bahasa tetaplah merupakan tiga hal pokok yang menjadi patokan bagiku dalam menilai naskah-naskah tersebut. Dan ini tak bisa dikompromikan.

Aku juga mencoba membandingkan naskah-naskah di tanganku itu dengan naskah-naskah dari tahun-tahun sebelumnya, termasuk karya para pemenang TLAM 2015 yang telah dibukukan dalam antologi Liu.

Dan sebagaimana perkiraanku, semua naskah itu memang nyaris seragam, baik dari segi tema maupun cara bertutur. Di luar tema besar dunia buruh migran yang agaknya memang sulit untuk dihindari, aku lantas menemukan tema-tema dominan seperti persahabatan (antara buruh dan majikan, antara sesama BMI, antara BMI dan buruh migran negara lain), keluarga (yang ditinggalkan di tanah air lengkap dengan ragam persoalannya), asmara, dan tentu saja kisah-kisah mengharu biru tentang penderitaan yang dialami oleh buruh migran akibat perlakuan tak manusiawi yang mereka terima dari majikan sampai kepada kasus perkosaan (yang umumnya dilakukan oleh seorang tuan). Juga ratapan-ratapan penyesalan (akibat kesalahan yg pernah dilakukan oleh sang tokoh).

Toh, sembari bertanya-tanya tentang kemungkinan seorang BMI menulis di luar persoalan domestiknya sebagai buruh migran, akhirnya saya berhasil juga menemukan 10 naskah terbaik berdasarkan kriteria yang telah aku tetapkan di atas.

Ketika itu naskah yang aku beri nilai tertinggi adalah sebuah cerpen berjudul “Senpai” karya Prabu Angyana. Itu adalah karya yang paling “nyastra” dalam penilaianku sekaligus teks yang paling nikmat aku baca di Meinong yang basah, di tengah suasana Duan Wu Jie yang cukup meriah dengan petasan dan kue cung (bakcang).

Selain bahasa Indonesianya lumayan bagus dengan gaya bertutur yang terasa lancar, kukira sang cerpenis “Senpai” juga mampu mengelola tema seputar cinta dan kesetiaan dengan cukup piawai sebagai sebuah cerita bergenre misteri yang hening. Dengan gaya ungkap yang sama sekali berbeda dengan karya-karya para BMI lain pada umumnya.

Menulis tentang cinta sejati seorang mantan polisi rahasia di era Teror Putih (5) pada istrinya yang sudah meninggal, penulis naskah ini dalam pembacaanku bukan saja terasa lebih matang dari sisi teknik kepenulisan, tetapi seyogianya tampak pula secara sadar berusaha menghindari sentimentil dan efek haru yang berlebihan.

Nilai terbesar selanjutnya aku berikan kepada naskah cerpen berjudul “Nyanyian Ombak” karya Laso Abdi yang berkisah tentang pergulatan batin seorang buruh nelayan asal Jawa di Taiwan. Cerpen ini kemudian keluar sebagai pemenang hadiah utama TLAM 2016.

Kedua cerpen ini beserta cerpen-cerpen pemenang lainnya, baik yang berbahasa Indonesia maupun berbahasa negara Asia Tenggara lain kini tentu saja telah dibukukan dengan judul Hang bersama terjemahannya ke dalam bahasa Mandarin.

Tidak. Aku tidak bakal membahas seluruh karya berbahasa Indonesia yang terhimpun dalam antologi “Liu” dan “Hang” maupun antologi pemenang TLAM 2017 yang diberi judul Du. Namun dalam kajian sederhana ini aku hanya akan memfokuskan diri pada cerpen “Senpai” saja dan sebuah cerpen Buruh Migran Indonesia lain yang berada di luar ketiga buku itu, dengan cerpen-cerpen lainnya (dari ketiga antologi itu) hanya sebagai perbandingan.

Ah, aku jadi merindukan toko buku kecil milik Yiping, merindukan Meinong dan Taiwan yang semarak dan bersahabat.[]
***

Catatan:
(1) TLAM saat ini sudah memasuki tahun ke-7. Dan penerima naskah lomba masih dibuka hingga catatan ini saya tulis. Pada tahun ini panitia memutuskan untuk menambahkan satu lagi bahasa ke dalam ajang perlombaan, yakni bahasa Myanmar. https://m.facebook.com/tlam.since2014/posts/2722232741332211
(2) Bahasa Inggris menamainya Dragon Boat Festival lantaran dalam perayaan ini sering diadakan lomba perahu naga.
(3) The Sunflower Student Movement is associated with a protest movement driven by a coalition of students and civic groups that came to a head on March 18 and April 10, 2014, in the Legislative Yuan and, later, also the Executive Yuan of Taiwan. The activists protested the passing of the Cross-Strait Service Trade Agreement (CSSTA) by the ruling party Kuomintang (KMT) at the legislature without clause-by-clause review. Lengkapnya lihat: https://en.m.wikipedia.org/wiki/Sunflower_Student_Movement
(4) Untuk yang terakhir ini tentu saja segera aku sadari sebagai bagian pengaruh buruk FLP di luar keberhasilan “dakwah” mereka dalam menebarkan spirit menulis kepada kalangan BMI di Taiwan dan Hong Kong yang amat patut kita apresiasi itu.
(5) In Taiwan, the White Terror (Chinese: pinyin: báisè kongbu) was the suppression of political dissidents following the February 28 Incident. Mengenai Teror Putih ini, selengkapnya bisa baca di: https://en.m.wikipedia.org/wiki/White_Terror_(Taiwan)
***
Foto 1: Liu – Hang – Du, buku-buku antologi pemenang TLAM 2015, 2016, 2017 terbitan Sifang Wen Chuang, Taipei.
Foto 2: Meinong, Juni 2016 (shot by Sunlie).
***

____________________
*) Sunlie Thomas Alexander memiliki nama lahir Tang Shunli, (lahir di Bangka, Kepulauan Bangka-Belitung, 7 Juni 1977), sastrawan berkebangsaan Indonesia keturunan Tionghoa. Ia dikenal melalui karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, kritik sastra, catatan sepak bola, dan ulasan seni yang dipublikasikan di berbagai surat kabar serta jurnal yang terbit di Indonesia dan di luar negeri: Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Horison, Suara Merdeka, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Poetika, Kedaulatan Rakyat, DetikSport, Jurnal Ruang, Gong, Lampung Post, Bangka Pos, Hai, Nova, Hakka Monthly, dll. Tahun 2016, menerima beasiswa residensi penulis di Taiwan dari Menteri Kebudayaan Republik China Taiwan, dan tahun 2018 menerima beasiswa residensi ke Belanda dari Komite Buku Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *