Ke Arah Seni Berisi: Sekitar Soal “Tendens”

Boejoeng Saleh

I
Masalah tendens sebagai suatu segi persoalan nisbah seniman terhadap masyarakat atau dengan kata-kata lain fungsi seniman di dalam masyarakat setelah Perang Dunia kedua hingga kini mendapat kehangatannya kembali karena berbagai penyiaran-penyiaran baru, sekalipun masalah itu telah menjadi tema diskusi-diskusi kesenian dan keilmuan sejak lebih daripada seabad yang lampau. Di dalam polemik H.B. Jassin lawan Klara Akustia hampir dua tahun yang lampau dan polemik Aoh Kartahadimadja lawan Bakri Siregar kemudiannya soal itu telah disenggol-senggol sedikit, sekalipun belum bertegas-tegas.

Karangan ini tidak berpretensi lain, kecuali merupakan pengajuan masalah dengan sekadar keterangan yang amat perlu-perlu saja. Jika ia ingin tandas membahas persoalan, ia akan mesti merupakan suatu studi yang mempunyai ketebalan sebuah buku besar—suatu hal yang pada waktu ini tidak praktis. Siapa sempat dipersilakan memperdalam dan memperluasnya.

Dengan keyakinan penuh akan kenisbian sesuatu definisi, kita akan terpaksa meletakkannya di muka sebagai sekadar patokan.

Karenanya, apakah tendens?

Tendens berasal dari bahasa Latin dan berupa partisipel-sedang-berlaku dari tendere yang berarti mengulur, menjulur, merentang, mementang, membentang, dihubungkan dengan teinein, uluran, juluran, rentangan, pentangan, bentangan (bahan dari The New International Encyclopedia, volume XXII, page 93, New York, 1924).

Tapi rupanya kemudian arti itu berubah menjadi: haluan (Streben), bekerja dengan tujuan (Ziel), maksud (Zweck), kecenderungan (Neigung) yang ditentukan sebelumnya (Der grosze Brockhaus fünfzehnte, völlig neuarbeitete Auflage, Achtzehnter Band, Seite 549, Leipzig, 1934).

Anehnya baik Encyclopedia Britanica, maupun Winkler Prins’ Grota Encyclopaedie (cetakan kelima, —cetakan keenam belum lengkap) tidak memuat kata itu.

Dr. K. F. Proost di dalam “Encyclopdische handbook van het moderne denken” di bawah redaksi Dr. W. Banning dkk. (cetakan ketiga Arnhem, 1950) halaman 745 memperingatkan supaya orang berhati-hati dengan istilah tendensios, sebab di dalam hasil-hasil kesenian selalu ada haluan, maksud (strekking), karena tiap hasil-kesenian berasal dari pandangan-hidup si seniman.”

Dra. Annie Romein-Verschoor di dalam De vruchtbare muze (Amsterdam, 1949) memperingatkan, bahwa tendensios di telinga orang berbunyi lebih tidak sedap tertimbang tendens. Selanjutnya dikemukakannya pula, bahwa di dalam praktik penikmat buku dan film rata-rata menelan dengan lahap tendens yang diletakkan.

Jadi di sini sekaliannya dengan tendens dimaksudkan maksud, haluan, tujuan yang disengaja, yang diletakkan dengan sadar.

Baiklah pula diingat hendaknya apa yang disinggung oleh Dr. Proost, bahwa tiap hasil seni berasal dari pandangan-hidup si seniman, hingga karenanya apa yang telah menjadi darah-daging si seniman dengan tak-biasa, tak-sadar dicurahkannya di dalam tiap hasil seninya. Baru orang lain, baru si kritikus, si konstatator, kemudian menunjukkan adanya tendens itu. Tendens yang tidak disadari itulah yang lebih laras karena ia lahir dari paduan haluan seni dan pandangan hidup (filsafat), sebagai dua macam buah dari pada kerohanian manusia. Bukankah ternyata di dalam sejarah kesenian bahwa kerap kali hapus batas antara seni dan filsafat, antara estetika dan etikal.

II
Jika sesuatu hasil-ciptaan-seni benar-benar bermutu tinggi, ia tidak hanya indah bentuknya, melainkan baik pula isinya. Formalisme[1] yang semata memuja seni dengan mengabaikan isi, yang menjadikan bentuk semacam agama dan ibadat serta keindahan menjadi benda kudus yang disimpan di menara gading, terpisah dari pada hidup dan masyarakat, dari pada dunia dan manusia, tidak dapat ditegakkan di tengah-tengah perjuangan besar kemanusiaan kini untuk menegakkan nilai-nilai baru kehidupan manusia.

Formalisme berisi kemasabodohan terhadap apa yang terjadi dengan dunia dan manusia. Karena itulah inti formalisme reaksioner terhadap kemanusiaan, sekalipun ia dibungkus di dalam sutra semboyan-semboyan estetik.

Dilihat dari sudut sejarah formalisme merupakan produk kebudayaan borjuis di saat degenerasinya. Formalisme merupakan usaha memungkiri fungsi sosial dari pada seni. Dikatakan demikian karena sejarah kesenian (yang lebih padat dan kuat dari pada teori ahli mana pun juga!) sepanjang abad-abad yang lampau di segala negeri membuktikan betapa erat hubungan seni dengan masyarakat. Homeros, Aeschylos, Sophokles, Dante, Boccaccio, Milton, Shelley, Pushkin, Lermontov, Tolstoy, Turgenyev, Gogol, Cervantes, de Balzac, Zola, semuanya orang-orang yang intensif hidup di dalam masyarakat dan zamannya. Kebanyakan seni yang masak hasil curahan jiwa manusia-manusia pejuang cita-cita yang menghendaki kemajuan sosial, yang menghantam keburukan-keburukan dan ketidakadilan-ketidakadilan sosial. Kesenian borjuis yang masak pun berhakikatkan pandangan-hidup yang maju yang dengan jantan menghantam kebiadaban kekuasaan feodal pada masa permulaan perkembangan kapitalisme. Untuk inikesenian (terutama kesusastraan) Jermania yang menghantam Yunkertum dan kesenian (terutama kesusastraan) Prancis yang menghantam monarki mutlak di abad kedelapan belas serta kesenian (terutama kesusastraan) Rusia yang menghantam Tsarime di abad kesembilan belas memberikan bukti-bukti kuat. Selanjutnya untuk ini Zola dan de Balzac, Dickens dan Tolstoy, Dreiser dan Twain di masa kemudian memberikan bukti-bukti yang sangat kuat.

Ngeri dan cemas akan keruntuhannya borjuasi mencoba mengemukakan anjuran pemisahan kaum seniman dari masyarakat dengan menganjurkan “seni tak berpihak”, “seni tanpa kelas”, “seni universal dan kosmopolitan” yang berwujud formalisme. Dengan semboyan “seni untuk seni” (l’art pour l’art, the art for the arts sake) borjuasi hendak memencilkan dan mengucilkan (verbannen) kaum seniman dari rakyat banyak. Borjuasi berbuat demikian karena sejarah banyak membuktikan hebatnya peranan kaum seniman (terutama sastrawan-sastrawan) sebagai pemberi-ilham (inspirator) perjuangan untuk pembebasan rakyat (Rousseau, Voltaire, Shelley, pengarang-pengarang Rusia seperti Turgenyev, Tolstoy, Gorky dll., Lhu Xun, T’ing Ling dsb.).

Kaum seniman yang terpukau dan terpesona oleh semboyan-semboyan yang menarik itu laksana pelancong-pelancong yang terpesona oleh gadis penari telanjang bulat di Montmartre atau Broadway pada akhirnya banyak datang pada raja-raja uang yang menjadi “pelindung” dan impresario mereka sebagai akibat kemiskinan yang merupakan bagian hampir semua seniman di bawah kapitalisme. Akibatnya tidak sedikit di antara mereka yang “terpaksa” menjual jiwa mereka kepada para penguasa untuk mempertahankan urusan-urusan yang dengan istilah lunak saja: bertentangan dengan kepentingan-kepentingan kemanusiaan. Di situ barulah “seni untuk seni” menjadi “seni untuk uang” (l’art pour l’argent). Pembela-pembela formalisme yang paling sengit sekalipun di dalam praktik banyak memungkiri dan mengingkari dalalat mereka sendiri dengan jalan di sana-sini merusak bentuk untuk memberi isi yang sesuai dengan kehendak-kehendak para “pelindung” mereka.

Untuk kepentingan perkembangan kebudayaan nasional Indonesia perlu kita melawan formalisme dan dengan tegas-tegas mengakui fungsi sosial daripada seni.

III
Di sini terhadap formalisme kita kemukakan seni yang berisi, seni yang berpihak, berpihak pada kebenaran dan keadilan, pada yang lemah dan yang tertindas, pada Manusia dan Rakyat. Di sini seni menjadi pendukung cita-cira yang besar, cita-cita kemanusiaan untuk pembaruan dan kemajuan, untuk pembebasan semua bangsa dan manusia, dan kasih besar antara sesama manusia. Berkata Tolstoy di dalam bukunya, “Apakah seni?” Seni bukanlah kenikmatan, bukan hiburan, bukan kesenangan, seni adalah sesuatu yang agung, seni adalah suatu organ kehidupan manusia yang memindahkan tanggapan akal pikiran manusia ke dalam perasaan…. Tugas seni hebat. Oleh pengaruh seni yang sebenarnya kerja sama manusia yang damai yang sekarang diperoleh dengan alat-alat lahiriah, akan mesti diperoleh karena keaktifan manusia yang bebas dan penuh kegembiraan. Seni akan mesti mengikhtiarkan dikesampingkannya kekerasan.” Lebih lanjut di dalam buku hariannya Tolstoy menulis: “Tak ada sesuatu pun yang lebih menyokong kehidupan yang tamak dan tenteram selainnya bersibuk diri dengan seni demi seni. Seorang lalim, seorang penjahat, tentu dan pasti mesti mencintai seni.”

Seterusnya: “Orang tak dapat berkata tentang sesuatu hasil seni: Tuan-Tuan toh tak mengerti akan itu. Jika saja tak mengerti akan itu, maka ini berarti, bahwa pekerjaan itu tak baik. Karena tugasnya adalah justru membuat dapat dipahamkannya apa yang tak dapat dipahamkan.

Lagi: “Suatu pelengah waktu baik, jika ia tak menjadi rintangan, jika ia jujur dan jika ia tak membuat orang-orang lain menderita. Terpikir tiba-tiba oleh saya, bahwa estetika adalah suatu cara ungkapan etika. Di dalam kata-kata biasa: seni mengungkapkan perasaan-perasaan yang hidup perasaan ini besar dan baik, maka begitulah seninya pun besar dan baik, dan sebaliknya. Jika si seniman seorang pribadi yang berakhlak, maka seninya pun akan berakhlak, dan sebaliknya (saya tak dapat menyatakannya dengan baik.)”

Dan dengan berang meradang ia melihat adanya dekadensi seni dan seniman pada zamannya yang di dalam banyak hal sepenuhnya berlaku bagi zaman kita: “Seni, itu maksudnya para seniman, mengisap manusia-manusia, sedangkan seharusnya mereka mengabdi kepadanya.”

Lebih tegas lagi berkata Keats: “Keindahan adalah kebenaran, kebenaran adalah keindahan.”

Begitu pula Bellinsky: “Seni adalah pemikiran langsung dari pada kebenaran atau pikiran di dalam pembayangan.”

Jadinya, seni mempunyai tugas dan tanggung jawab: seni wajib memihak pada kebenaran dan mengabdi kebenaran itu.

Tapi apakah kebenaran, karena kebenaran itu serba terbatas, kebenaran yang satu berlainan dengan kebenaran yang lain, kebenaran di satu zaman berlawanan dengan kebenaran di zaman lain?” demikian ada orang bertanya.

Baiklah. Memang tak dapat dimungkiri, bahwasanya kebenaran terbatas (relatif, nisbi), tidak mutlak (absolute). Itu sungguh benar, Tuan. Tapi betapapun dan bagaimana juga ada kebenaran yang oleh sebagian terbesar masyarakat pada suatu zaman diakui sebagai kebenaran umum, kebenaran objektif. Kebenaran objektif itu hidup bergetar di dalam kata hati (Gewessen, geweten) manusia dan diakui sebagai kebenaran umum. Berkata lagi Tolstoy: “Di tiap zaman dan di dalam hidup masyarakat manusia ada terdapat suatu perasaan keagamaan yang umum meliputi seluruh masyarakat tsb. Yang berhubungan dengan apa yang baik dan apa yang buruk serta anggapan keagamaan ini menetapkan nilai perasaan-perasaan yang dipindahkan seni.” Pada Tolstoy apa yang disebutnya “Perasaan keagamaan” (yang di dalam kutipan di atas saya renggangkan) adalah rasa peri kemanusiaan (humanism) yang luas dan dalam, bukan dogma agama yang jadi hiasan dan tidak dilaksanakan. Itu dibuktikan oleh pengarang epos Perang dan Damai, Anna Karenina serta berpuluh cerita lain yang besar. Itu di dlam praktik hidupnya sendiri yang gemilang, di mana istana graf itu, Yasnaya Polyana, merupakan benteng perlawanan batin dan tantangan terhadap kebiadaban Tsarisme, sehingga pernah dikepung serdadu-serdadu Tsar. Sendiri berasal dari golongan yang sangat kaya dan senang, karena hatinya yang lapang dan perasa terhadap rasa peri kemanusiaannya, seperti disebut oleh Lenin di dalam esainya, Tolstoy menjadi “Juru bicara yang menyatakan pikiran-pikiran dan sentimen-sentimen massa kaum tani dengan menghubungkan seni sebenarnya dengan kehidupan rakyat.”

Kawan sepaham Tolstoy, filsuf dan kritikus sastra Chernyshevsky berpendapat, bahwa “Seni adalah fungsi kemanusiaan yang menyatakan pendapat atas kehidupan.” Selanjutnya berulang-ulang para filsuf/kritikus sastra Chernyshevsky, Dobrolyubov dan Pisarev menegaskan, bahwa kesusastraan bukanlah sesuatu untuk dirinya sendiri, melainkan bahwa ia hendaknya mengabdi suatu perkara yang baik.

Lessing menulis: “…. demikianlah mesti menjadi kewajiban penyair yang pertama-tama, bahwa ia hanya membangkitkan kekaguman untuk perbuatan-perbuatan baik yang sebenarnya.”

Madame de Sta?l menulis pula: “Kesusastraan hanya dapat menggali keindahannya yang menetap dari moral yang paling luhur.” Dan karenanya kewajiban penyair ialah: “Talent yang membuat semua jiwa tunduk kepadanya patut mengembalikan kepada moral apa yang ia terima dari moral itu…”

Penyair, filsuf, dan sarjana Goethe menyatakan: “Tiap hasil kesenian, jika ia baik, akan berpengaruh terhadap hakikat susila manusia…

Ketika Shelley menerbitkan The Revolt of Islam: ia memulai kata pengantarnya begini: “Sajak yang sekarang saya persembahkan kepada dunia, merupakan suatu percobaan, yang suksesnya sedikit saja saya berani mengharapkannya dan di mana seorang penulis yang telah termahsyur dapat terkandas dengan tak usah merasa malu. Ini merupakan ujian terhadap sifat kesadaran kemasyarakatan, yakni hingga ke mana kedahagaan akan tingkatan pergaulan akhlak dan politik di bawah pimpinan jiwa-jiwa yang rasional dan sopan dapat hidup  sesudah topan-topan yang mengamuki abad kita….Tendensnya ialah membangkitkan harapan umum serta menyinari budi dan memperbaiki kemanusiaan.” Selainnya Revolt of Islam, Shelley masih menulis Mask of Aanarchy yang terang-terangan merupakan kesusastraan bertendens menentang kelaliman. Bahkan Prometheus Unbound-nyapun merupakan kesusastraan tendens yang mengandung semangat keilmuan serta menganggap bahwa ilmu akan membebaskan kemanusiaan.

Multatuli selalu mengatakan, bahwa baginya seni itu alat untuk mencapai maksud-maksudnya, romannya yang terbesar Max Havelaar yang disalin ke dalam berbelas atau mungkin berpuluh-puluh bahasa merupakan roman bertendens yang gemilang, betapapun adanya kelemahan di sana-sini dilihat dari segi gubahan.

Lebih tegas lagi adalah ucapan pengarang perempuan Jermania terbesar dewasa ini, Anna Seghers, pencipta Aufstand der Fischer, Das Seubte Kreus, Die Gefährten dan banyak buku lainnya yang mengatakan: “Kita tak berhak untuk memenjarakan diri kita sendiri hanya untuk melukiskan, untuk kita menulis tidak hanya guna mengemukakan saja, melainkan dengan melukiskan kita mengubah kelanjutannya.” Dengan ini ia telah sampai kepada realisme kritis.

Dapatlah pula ditambahkan di sini, bahwa semua hasil kesenian (terutama kesusastraan) keagamaan merupakan seni bertendens.

Dengan demikian bolehlah ditarik kesimpulan, bahwa di dalam sejarah banyak sekali seni yang bertendens, bahkan sangat mungkin lebih banyak yang bertendens daripada yang tidak!

Seni untuk seni kita sebagai teori seni kesenian tidak lagi mempunyai dasar yang kuat dan karenanya telah tumbang! Di dalam hubungan dengan hal ini menarik perhatianlah apa yang dikatakan Jean Paul Sartre, membuka Les Temps Modernes pada buku Oktober 1945 di mana ia di dalam artikelnya “Presentation” menghukum kemasabodohan sosial dan l’art pour l’art. Sekembalinya dari Kongres Rakyat untuk Perdamaian di Wina hal ini kembali dijelaskannya di dalam hubungan dengan perdamaian dunia di dalam pidatonya di Velodrome d’hiver di Paris yang selengkapnya dimuat di dalam mingguan Les Lettres Francaises.

Memang hidup di dalam suatu masyarakat dan bebas tak tergantung dari masyarakat itu adalah mustahil. Seni tak dapat melepaskan dirinya dari nasib rakyat. Dapatkah pula, misalnya, kita bersikap pasif dan apatis terhadap perjuangan kemerdekaan Rakyat Indonesia? –Tentu tidak!

Kemanusiaan menghendaki seni yang mengandung ide, ide besar untuk kemanusiaan. Ide perikemanusiaan—jadinya seni bertendens atau karena istilah itu kerap kali dipakai keliru untuk mengejek dan kadang-kadang digunakan oleh pemakainya untuk menghidangkan makanan busuk—lebih tepat lagi: l’art engagée.

IV
Apakah sebabnya l’art engagée jadi impopuler?

Karena memang banyak di antara l’art engagée yang rendah mutunya. Maksudnya baik, tapi cara mengolahnya salah, karena pengolahnya tak ada kemampuan. Halnya sama dengan orang yang hendak menjadikan anggurkina bagi penderita-penderita malaria atau guna pencegahan malaria. Tapi caranya membuat anggurkina salah, sehingga membuat rasanya terlalu rasa kina dan tidak sedikit pun ada rasa anggurnya.

L’art engagée yang mau mendidik dengan cara air-kina demikian namanya propaganda atau mungkin juga reklame atau iklan. Itu kan lebih terang-terangan dan karenanya lebih baik!

Orang dewasa tak senang digurui dan diajari oleh neneknya, perempuan tua yang nyinyir karena pikunnya dan telah mulai bersahabat rapat dengan malaikatulmaut serta tinggal menjemputnya saja lagi. Biasanya karena jemu-muak akan ajaran dan omelannya kita hanya setahun sekali, pada hari-raya (lebaran) saja datang berkunjung dan dengan bermacam dalih lekas meminta diri untuk pulang.

Ajaran dan omelan nenek nyinyir seperti itu buruk karena tak menarik hati dan tak ada pengaruhnya dan autoriteinya.

Orang tidak lagi tertarik kepada cara menggurui Jacob cats dari Nederland abad ketujuh belas atau Soetan Parang Boestami dari Indonesia abad atom ini.

Friederich Engels sendiri di dalam suratnya kepada romanciere Margareth Harkness menyatakan tidak setujunya kepada “Tendenzliteratur” seperti ini.

Konstantin Fedin menganjurkan supaya orang jangan mendidik “Seperti seorang pendidik yang telah pensiun, seperti perawan tua yang telah kekeringan yang mencinta.”

Kewajiban seniman yang hendak menyampaikan apa-apa bukanlah memberikan tablet vitamin yang bulukan, melainkan vitamin di dalam makanan yang lezat yang tidak ketahuan oleh si penerima maksud pemberian vitamin itu apa, karena si penerima hanya merasa diberi makanan. Juga di dalam kesenian orang enggan diperlakukan sebagai a-vitaminose, orang akan merasa tersinggung perasannya diperlakukan sebagai si sakit, akan curiga. Sebuah roman bertendens yang seperti Pere Gotiot ciptaan de Balzac, Germina ciptaan Zola, dan Madame Bovary ciptaan Gustave Flaubert (yang cukup paradoksal notabene bersama dengan Victor Cousin menjadi Bapak teori l’art pour l’art) dapat mencapai tingkatan selusin sebuah roman terbaik dari kesusastraan Prancis antara masa 1 Januari 1800 dan 31 Desember 1899 (seabad puncak kesusastraan roman) seperti keputusan sebuah juri enam belas orang para ahli baru-baru ini, antara siapa duduk juga Colette.

Utilitarisme atau asas-utiliteit yang demikian, yang mendasarkan segala sesuatu atas kegunaannya semata-mata, tak dapat dibenarkan. Sikap Pisarev yang lebih menilai sepasang sepatu tertimbang Shakespeare tak dapat dibenarkan. Juga Mao Tse Tung di dalam diskusi kesusastraan di Yenan pada bulan Mei 1942 mempersalahkan utilitarisme yang demikian. Utilitarisme demikian itulah yang membuat l’art engagée menjadi impopuler, meskipun l’art engagée tidak sama dengan utilitarisme. L’art engagée yang baik mesti dan wajib merehabilitasinya dengan berani dan jujur dan menegaskan, bahwa ia bukan utilitarisme.

Antaranya: tendens dengan diberikannya dengan sewajarnya, sebagai sesuatu yang menjadi bagian dari kehidupan si seniman sendiri yang mendidih di dalam jiwanya dan membuat meluap keluar dengan tak sadar.

Perlu ditegaskan, bahwa tujuan l’art engage tidaklah untuk memerosotkan tingkat seni ke bawah, melainkan untuk mengangkat perasaan kesenian rakyat ke atas, untuk makin lama meletakkan syarat-syarat kemutuan yang semakin baik kepada perasaan keindahan rakyat.

V
Kita bangsa Indonesia dewasa ini perlu akan ide besar.

Manusia Indonesia perlu kasmaran atau ganderung pada cita besar untuk membangunkan Indonesia Baru.

Manusia Indonesia perlu memendam berahi pada cita besar untuk menyumbangkan kepada dunia dan manusia dengan mengembalikan apa yang diterimanya dari dunia dan manusia setelah ditanam dan dikembangbiakannya di bumi pertiwinya sendiri, menjadi buah-buahan tanah airnya, selaku balas budi, seperti kita mengirimkan karet ke benua Amerika sekarang, hevea brasiliensis yang kita terima dulu dari benua itu, seperti kita menyerahkan kembali kepada dunia: kina, kopi, teh, kopra, dan tapioka yang benihnya kita terima dari benua lain.

Manusia Indonesia perlu cinta kasih, kebenaran, kemerdekaan, dan perdamaian serta pembebasan seluruh kemanusiaan.

Ide besar Manusia Indonesia itulah yang hendaknya menjadi sentral ide tiap seniman, terutama tiap sastrawan.

Tapi semoga kaum seniman tidak memberikan truc-foto manusia sekarang yang diakal-akali dengan tipu muslihat hingga menghasilkan foto manusia kelak, seperti truc-foto nenek perempuan berumur lima puluh tahun sekembalinya pula dirawat di rumah sakit lembaga kecantikan, hingga tiga puluh tahun menjadi lebih muda! Semoga kaum seniman memberikan film perjalanan manusia kini menjadi manusia kelak, manusia tipe baru, memberikan gambaran kekelakan yang terkandung di dalam kekinian!

Kebangkitan kesusastraan Indonesia tiga puluh tahun yang lampau menunjukkan juga dirasakannya fungsi kemasyarakatan kesusastraan Indonesia baru, perlunya kesusastraan Indonesia Baru menghantam apa yang lama, lapuk dan reaksioner serta perlunya berjuang bagi yang baru, yang baik, Siti Noerbaja karangan Marah Roesli dan Asmara Djaja karangan Djamaloeddin Adinegoro, misalnya, menghantam kawin paksa menurut adat lapuk. Selanjutnya di dalam Pudjangga Baroe, S. Takdir Alisjahbana tegas-tegas mengemukakan, bahwa kaum sastrawan (baca; seniman) tak dapat memisahkan diri dari persoalan dan perjuangan bangsanya.

VI
Betapakah pemecahan masalah bentuk dan isi supaya mencapai keselarasan sebaik-baiknya?

Isi yang baik dan ide yang besar hendaklah didukung oleh bentuk yang indah dan baik, artinya: bentuk yang indah dan kuat. Pada seniman-seniman yang besar, isi dan bentuk itu saling lengkapi, saling penuhi, isi dan bentuk itu satu tunggal dan tak terbagi-bagi

Ralph Fox menulis: Bentuk dihasilkan oleh isi, adalah identik dengan isi, dan meskipun yang lebih utama adalah isi, bentuk bereaksi atas isi dan tak pernah tinggal pasif.

Jadi seni tak boleh mengabaikan isi, tak boleh meniadakan isi, tak boleh menjadi “main bagus-bagusan” (mooidoenerij) belaka, menjadi penghibur dan penyenangkan belaka, sebaliknya seni mesti mengandung isi, mengandung ide yang besar. Tetapi seperti juga seni tak boleh mengabaikan bentuk. Isi yang bagus di dalam bentuk yang buruk sama halnya dengan intan diikat dengan besi atau timah.

Ada yang mengatakan bahwa l’art engagée umumnya, dan seni kerakyatan khususnya, akan membuat sesuatu hasil kesenian buruk.

Pada umumnya dan di dalam kebanyakan hal pendapat itu tidak benar; ia hanya benar di dalam hal, di mana seseorang seniman memaksa-maksakan dirinya hendak mengajukan sesuatu ide yang belum menjadi miliknya, melainkan yang dipinjamnya atau ide yang dipaksakan kepadanya. Atau ia menguasai dan memiliki ide itu, tapi ia bukan seniman, melainkan hanya idee-?n-kolporteur atau idee-?n-makelaar. Kita melihat itu di dalam hasil-hasil berbagai sayembara zaman Jepang, di mana orang memaksa-maksakan dirinya mengemukakan sesuatu ide dan bekerja menurut tema tertentu yang dipaksakan karenanya sesuatu hasil kesenian yang baik, artinya yang isinya baik dan bentuknya indah, yang terdapat keselarasan antara isi dan bentuknya, hanyalah hasil kesenian yang tulus, yang jujur, yang tidak berpura-pura. Kaum seniman perlu megandung sesuatu ide di dalam hati dan jiwanya, perlu memasakkan ide itu di dalam kandungannya, ide yang dihamilkan oleh pertemuan mesra antara pribadinya dan kehidupannya dan kemudian baru melahirkan (menganakkan) ide itu di dalam hasil ciptaannya. Kaum seniman yang sembrono saja mengemukakan sesuatu ide di dalam ciptaannya akan selalu melahirkan hasil ciptaan yang keluron (abortif). Seorang seniman perlu mesra mencintai sesuatu ide, seperti seorang istri mencintai seorang suami; sedapat mungkin untuk selama hidup, tapi jika menurut pengalaman dan peralaman dia kemudian terasa tak cocok dan tak selaras lagi, maka boleh ia bercerai dari sesuatu ide setelah membuat perhitungan penghabisan, tapi segalanya itu dengan serba bersungguh-sungguh. Pergaulan seniman dengan idenya bukanlah pergaulan kelasi kapal dengan seorang perempuan lacur di pelabuhan asing. Pergaulan seniman dengan idenya adalah pergaulan suami istri yang sah dan penuh kasih.

Juga tidaklah dapat dibenarkan sikap seseorang seniman yang tiap kali ganti paham, yang dapat melayani pandangan hidup bagaimanapun juga berganti-ganti, —katanya dengan penuh kasih—seperti perempuan jalang melayani berbagai lelaki yang katanya juga dengan penuh kasih. (Maafkanlah ungkapan trivial yang terpaksa ini). Paham dan pandangan hidup adalah ide besar yang serius.

Terlebih dulu seseorang seniman perlu mempersatukan dirinya dengan idenya sebelum ia menciptakan dan mencurahkan idenya itu ke dalam sesuatu hasil ciptaan seni. Adalah baik untuk menulis tentang Revolusi Kemerdekaan Nasioal kita, tapi jika tempo hari orang tidur lelap dengan ayem dan anteng, tentu sukar untuk mengemukakan ide-ide besar tentang Revolusi itu. Apalagi jika orang tempo hari menjadi nefis, tentu sukarlah baginya untuk menulis ide yang memuja Revolusi Kemerdekaan itu. Untuk itu perlu ia membersihkan lebih dulu darah kotor di dalam tubuh jiwanya sebelumnya ia hendak melakukan perkawinan sah Revolusi Kemerdekaan itu. Pengobatan perlu dilakukannya dengan mengadakan Umwertung aller Werte di dalam sikapnya dan hati jiwanya terhadap perjuangan untuk kemerdekaan nasional, di dalam penebusan dosa yang mesra dan bersungguh-sungguh. Kalau tidak demikian, maka perbuatannya adalah perbuatan lacur dan idenya akan kotor ketularan penyakitnya, hasil ciptaan seninya akan merupakan anak cacat.

VII
Kini timbulah persoalan apakah jika kita menyetujui tendens, lalu kita mengambil masalah aktualiteit sebagai pokok acara karangan, apakah tidak kita ditidakmungkinkan untuk menciptakan seni besar yang mengandung nilai keabadian.

Menurut anggapan saya pertanyaan itu keliru dan timbul dari sikap tak hendak meninjau sejarah dan belajar dari sejarah. Sejarah kesenian menunjukkan, bahwa seni yang besar tidak hanya pahatan arca Venus oleh Milo yang mempunyai tema keindahan tubuh wanita yang ukur-ukurannya tetap di sepanjang zaman tidak hanya berupa gambaran cinta antara Romeo dan Juliet oleh Shakespeare, cinta yang abadi akan mengisi hati anak Adam dan Eva, melainkan juga Ilias ciptaan Homeros yang menggambarkan sesuatu aktualiteit pada zaman yang bersangkutan, ialah tentang Troye—juga Jagamalam (Nachtwacht) ciptaan Rembrandt Harmensz van Rijn yang menurut tema tidak ada nilai abadinya— juga Antonius and Cleopatra buah tangan Shakespeare yang menggambarkan satu episode di dalam sejarah.

Teranglah, bahwa soalnya bukanlah terletak pada pilihan temanya apakah actual ataukah mempunyai nilai abadi, melainkan pada kemampuan dan penjiwaan si pencipta sesuatu hasil ciptaan seni sendiri. Tidak tentu sebuah roman tentang Revolusi Kemerdekaan Indonesia akan mati setelah revolusi itu selesai; mungkin lima ratus tahun setelah Revolusi, setelah tampang dunia menjadi sama sekali berubah, roman itu masih akan menjadi bestseller. Sebaliknya tidak pasti sebuah tentang percintaan “kisah lama yang selalu baru” itu—untuk berbicara dengan Heinrich Heine akan masih dibaca rang setelah sepuluh tahun; kadang-kadang pada waktu terbitnya saja pun orang telah enggan membaca. Tepat apa yang dikatakan Josef Revai, Menteri Urusan Kebudayaan Republik Rakyat Hongaria di dalam kongres pengarang-pengarang Hongaria di Budapest pada tahun 1951: “Sebuah buku tentang kehidupan sekarang dan tentang kerja yang ditujukan kepada masa sekarang dapat juga menetap, dan apa yang disebut ‘karangan-karangan menetap’ dapat pula sekarang pun telah mati.”

Pengetahuan ini perlu bagi pengarang-pengarang muda terutama dan bagi seniman-seniman muda seumumnya untuk tidak gamang, gentar, memulai sesuatu ciptaan yang berdasarkan pokok-pokok acara aktual. Dengan demikian perjuangan nasional bangsa kita sejak dari permulaan abad sekarang hingga hari ini memberikan kepada kita sekalian bahan-bahan mentah yang melimpah-limpah yang minta diolah. Bergantung kepada kemampuan kita apa akan jadinya, karena dari batu yang sama mutunya, belum tentu tercipta arca yang sama nilainya, hal mana berarti, bahwa dari kita diminta persiapan dan perlengkapan yang perlu.

VIII
Tidaklah mudah mencapai kesempurnaan!

Juga di dalam mencapai kesempurnaan seni perlu laras isi dan bentuknya.

Untuk itu perlulah kita berguru kepada mahaguru-mahaguru kesenian dunia. Mereka hendaklah dijadikan suri teladan dan ideal. Memang, jangankan melebihi atau menyamai mahaguru-mahaguru seperti Homeros dan Sophokles, Dante dan Shakespeare, Balzac dan Tolstoy dan di dalam sastra, Beethoven dan Bach di dalam musik, Leonardo dan Vinci dan Michel Angelo, Rembrandt dan Repin, Milo dan Rodin di dalam seni rupa, Anna Pavlova dan Isadora Duncan di dalam seni tari, Eisenstein dan Victoria de Sicca di dalam seni film, mendekatiya saja pun sudah sukar. Tapi di mana ada kesukaran, di situ ada perjuangan dan perjuangan adalah nikmat dan agung! Kita tak jemu-jemunya berjuang, tak boleh puas sebelum ke kaki sang empu atau duduk sejajar dengannya. Jika pun kita yakin kita tak akan sampai ke sana seperti banyak wadi (sungai) di Afrika Utara tak akan mencapai laut, namun dari gunung ia mengalir terus dengan gembira untuk mencoba mencapai laut. Di dalam alirannya itu pun, ia telah banyak juga berjasa kepada manusia!

Bersama dengan Goethe, kita pun berkata: “In der kunst ist das Beste gut genug!”

(Dimuat Majalah Indonesia, Nomor 6/7 Tahun IV, Juni/Juli 1953, halaman 337-334).

[1] Di sini sengaja dipakai istilah ‘formalisme’ dan dihindari pemakaian istilah ‘belletrisme’ yang dapat mengelirukan (B.S.)

Tulisan sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2020/02/eros-dan-sastra/

Sepilihan Esai & Kritik Sastra, Copyright © Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Cetakan Pertama, Juli 2017, ISBN: 978-602-6447-29-6, KURATOR/ EDITOR: MAMAN S MAHAYANA, Hak Posting: PUstaka puJAngga (PuJa).

One Reply to “Ke Arah Seni Berisi: Sekitar Soal “Tendens””

Leave a Reply

Bahasa »