Kepenyairan Jatim (Jawa Timur) Selayang Pandang

Ribut Wijoto *

Penyair tumbuh subur di wilayah Jawa Timur. Generasi baru terus bermunculan. Berkarib tengkar dengan penyair generasi sebelumnya. Memang ada yang datang dan pergi alias sekadar mampir, tetapi tidak sedikit pula yang tetap mencoba untuk bertahan mendedahkan konsep ataupun strategi kepenyairan.

Secara selayang pandang, beberapa fenomena patut dicermati. Semisal pada awal kemerdekaan dan selama penjajahan, puisi berbahasa Indonesia belum terlalu populer di Jawa Timur. Perlu diperhatikan pula, pada zaman orde lama, Jatim pernah memunculkan puisi-puisi yang unik. Puisi-puisi yang tidak mengedepankan tema religius maupun cinta, tetapi tema kerja. Lantas adanya pencapaian pluralistik dari estetika para penyair era orde baru hingga terkini. Belum lagi fenomena penyair perempuan Jatim yang cenderung datang dan pergi. Kesemuanya patut dicermati.

Tulisan ini, sekali lagi, sebatas uraian selayang pandang. Merupakan pengembangan dari beberapa tulisan saya telah lalu. Ada banyak celah dalam tulisan ini, utamanya adalah data. Saya menulis berdasarkan data yang saya miliki dan dapat saya jangkau. Itu artinya, saya berharap muncul banyak tulisan lain dari penulis lain tentang kepenyairan Jatim. Beragam tulisan yang nantinya diharapkan bisa saling melengkapi, sehingga terbangun sejarah kepenyairan Jatim yang cukup kokoh.

Masa Kemerdekaan

Berbeda dengan saat sekarang, selama perang kemerdekaan hingga tahun 1950-an, kepenyairan di Jatim bisa dibilang kurang semarak. H.B. Jassin dalam bukunya Gema Tanah Air (cetak 1: 1948, cet 6: 2013) yang mencatat sastrawan angkatan 45 hanya memasukkan empat penyair kelahiran atau yang berproses di Jawa Timur. Ini sangat dimungkinkan karena penggunaan bahasa Indonesia belum terlalu melekat di masyarakat, termasuk penulis. Dalam keseharian, masyarakat Jawa Timur lebih akrab dengan bahasa Jawa. Dan memang, tradisi sastra Jawa (gurit, tembang, maupun cerkak) tumbuh sangat subur.

Pertama, Supii Wishnukuntjahja yang dihirkan di Kesamben, Blitar, tahun 1928. Dalam perjalanan proses kreatifnya, Supii sempat bekerja di majalah Berontak Magelang, Bakti Mojokerto, dan Sasterawan Malang. Kutipan puisi judul ‘Perbuatanku’ dari Supii: Saat ini aku menangis, di punggung. Khalayak ngekor bersedih hati di kursi. Banjir air mata melimpahi gedung komidi. Tabir tertutup. Rapat terkatup.

Kedua, Trisno Sumardjo yang dilahirkan di Surabaya, tahun 1916. Kiprah Trisno Sumardjo sangat komplit. Dia menulis puisi, novel, menerjemahkan karya luar negeri, dan gemar melukis. Sayangnya, Trisno sepertinya hanya nunut lahir di Surabaya. Proses kreatif dan aktivitas keseniannya lebih banyak dilakukan di Yogyakarta, Solo, dan Jakarta. Kutpan puisi ‘Syair-syair Kecil tentang Hidup” karya Trisno Sumardjo: Kerja sehabis tenaga dan sisanya untuk cinta. Anak terlahir antara letih dan tak sengaja. Dia pun tumbuh, mengulang riwayat ibu dan bapa. Dia pun hidup dan tak tahu Hidup yang sebenarnya.

Ketiga, Kasim Mansur. HB Jassin hanya menuliskan biodata singkat dari Kasim Mansur, yakni lahir di Surabaya, 1 Mei 1923. Tanpa penjelasan apapun. Tampaknya, HB Jassin sendiri hanya mengenal karya puisinya tanpa mengenal kiprahnya dalam jagad kesenian. Padahal Kasim Mansur termasuk produktif dalam berkarya. Terlihat dari lima kali pemuatan puisinya di Mimbar Indonesia, yakni ediri 15 Mei 1948, 2 Juni 1948, 19 Juni 1948, 3 Juli 1948, dan edisi 10 Juli 1948. Inilah kutipan puisi “Alpa” dari Kasim Mansur: Inikah panti berkabut lagi. Tempat ombak pecah, mendaki. Atau, pulau beraneka kumbang. Paman tani, jadi pahlawan.

Keempat, Muhammad Ali Maricar, lahir di Surabaya, 22 Agustus 1925. Inilah penyair atau sastrawan Surabaya paling mendapatkan perhatian dari HB Jassin. Beberapa buku Muhammad Ali bisa diterbitkan berkat rekomendasi dari Jassin. Gerak berkesenian Muhammad Ali juga lumayan lengkap. Dia menulis puisi, cerpen, kritik sastra, naskah drama, bermain musik, dan gemar melukis. Menguasai bahasa Inggris dan Belanda. Pegawai kantor Kotapraja Surabaya ini juga menjadi redaktur media bulanan Mimbar Pemuda dan Mingguan Pahlawan.

Tulisan-tulisan Muhammad Ali termaktub dalam 5 Tragedi (1954), Siksa dan Bajangan (1955), Persetudjuan dengan Iblis (1955), Kubur tak Bertanda (1959), Hitam atas Putih (1959). Berikut kutipan puisi “Lumpur dan Sinar” dari Muhammad Ali: Suatu ketika, biduk akan terdampar di karang: tanah dan mega tandus terbakar. Di situlah aku melolong gemas. Dan anjing menyalak; ‘O, pencari mimpi.’ Ini orang bertabur bisul, berbaju karat, tiada pintanya lagi: Mandi dalam kolam dingin.

Masa Orde Lama

Selama masa Orde Lama kepemimpinan Soekarno, banyak penyair Jawa Timur yang terinspirasi oleh gerakan sosialis maupun komunis. Ketika menulis puisi, tema-tema yang diunggah bukan menghadirkan keagungan atau kehinaan yang melangit. Para penyair lebih tersedot oleh kerumitan, kegelisahan, kesementaraan, dan tragedi dunia kerja. Sebuah dunia yang tidak berlumuran dengan doa dan cinta. Dunia ini penuh dengan tetesan keringat, tawa, dan obsesi keseharian. Kesemuanya termaktub dalam kumpulan puisi Laut Pasang terbitan Surabaya tahun 1962.

Walau lingkungan politik yang cenderung beraliran kiri, puisi mereka juga memiliki sandaran logis dari kultural Jawa Timur, utamanya kota Surabaya. William H Frederick dalam buku Pemandangan dan Gejolak Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia, Surabaya 1926-1946 (Jakarta, Gramedia, 1986) menggambarkan kondisi menjelang akhir abad kesembilan belas, Surabaya termasuk kota terbesar di Hindia Belanda. Penghuni Surabaya, ketika itu, mirip dengan proporsi penghuni sekarang, penuh dengan orang-orang yang tidak berasal dari Surabaya an sich. Penduduk Surabaya hanya sebagian kecil dibanding luberan pendatang yang singgah dan menetap untuk berdagang, berwiraswasta, atau pun kerja kantoran. Tidak saja pendatang lokal Jawa; di Surabaya berjubelan warga keturunan Cina, Arab, dan India. Tentu saja, ditambah dengan orang-orang Belanda dan Eropa. Jumlah pendatang yang prosentasenya lebih besar dibanding pendatang di kota-kota lain di Indonesia. Surabaya lahir dan besar dengan menanggung beban kosmopolitan. Sebuah kota yang mimpi dengan mata terbuka.

Oleh sifatnya yang plural, dan oleh penduduknya yang bukan asli, orang Surabaya kurang mempunyai hubungan mistis atau sakral dengan tanah dan alam. Bila di Yogyakarta, Bali, bahkan Banten, alam dikaitkan dengan ritual-ritual mistis. Orang Surabaya menganggap alam sebagai sahabat karib yang akrab. Alam bukanlah sosok dunia lain, alam ada sebagai bagian dari kehidupan manusia.

Perendaman di dalam alam tidak terjadi pada masyarakat Surabaya. Alam tidak dipuja-puja atau diagung-agungkan. Keaslian alam bisa sewaktu-waktu diubah, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Potensi alam didaya-gunakan untuk kepentingan umat manusia, dan bukannya untuk kepentingan jin atau genderuwo. Alam sah untuk digali dan diperjual-belikan. Manusia ada di depan alam. Ini mirip dengan gejala antroposentrisme dalam pengertian Nicholas Alexandrovicth Berdyaev, seorang filsuf peletak dasar filsafat eksistensialisme, “manusia adalah pusat alam semesta”. Manusia menentukan bertahan atau terkurasnya nasib alam.

Bermula dari hubungan masyarakat dengan alam, puisi-puisi Laut Pasang menemukan spiritualitas yang menggerakkan aktivitas kultural. Ada tercetak dalam puisi “Matahari Dikening Kami”: Berkatalah sekarang, berkatalah, kemana kami mesti melangkah, kepertjajaan yang kami dukung ialah milik orang-orang djujur, berkatalah, kerdja apa jang mesti dilembur (Andi Amaruliah Machmud). Aku lirik, tokoh aku pada puisi, mempersandingkan sifat kejujuran dengan keinginan untuk bekerja. Tidak hanya kerja semestinya atau kerja sesuai jadwal, lebih dari itu, aku lirik meminta tambahan waktu melalui jam lembur. Suatu pasangan aneh dalam kenyataan; jujur dan lembur. Seseorang yang ingin menunjukkan kejujuran, sikap etis bermasyarakat, dengan usaha kegilaan dalam jam kerja lembur. Di situ, kerja menjadi penanda dari tindakan, yang menurut konsepsi aku lirik, bernilai benar!

Keinginan atau kebutuhan dalam kerja begitu besar. Jam-jam berlarian menuju kerja. Effendi M.S. menuliskan puisi “Pelajaran”: Nelajan jang berkatja dibulan pagi, dibenam hatinja dilubuk laut, adalah dendam jang datang setiap saat, membajang ombak dimatanja. Penting diperhatikan kata “dendam” yang dituliskan penyair Effendi. Kata itu mengandaikan obsesi berlebihan terhadap hal-hal yang dikenai. Padahal, dendam terhadap seseorang seringkali membikin si pendendam rela melakukan apapun agar keinginan terkabul. Di sini, di puisi Effendi, dendam mengejawantah dalam wujud kerja nelayan. Dengan latar bulan di pagi hari, nelayan melihat laut dengan ombak beriaknya sebagai tugas “penting dan mendesak” untuk disikapi. Pilihan-pilihan lain terabaikan, sang nelayan berangkat kerja dengan langkah tegap, mantap. Mencari ikan adalah pilihan tunggal tak terbantah.

Kekuatan diri pada kerja dalam dua puisi tersebut merupakan isyarat, tindakan kerja bukan tugas yang berasal dari luar diri. Kerja telah inheren, melekat di dalam diri nelayan. Bukan saja tugas kemasyarakatan yang mengarah kepada kepentingan orang banyak, ini kerja ialah obsesi pribadi, bertempat dan meledak di dalam diri. Kerja menjadi tindakan spiritual.

Kerja bertukar tangkap dengan diri pribadi: Tjintanja datang karena kerdja ditangan tua jang gemetar. Dipunggung pungguk anak desa jang matinja kelaparan. Ditindakan jang sarat oleh jawaban untuk zamannja, dalam hati jang selalu berbisik: O, usia berbijih rasa, nikmatnja berumah dan bekerdja (Hadi S, “Usia Penyair”). Kegairahan dalam bekerja memperbesar sangkaan, ia berputar-putar secara irasional pada diri aku lirik. Tindakan yang bukan saja tidak terbantah, resiko ringan atau berat, sedikit saja, tiada melintas dalam pikiran. Kerja dirasakan murni sebagai tugas terakhir dalam diri. Kerja sebagai satu-satunya alasan untuk menjalani hidup dan kehidupan. Dimensi ketuhanan melekat di dalam kerja. Lebih lanjut, inilah yang aku tangkap, di dalam kerja ada terdapat kelengkapan kemanusiaan, estetika, dan pandangan hidup.

Kegilaan terhadap kerja, sebagai manifestasi ketuhanan, sangat menarik diperbandingkan dengan pemahaman umum tentang sembahyang. Konon di kisah-kisah, sembahyang yang berkualitas tinggi ditemui berada dalam orang seorang yang seharian bertafakur, merenung, atau kurang melakukan aktivitas keseharian kecuali berdoa. Pada orang tersebut, semoga pemahaman saya salah, hidup yang hanya dipenuhi dengan kerja dianggap jauh dari nilai religius. Bersandar dari puisi para penyair Surabaya, runutan logika menjadi terbalik. Kehidupan “merenung” bukanlah sama sekali tanpa nilai sebagai sarana pembenaran di hadapan Tuhan, akan tetapi kehidupan itu juga berarti penolakan kewajiban di dunia ini sebagai hasil egoisme diri, dengan tindakan menyingkir dari kewajiban-kewajiban di dunia. Yakni, suatu pernyataan bahwa pemenuhan kewajiban duniawi di dalam segala kondisi merupakan saatu-satunya jalan untuk bisa hidup dan dikehendaki oleh Tuhan, dan karenanya kerja pasti mempunyai manfaat yang sama di dalam pandangan Tuhan.

Adanya dimensi spiritual membuat resiko-resiko dalam dunia kerja sebagai sesuatu yang layak diterima. Kerja dan kepahitan jang djadi satu, betapa pedihpun, dari sini nilai dibangun, betapa indahnja, Mobil mewah dan rumah jang gemerlapan, Lidah jang didjual, harga diri jang digadaikan, atau, Keringat jang dihisap dan darah jang disadap (Hadi S, “Sadjak-sadjak Hitam”). Lihatlah larik-larik puisi tersebut, problem-problem kerja dijadikan sumber nilai. Kemegahan muncul dalam semangat kerja. Keindahan bersumber pada atau dari kerja.

Mengapa tercipta kondisi seaneh ini? Jawabnya tentu bukan jawaban keduniawian. Sangat mungkin, semoga pemahaman saya benar, kerja bukan semata-mata sarana atau alat ekonomi. Kerja adalah tujuan akhir spritual. Transenden. Sikap lemah lesu, iri hati, atau keceriwisan apabila dianggap membahayakan jiwa, maka sikap ini masih lebih baik dibandingkan dengan pilihan hidup tanpa kerja.

Di lain puisi, yaitu di puisi berjudul “Ave Maria” tertulis larik: Diudjungnja aku terbangun, disentak malam disentak dunia, Pergulatan betapa gemuruh sedang kerdja belum selesai (Hadi S, “Ave Maria”). Pengambilan lagu dari kisah “Ave Maria” ini menarik dicermati. Beberapa sastrawan juga mengambil inspirasi dari lagu yang sama dalam mencipta karya. Chairil Anwar menggunakan latar lagu “Ave Maria” untuk memberi lompatan estetik bagi kisah cinta lelaki-perempuan. Idrus, lewat cerita pendek dengan judul sama, “Ave Maria”, memfungsikan lagu tersebut untuk memuntahkan kisah kerinduan yang menyayat. Bahkan, Pramodya Ananta Toer pun pada kumpulan cerpen Cerita dari Blora mengambil latar lagu “Ave Maria” untuk memberi kesan sedih, merintih, senyap. Pada ketiga sastrawan, antara karya dan lagu “Ave Maria” menemukan kesejajaran; tragikal. Pada puisi Hadi S., nuansa tragik dan melankoli justru ditolak. Alasannya jelas, kerja. Dunia kerja membutuhkan suasana penuh semangat dan situasi hiruk pikuk.

Dunia kerja tidak cocok dengan ikon “Ave Maria” yang nglangut, nestapa, dan penuh iba. Dunia kerja tidak cocok juga dengan ikon sunyi, senyap, hijau daun, keangkeran gunung, atau jimat-jimat misteri. Antologi Laut Pasang menerbitkan satu ikon yang lebih sesuai. Inilah yang dituliskan penyair Rumambi tentang ikon: Mentjutjurkan keringat ganggang matahari, tangan-tangan kapalen mengajunkan tjangkul (puisi “Bagi Selembar Tanah”). Ikon “cangkul”, alat para petani untuk mengolah sawah dan tegalan, sangat mewakili dunia yang penuh tetes keringat dari mobilitas kerja. Penyair Amruliah pun menemukan kegembiraan dan cintanya melalui ritmis ayunan cangkul: Ajunan tjangkul jang dalam, adalah harapannja siang dan malam, peluh membanjir ditubuhnja, adalah tjintanja pada kerdja sawah (puisi “Petani Lantjokang”). Penyair Effendi justru menganggap cangkul selayak kekasih: Kemana hatimu kau bawa pergi, dari padang dimana tjangkul dan arit berdentjing, kasih jang tak terlupa, sajang jang tak ‘kan hilang (puisi “Tjangkul”). Pada cangkul, penyair Surabaya menemukan kedirian, panggilan hidup.

Pesona dan tawaran kerja begitu menubuh. Sampai-sampai, penyair Hadi S menggunakan untuk menghibur kekasih, perempuan yang hendak ditinggalkan pergi, dituliskannya larik-larik puisi: Jarak antara kita manis, penaka lagu mengalun, pergi. Diudara ia tiada, namun hatinja jang pasti kita menangkan, samudera lagu, kasih dan sajang (puisi “Perpisahan”). Demi menempuh dunia kerja, sang perempuan rela ditinggalkan. Sentimentil, memang, tetapi kalau kerja sudah inheren pada diri, segala hal bisa dikesampingkan. Pertimbangan-pertimbangan dicari atau dipilih hanya untuk realisasi kerja. Pada kerja diperoleh kemanusiaan.

Seseorang merasa dirinya ada, meyakini ada, karena seseorang tersebut bekerja. Seperti tergambar dalam puisi yang menjadi judul antologi ini “Laut Pasang”: Dia jang lahir dalam kerdja setiap hari, darimana dunia dilahirkan, Dia tahu harga dirinja, tahu dimana harus dimulai (Hadi S, “Laut Pasang”). Oleh sebab itu kerja, semoga pemahaman saya benar, adalah kebenaran diri. Dan oleh sebab estetika adalah hal-hal mengenai kebenaran, kerja adalah estetika itu sendiri.

Masa Orde Baru

Selama masa orde baru yang dipimpin oleh Soeharto, kepenyairan di Jawa Timur semakin tumbuh subur. Ada Abdul Hadi WM, D Zawawi Imron, Akhudiat, dan lain sebagainya. Pertaruhan estetik yang ditawarkan juga semakin beragam. Banyak di antara penyair tersebut, sampai saat ini, mereka masih intens menulis atau mengikuti perkembangan puisi. Secara sambil lalu, berikut sedikit kutipan para penyair masa orde baru:

Zawawi Imron, penyair Madura yang tidak pernah tahu tanggal kelahirannya, menuliskan puisi bermetaforik susul menyusul. Puisi berjudul “Utang”: Kalau utang itu telah menjadi bulu tubuh kami, menjadi rambut dan bulu ketiak kami, utang itu akan mendesir dalam aliran darah kami, dan mendetak dengan sejumlah detak jantung kami, serta tak sempat kami lunasi, sebelum kami mati, utang itu akan menjadi nanah tempat berkubang anak-anak kami, utang itu akan menjadi samudera tempat berlayar cucu-cucu kami.

Paralelistik kata dipergunakan Zawawi untuk menegaskan arus pemikiran. Kata “utang” digulirkan berurutan dengan identitas berlainan. Masing-masing bermain di lingkungan tersendiri, sekaligus masing-masing kait berkait sebagai jalur peristiwa. Seperti kelak kelok sungai, kata “utang” merebak dari mata air dan menempuh tempat-tempat asing. Ketika bertemu sawah, ia berbau tunas padi dan racun tikus. Ketika melewati hutan, ia terjatuhi guguran daun jati, dan menjadi lembab karenanya. Ketika singgah di kota, ia menjadi asin. Masing-masing lingkungan membentuk sifat dan sikap pada kata “utang”.

Keberadaan wilayah-wilayah kata “utang” tidak saling memisahkan diri. Atau sebagai kematian. Masing-masing menjadi rangkaian utuh genetik. Sifat-sifat khas metamorfosa muncul dalam kata, sekaligus kata tidak bisa dikategorikan pada aspek historis di luar dirinya. Sebuah pola kronologi metamorfosa kata dari arti tunggal ke wujud jamak. Konsepsi utang terbentuk lalu bergerak melebar hingga menyentuhi persoalan yang lebih universal.

Arief B. prasetyo, penyair yang hingga kini masih disibukkan “perjuangan mencipta personalitas teks”, menuliskan puisi yang serasa chaos. Struktur puitik mecah memecah, pendar memendar, saling menyingkir, dan saling berpusaran. Di pinggulmu selusin sayap ingin mengerjap, kunang-kunang terbang, menikung, mengiang, membandang, terus, terus, cepat, ringkus, remas, hempas, keras-keras, jadi jerit bianglala yang terkulai di telaga, yang terberai, terkapar menggapai-gapai akar darah…

Akrobatik diksi puisi “Mahasukka” tersebut amat lincah. Kalau pada puisi Zawawi, diksi “utang” menjadi pusat dan digulirkan secara berkelanjutan, Arief tidak membutuhkan pusat diksi. Kata “pinggulmu”, kata tempat pijak kenyataan teks, dimunculkan hanya sekali, selebihnya pusaran ataupun belitan-belitan adegan. Sebuah struktur puisi yang panik.

Pembacaan Nirwan Dewanto terhadap puisi Arief B. Prasetyo perlu diketengahkan. Nirwan mendapatkan kesulitan dalam mengikuti gerak gelibat puisi Arief. Dan atas kesulitan itu, klaim disorongkan. “Jika pembaca tersesat terlalu pagi, ia akan habis sebelum sampai pada neraka semut api atau mahasukka”, tulis Nirwan dalam semacam kata penutup dari antologi Mahasukka. Nirwan lebih suka berdasar pada tradisi puisi yang telah ada, menghakimi karya puisi baru. Perbedaan-perbedaan bentuk atau variasi-variasi puitik yang membingungkan dianggapkan sebagai “menyalahi tradisi”. Pandangan yang mirip dengan Sutan Takdir Alisyahbana ketika mengomentari puisi, “karya Chairil Anwar” buruk. Ukuran puisi tradisi Pujangga Baru dipakai, sementara Chairil membuka bagi tradisi pasca-Pujangga Baru. Nirwan tidak terbuka terhadap tawaran. Akan lebih bermanfaat bagi publik puisi, Nirwan memahami (atau memaknai) tawaran puisi Arief lalu memberi gambaran struktur teks sebagai variasi dari tradisi puisi yang telah pernah ada.

Puitika akrobatik juga terbit pada puisi W. Haryanto. Lewat puisi, pembaca bisa menyaksikan kata-kata berlompatan membentuk realitas-realitas tanpa terduga, tetapi dapat diterima nalar. Kata-kata dirakit tanpa kepercayaan pada landasan kuat membentuk lompatan. Kata-kata seakan bersijingkat dalam medan makna. Latar belakang dihadirkan sebatas pemenuhan alur teks.

Di sebelah matamu, segala rasa bersalahku hilang di daratan jauh, dan kegelisahanku mencipta gairah-beku karang-karang di langit, dengar penggalan tanyaku ini, Ida; ketika kuntum arus ombak memberi sebuah akhir dari radang-radang pelapukan musim; dan lihat lukaku ini, Ida. Penggalan dari puisi “Surat yang Terpotong, Buat Aida”.

Penggambaran puisi tampak jauh dari suatu ekspresi. Rasa bersalah yang semestinya abstrak, masuk dalam wilayah moral, pada puisi mendapat citra visual konkret. Segala rasa bersalahku hilang di daratan jauh. Rasa bersalah dihilangkan, tetapi dimunculkan rasa gelisah. Dua ciri rasa puas terhadap interaksi manusia. Tidak ada paradigma lebih lanjut dari dua oposisi material teks yang dalam kehidupan sosial empirik bersatu karakter. Yang terjelaskan, sebuah penggal tanya. Juga luka. Segalanya dengan visualisasi mengejutkan.

Bila pada Arief, akrobatik puisi muncul dalam wilayah antar kata. W. Haryanto memunculkannya dalam wilayah antar kalimat. Arief sering mempercayakan kenyataan dalam banyak tanda baca koma dengan isian satu kata, sehingga teks menjadi sugestif. Sebuah percepatan sintaksis, percepatan pikiran, dan tercipta suasana mistis. Puisi W. Haryanto mengisyratkan penolakan terhadap sugesti. Kalimat-kalimat yang panjang dari puisi W. Haryanto menyebabkan pembaca sepenuhnya berada di kesadaran. Karenanya, kerumitan pada puisi menggambarkan kerumitan dalam logika berpikir. Puisi membentuk sebuah dunia dan dunia tersebut dipenuhi pikiran-pikiran spontan.

Selanjutnya, puisi HU. Mardi Luhung berjudul “Ziarah ke Reruntuhan Makammu” patut dicermati khasanah tata kramanya. Tapi lewat kangkangan-kangkangan kakinya, yang persis di tengahnya, aku lihat lubang-lubang syahwat merayu segala gerak yang lewat, segala gerak yang menyusun bangkai-bangkai laki dan perempuan, menjadi sedotan-sedotan dengan nganga yang cuma dua saluran “menyedot sampai tuntas, atau disedot sampai habis!”

Puisi Mardi dengan “kangkangan-kangkangan” serta “sedotan-sedotan” puitiknya (meminjam istilah puisi Mardi sendiri) seolah menguji standar ketertiban estetik. Sopan santun dari kanon estetik dipertanyakan, disodok-sodok dengan kenyataan ragam bahasa pinggiran. Ucapan atau bahkan umpatan-umpatan dalam khasanah publik diambil lalu dijadikan bahasa puisi. Mardi Luhung telah melakukan reproduksi bahasa publik, terutama bahasa masyarakat pinggiran kota besar. Reproduksi ini membuat bahasa puisi menampakkan seabrek kegaduhan dan kekalutan dari persinggungan-persinggungan personal dan kepentingan. Mardi mengulang kinerja Chairil Anwar yang berhasil mengangkat ragam bahasa Melayu Rendah dalam keindahan. Puisi bertindak sebagai penyuci kericuhan bahasa publik marjinal.

Lain Mardi, lain pula Beni Setia. Penyair, yang katanya tidak mempunyai pekerjaan lain kecuali menulis ini, memproduksi kenyataan dari beberapa nama tokoh sejarah dan merengkuhnya dalam peristiwa yang banal. Dan Ronggowarsito+Hasan Mustopa menjelajahi New York dan New Delhi dengan bis bertingkat –di Cililitan mereka ketemu J.P. Coen (puisi “Catatan Turistik tentang Jakarta”).

Pertemuan tiga tokoh dari jaman berbeda, dan tempat berbeda, serta sarana pertemuan yang aneh pada puisi Beni Setia menciptakan kenyataan banal namun parodis. Masing-masing tokoh dalam puisi masih dilekati identitas kesejarahan. Representasi terhadap biografi tokoh tidak begitu kuat, mungkin sengaja. Sehingga teks puisi tampak bermain di wilayah permukaan. Justru kebanalan biografi tersebut, ketika masing-masing tokoh dipertemukan, kenyataan parodi yang melawan sejarah terciptakan. Ruang dan waktu dalam sejarah dihapuskan. Lahir kemudian, kenyataan teks dari persilangan biografis.

Tentang Akhudiat, sejak tahun 1970-an, Akhudiat sudah mampu menciptakan puisi penuh tawaran. Ram tam tam tam: Naik kereta roda kaki. (Alfin Toffler & Co, salut dari gubug). Si penumpang tidur molor, bangun menjelang lohor, ketika geludug bukan halilintar, di ranjang bawah tanah. RAM RAM TAM TAM TAAM RAM RAM RAM. Puisi Akhudiat ini bila dikerjakan secara serius, sangat mungkin akan mampu mencapai standar puitika Afrizal Malna.

Kepenyairan Terkini

Puisi terus ditulis. Penyair-penyair baru tumbuh bersandingkan dengan penyair lama yang terus menulis. Beberapa nama penyair terkini patut mendapatkan apresiasi khusus. Misalnya Indra Tjahyadi, Muttaqien, F Aziz Manna, dan M Fauzi.

Indra Tjahyadi, inilah penyair di Indonesia yang paling gemar berfantasi. Permainan fantasi puisi Indra Tjahyadi tidak bisa dicari padanannya pada penyair-penyair era 1970-an atau 1980-an. Puisi Indra hanya bisa ditandingi oleh puisi Acep Zamzam Noor.

Berpijak pada realitas dalam pikiran, puisi Indra Tjahyadi mengembara menuju realitas-realitas lain yang hanya bisa dibayangkan tetapi susah ditemui dalam realitas konkret. Hasilnya adalah realitas fantasi. Beruntung Indra memiliki kepekaan universalis sehingga keliarannya masih tetap bisa dibayangkan pembaca. Terlebih, Indra kerap kali memainkan ritme pikiran sehingga tercipta dinamisasi alur. Kelebihan Indra yang lain, dia gemar bermain teknik puisi. Dalam sebuah antologi, Indra memamerkan teknik kreol Surabaya. Dia mencampurkan aspek lisan masyarakat kelas bawah di Surabaya dengan dicampur aspek lisan Pecinan.

A Muttaqien datang tiba-tiba dengan tanpa banyak cakap. Puisinya biasa menyerobot satu halaman penuh salah satu media massa nasional. Tidak seperti Indra yang sangat produktif, Muttaqien tergolong penyair yang rendah produksi. Walau begitu, karyanya jarang ditolak media.

Kelebihan puisi Muttaqien terletak pada ketekunannya dalam menjaga metafor. Dia meletakkan metafor secara dingin. Tidak ada ledakan pada puisinya. Justru sebaliknya, puisi terlihat rapi dan beku. Dia bisa telaten memasangkan bunyi-bunyian di akhir baris. Namun ketika rangkaian kata yang liris itu dimasuki, pembaca justru tidak menemukan makna tersurat. Pembaca hanya akan mendapatkan asosiasi, kesadaran metaforis, dan selebihnya kegelapan.

Puisi F Aziz Manna lain lagi. Ketika penyair-penyair Indonesia sedang mabuk liris, Aziz memilih jalur yang lain. Ialah jalur beringas. Bila pada puisi liris, kata-kata sangat terkesan dikontrol ketat, pada puisi Aziz, kata-kata dibiarkan berlarian. Kadang berlompatan, kadang bertubrukan, kadang saling melemahkan. Kata-kata menyembur membentuk medan puitik yang kompleks.

Pilihan puitik Aziz memang terdukung oleh tema yang diusung, yaitu kota, lebih spesifik Kota Surabaya. Penulis membayangkan puisi Aziz seramai pasar Minggu pagi di sepanjang jalan Pahlawan Surabaya. Orang berteriak-teriak berusaha membetot perhatian pembeli, orang lalu lalang berdesakan, kemacetan jalan raya, dan selebihnya transaksi cepat khas perkotaan. Seperti itulah, puisi Aziz memang tampak mengadopsi gaya hidup kota Surabaya yang pengap dan sesak. Sebuah pola estetik transparan seperti orang Surabaya yang berwatak terbuka, kadang murah pisuhan.

Adapun M Fauzi, inilah penyair terkini dari tradisi Madura yang telah melahirkan puluhan penyair berkualitas. Istimewanya, Fauzi secara santai mewarisi tradisi penulisan para pendahulunya sekaligus membaurkan dengan pola estetik lain yang jarang masih jarang tersentuh. Semisal, puisi Fauzi secara tanpa beban memasukkan pemikiran tokoh filsafat semacam Derrida. Tidak hanya pemikiran, istilah-istilah filsafat pun bersliweran pada puisi Fauzi. Meski begitu, Fauzi tetap berpegang pada nilai-nilai agama. Maka, istilah-istilah Arab yang mungkin berasal dari Al Quran turut menggerakkan teks puisi Fauzi.

Hasilnya sangat mendebarkan. Puisi Fauzi seperti mengajak pembacanya mengarungi luas pengetahuan. Pembaca tertantang untuk mencari rujukan dari metafor. Kadang mengarah pada pemikiran filsafat, kada ng agama, kadang benda-benda yang biasa berada di supermarket. Pilihan teknik ini mendekatkan puisi Fauzi kepada puisi Afrizal. Namun, Fauzi memiliki kerterbedaan yang tidak pernah digarap Afrizal, yakni dunia pesantren yang akrab dengan kitab kuning. Terlebih, transendensi masih merupakan motor utama penggerak teks puisi Fauzi. Sedangkan pada puisi Afrizal, motor penggerak teksnya sering berasal dari masalah sosial dan filsafat antroposentrisme berbelah.

Tentang Penyair Perempuan

Tidak banyak penyair perempuan di Jawa Timur. Bahkan ada anggapan, kalaulah ada penyair perempuan, pencapaian estetikanya masih kalah jauh dengan deretan penyair lelaki semacam Mardi Luhung, Indra Tjahyadi, Mashuri, S Yoga, maupun Tjahjono kembar.

Meski begitu, bukan berarti semua penyair perempuan Jawa Timur buruk atau setengah baik. Saya melihat, ada satu penyair perempuan yang pencapaian estetiknya mampu bersaing dengan para penyair lelaki. Bahkan, mutu puisinya bisa disejajarkan dengan karya para penyair nasional. Dia adalah Sirikit Syah.

Sayangnya, proses kreatif penyair yang pernah diundang dalam Mimbar Penyair Abad 21 ini tidak lagi seintens dua puluh tahun silam. Sirikit memang masih kerap mendatangi atau bahkan menciptakan momen kesenian, tapi soal proses kreatif penciptaan puisi, bisa dibilang dia “pensiun dini”.

Sembari berdoa agar Sirikit memulai lagi “militanitas” proses kreatifnya, sebenarnya ada satu penyair lagi perempuan yang layak diperhitungkan. Dia bernama Deny Tri Aryanti. Satu-satunya penyair perempuan dari Jawa Timur yang mampu menembus (mendiang) Jurnal Kalam. Tak hanya itu, hampir semua media massa nasional (asal menyebut saja: Bentara-Kompas, Media Indonesia, Suara Pembaruan, dan Republika) pernah dsinggahi puisi Deny.

Puitika sajian penyair kelahiran Trenggalek 7 April 1980 ini memperlihatkan kecenderungan luar biasa matang. Penguasaan terhadap tubuh sebagai acuan struktur puitik sangat bagus. Lihat puisi berikut: wajahmu mewarnai batu karang yang kering, sedangkan aku masih terus berjalan di atas rambutmu yang memutih, menggulung pori-pori, untuk kujadikan aliran darah dari mulutku.

Tubuh mengalami tiga tataran kenyataan dalam puisi “Malaikat Putih” tersebut. Pertama, tubuh sebagai daging yang bisa diraba, dan merasakan sakit bila dicubit. Kedua, tubuh sebagai simbol untuk membahasakan pikiran. Ketiga, tubuh sebagai persepsi atas kenyataan. Tiga eksplorasi tubuh serentak hadir membentuk identitas teks.

Kelengkapan puisi Deny dalam mengolah tubuh membuat saya seakan dibawa berkeliling dalam aneka macam pariwisata tubuh. Berbagai konteks diciptakan hingga penafsiran atau pengalaman tentang tubuh mudah diikuti. Pengetahuan terbuka dari tubuh. Lompatan-lompatan pikiran pun dapat dipahami secara ketubuhan. Hasilnya, teks puisi dengan struktur ketubuhan.

Mengapa Deny begitu pandai mengolah kata yang memiliki struktur ketubuhan. Bisa jadi, ini terkait dengan dunia kesenian yang dia geluti sehari-hari.

Semenjak kecil, Deny menyukai tari. Dunia panggung tari dikenalnya sejak masih sekolah dasar. Hobi itu berlanjut hingga sekarang. Deny kerap menerima job tari. Bahkan, ia kini sedang menekuni kuliah tari di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta sembari mengajar tari di Sekolah Tinggi Agama Islam Luqman Al Hakim Surabaya.

Artinya, Deny amat mengenal dan menguasai tubuh. Bisa memanajemen tubuh sendiri. Mampu mengejawantahkan makna lewat gerakan-gerakan tubuh.

Pengetahuan tentang tubuh itulah yang lantas dipraktikkan dalam mengolah kata. Hasilnya, puisi yang bersumber dari eksplorasi tubuh. Puisi yang kata-katanya menjelma tarian-tarian.

Lantas, apakah puisi Deny menjadi amat feminin. Saya kurang melihat sisi feminin dalam puisi Deny.

Yang ada, justru sebaliknya. Lihatlah puisi kutipan puisi “Tarian Laut Selatan” berikut: lukisan laut hening, di mana ombakku kehilangan pita suara, namun gemulai tubuhmu masih mengalirkan sungai berenda, merah seperti riak laut yang jauh, menusuk jiwa akut yang takut, oleh cerita dendam, seperti selendangmu yang berlumuran darah.

Satu penggal bait puisi Deny tersebut menampakkan puitika akrobatik. Lewat puisi, saya bisa menyaksikan kata-kata berlompatan membentuk realitas-realitas tanpa terduga, tetapi dapat diterima nalar. Kata-kata dirakit tanpa kepercayaan pada landasan kuat membentuk lompatan. Kata-kata seakan bersijingkat dalam medan makna. Latar belakang dihadirkan sebatas pemenuhan alur teks.

Semula Deny bercerita tentang lukisan laut. Hening. Lantas ia seperti memasuki lukisan. Tenggelam. Menggelibatkan problem kediriannya dengan lukisan. Di mana ombakku kehilangan pita suara. Lukisan tersebut menjadi representasi kedirian Deny.

Setelah ia berhasil merengkuh suasana laut dalam kediriannya, Deny pun memperluas wilayah persoalan. Ia mempertautkan dengan tokoh lain, yakni tokoh engkau. Namun gemulai tubuhmu masih mengalirkan sungai berenda.

Dari permainan alur itulah, tiga dunia berkitaran. Saling silang. Dan hasilnya, muncul sebuah dunia baru yang kompleks. Merah seperti riak laut yang jauh. Oleh cerita dendam.

Selain Deny, ada dua penyair perempuan yang menunjukkan perkembangan menggembirakan. Dia adalah Dian Nita Kurnia dan Benazir Nafilah. Yang pertama ini lulusan Sastra Inggris di Fakultas Ilmu Budaya Unair. Sedangkan satu lagi lulusan STKIP Sumenep. Dia berproses kreatif bareng Ahmad Fauzi dan kawan-kawan di Sanggar Lentera.

Puisi Dian berjudul “Rindu Awang” yang dimuat Surabaya Post, 22 Februari 2011, menunjukkan pencapaian teknik yang matang. Dian memperlihatkan penguasaan tema dan teknik secara seimbang. Sebuah kerinduan yang direpresentasikan dengan melankoli, universal, sekaligus menembus ke ranah jelajah semiotik. Kita bisa memberi tafsir berlainan dari “ruang imajiner” yang dipaparkan Dian. Persoalan cinta pun dimungkinkan untuk digiring ke persoalan-persoalan lain yang lebih luas. Semisal kesendirian, perjuangan menempuh hidup, transendensi, maupun kemanusiaan. Teks hadir dalam kebebasan tafsir.

Sedangkan pada puisi Benazir Nafilah, satu keistimewaan yang patut dicatat adalah perihal ekplorasi puitik. Puisi “Bagian 2” yang dimuat di Majalah Kidung edisi 12 tahun 2008. Lihat saja kutipan berikut: di kolam itu, aku berenang mengitari waktu. waktu yang mengibas-ngibaskan jantungku. cepat dan sesaat. Sungguh ini adalah perpaduan dunia konkret dan dunia abstrak yang jernih. Kata “kolam” yang bersifat benda konkret dipadukan dengan kata “waktu” yang bersifat abstrak. Hasilnya adalah metafor, yakni kata mampu melampaui arti sebenarnya. Kata memasuki medan tafsir yang begitu luas. Kata “kolam” menjadi tidak berhenti pada harafiah kolam. Sedangkan kata “waktu” dijinakkan menjadi citraan yang tertangkap oleh pengindraan. Konsep waktu menjadi akrab karena memperoleh gambaran konkret. Apalagi disusul dengan penjelasan waktu yang mengibas-ngibaskan jantungku. Perihal waktu yang telah dikonkretkan tersebut menyerobot masuk dalam pengalaman verbal manusia. Antara manusia dengan waktu menjadi dua wilayah yang sinergis. Tidak berjarak.

Kutipan puisi dari penyair keturunan Arab tersebut juga memperlihatkan ketajaman perspektif. Artinya, Benazir memberi timbangan penilaian atas obyek puitik. Saat ini, di jagad puisi Indonesia, perspektif yang tajam terhadap obyek puitik adalah suatu hal yang langka. Kesemuanya akibat perkembangan puisi yang banyak mengarah pada bentuk prosais dengan semangat liris.

Di luar pencapaian Benazir Nafilah dan Dian Nita Kurnia, beberapa penyair perempuan Jawa Timur juga terus mengasah metafornya. Ada nama-nama seperti Siti Fatimah (Surabaya), Utari (Banyuwangi), Arina Habaidillah (Lamongan), Azizah (Lamongan), Zahratul Umniyyah (Jember), Nisa Ayu Amalia (Surabaya), Zie Hefni (Malang), dan lain-lain.

Kita bisa menggantungkan harapan besar terhadap penyair Utari, dia kerap melakukan percobaan-percobaan kode bahasa estetik. Mulai dari jelajah tema, tipografi, pembaitan, asonansi, maupun ritme puitk. Suatu saat percobaan eksploratif tersebut tentu menghasilkan bentuk kematangan estetik. Sedangkan pada penyair Siti Fatimah, dengan kapasitas keilmuan dan aktivitas berkeseniannya, dia seharusnya sudah mampu memberi tawaran personalitas estetik.

Kecenderungan menarik muncul dari puisi Azizah dan puisi Nisa Ayu Amalia. Kedua penyair ini menampakkan kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan sosial. Misalnya puisi Azizah berjudul “Gadis Kecil Ampel”. Secara ilustratif, Azizah memaparkan pertemuannya dengan seorang gadis kecil yang berlari-lari dan berlompatan di antara makam-makam di kompleks pekuburan Ampel. Peristiwa itu sedemikian detail dipaparkan. Pembaca seakan diajak menyaksikan sendiri pengalaman puitik penyair. Begitu pula dengan puisi Nisa Ayu yang berjudul “Si-Mbah”. Berlatar belakang tragedi maut pembagian zakat di Pasuruan, Nisa menggambarkan si Mbah yang pulang diantar mobil jenazah. Uniknya, di situ digambarkan, si Mbah sama sekali belum pernah naik mobil. Artinya, si Mbah baru bisa naik mobil ketika sudah meninggal, yakni naik mobil jenazah. Nisa berhasil memadukan peristiwa besar dengan peristiwa kecil. Peristiwa besarnya berupa tragedi di Pasuruan sedangkan peristiwa kecilnya berupa pengalaman pertama naik mobil. Dan lepas dari besar kecilnya peristiwa, kedua gambaran tersebut sama-sama mengenaskan. Tragis.

Kembali pada fakta awal, tidak banyak penyair perempuan di Jawa Timur. Tapi kita tidak perlu terlalu sedih atau pesimistis. Di antara yang tidak banyak itu, kita memiliki beberapa penyair perempuan yang matang dan diharapkan bakal matang. Para penyair perempuan yang terus melakukan perhitungan kode bahasa estetik setajam penyair laki-laki semacam Mardi Luhung, Indra Tjahyadi, Mashuri, S Yoga, maupun Tjahjono kembar.

Puisi dan Kultural Jatim

Berada di antara masyarakat Jawa Timur, seseorang akan merasa berada di rumah sendiri. Setiap orang boleh menjadi dirinya sendiri, diperlegalkan menjalani tradisi independen. Kondisi yang tercipta oleh sebab di Jawa Timur tiada dunia simbolik. Berada di Yogyakarta, seseorang dari luar daerah akan terkondisikan untuk beradaptasi dengan tradisi Jawa, pengaruh keraton Yogyakarta terlalu sulit diabaikan.

Jawa Timur merupakan propinsi terbuka. Inilah sebuah kondisi yang bisa disebut puitik. Wilayah yang representaatif untuk datangnya tradisi luar dan gagasan baru. Tradisi dari luar tersebut, dalam skala minimal, dipakai dan dikembangkan oleh lingkup kecil masyarakat pembawanya.

Pluralitas bahasa dan tematik puisi para penyair Jawa Timur tidak terlepas dari kondisi kerentanan tradisi. Dunia simbolik Jawa Timur adalah sesuuatu yang ada di masa depan. Dunia simbolik yang menunggu untuk dibentuk. Mardi Luhung, penyair dari kota pantai Gresik, dalam puisi seringkali melakukan adopsi kultur pesisiran dengan percampuran kultur asing, bahkan kultur benua berbeda.

Keterbukaan struktur puisi Mardi tercipta oleh pluralitas materialitas puisi. Kenyataan kultural. Ketika Mardi mencoba menggali pesisiran, di Gresik tradisi itu pernah dibentuk oleh Sunan Giri, tradisi Islam, kenyataan yang muncul justru simpang siur tradisi. Gresik bukan lagi kota pesantren. Gresik telah menjadi tempat tinggal “pabrik” dan banyak orang-orang datang untuk berprofesi sebagai buruh. Mau tidak mau, ingin tidak ingin, tradisi pesisiran puisi Mardi Luhung bergeser jauh dari tradisi pesisiran Sunan Giri. Pada puisi berjudul “Ziarah ke Reruntuhan Makammu”, Mardi membuka puisi dengan larik, apa yang bisa aku baca dari reruntuhan makammu, yang kini tinggal lubang kakusnya itu.

Analogi paling tepat dari propinsi Jawa Timur adalah kehidupan seorang remaja. Usia yang belum matang dan psikologi yang tidak utuh. Orang muda cenderung berani melakukan percobaan-percobaan dan berspekulasi untuk menerima tantangan gagasan baru. Tanggung jawab yang ketat, semisal rumah tangga, belum kuat mengikat. Para penyair terkondisikan untuk bereksperimen terhadap puitika-puitika baru. Ikatan tradisi dengan sastra lama, pola rima dan irama tembang, yang sempat menjadi identitas sastra Jawa, menjadi mudah diabaikan. Pemicu tindakan ini, Jawa bukan ada di Jawa Timur, saat ini, Jawa ada di Yogyakarta.

Pergeseran pusat tradisi masyarakat Jawa Timur sangat penting untuk dicatat. Jawa Timur, dahulu, merupakan bagian kerajaan Mataram, pusatnya ada di Yogyakarta. Kini, Jawa Timur merupakan sebuah propinsi baru, pusatnya ada di Surabaya. Yogyakarta = kejawaan. Surabaya = perekonomian. Golongan bermartabat dalam pandangan Jawa adalah pamong praja (baca: pegawai) dan agamawan (baca: kyai). Pedagang bukan orang terpandang. Surabaya, sebagai kota yang sedang bergerak dengan motivasi perekonomian, pedagang sukses mendapat kehormatan besar dari masyarakat.

Orang-orang Jawa Timur sedang berada dalam keakutan pergeseran pusat budaya. Satu sisi menyandang keagungan mitologi kejawaan, di sisi lain menghadapi godaan ekonomi yang glamour. Dua sisi saling bertentangan ini bukannya tidak tampak dalam puisi para penyair Jawa Timur. Dilema kultural justru mendukung nilai estetik. A. Teeuw dalam buku Sastra dan Ilmu Sastra menengarai, “puisi dibentuk oleh serangkaian pertentangan gaya dan tema”. Para penyair Jawa Timur, dengan ketegangan kulturalnya, tidak sulit untuk membangkitkan dan membentuk pertentangan-pertentangan struktur teks. Hanya dengan sedikit sublimasi, para penyair Jawa Timur akan menyadari “saya ada dalam dua kultur saling bergesekan”.

Surabaya sebagai kota perekonomian juga membuat kehidupan menjadi banal. Komunalitas masyarakat Jawa Timur dibentuk oleh sistem yang bersifat non-spiritual. Desakralitas lembaga agama. Spiritualitas tersisa terdapat dalam seorang perseorang. Individu bebas memilih dan menjalani keagamaan tertentu, wujud transendensi, hubungan personal dengan Tuhan.

Berbagai gambaran ketuhanan atau kehidupan religi tersurat dalam puisi penyair Jawa Timur. Kesemuanya memiliki kesamaan menggairahkan, religi diartikulasikan secara material dan personal. Tuhan bukanlah sosok yang patut diperagungkan. Tuhan merupakan sosok yang layak dipertanyakan sekaligus dicari bentuk kelembagaannya, di antara bentuk lembaga-lembaga yang telah ada.

Beni Setia dalam puisi “Pelampung” menuliskan, kalau duka itu bertali dan tuhan boleh diseru sambil bergulingan di pinggir jalan, tentu rasul akan sabar menungguiku mengurai di dipan. Tampak sekali, Beni cari mencari hubungan ketuhanannya di dalam materialitas yang banal. Tuhan digambarkan boleh diseru sambil bergulingan di jalan. Adegan dalam puisi Beni sangat bertolak belakang dengan adegan orang bersembahyang di tempat-tempat ibadah.

Kembali kepada Jawa Timur sebagai kelincahan kaum remaja, di propinsi ini segala ilmu pengetahuan dapat begitu saja masuk sekaligus dapat sedemikian cepat untuk lenyap. Seorang remaja, dengan sedikit sentuhan, bisa tiba-tiba menggemari satu tokoh pengetahuan. Berhari-hari dihantui oleh fokus pengetahuan tersebut. Setiba-tiba pula, sang remaja berpindah ke pengetahuan lain sembari anti pati terhadap ilmu pengetahuan yang lebih dulu digemari. Demikian pula gambaran puisi dari Arief B. Prasetyo dan Mashuri, pada sejumlah puisi kedua penyair tersebut, tokoh ilmu pengetahuan keluar masuk dengan melimpah. Berganti-ganti. Cepat tumbuh. Dan, terlupakan.

Kondisi pengetahuan yang beganti-ganti sangat buruk bagi pertumbuhan sosial kemasyarakatan dalam kenyataan. Kematangan dan perkembangan yang terarah tidak terealisasi, tetapi tidak bagi puisi, masuk dan keluarnya beragam pengetahuan mampu memberi keragaman puitik pada teks. Masing-masing pengetahuan memberi corak yang berbeda. Penyair pun tidak terkungkung oleh satu bentuk puitik. Lebih bagus lagi, penyair tidak terkuasai oleh ideologi. Kondisional ini juga membuka kemungkinan terbalik, penyair memilih berkonsentrasi terhadap satu pengetahuan atau ideologi yang selalu diperjuangkan. Di propinsi masa remaja ini, para penyair berhak dan dapat dimaklumi untuk menghidupi pilihannya; tidak ada patron di Jawa Timur.

Jawa Timur, Surabaya sekalipun, memang bukan pusat pengetahuan. Mobilitas pengetahuan di kota-kota propinsi Jawa Timur masih kalah jauh dibanding kota Bandung, Yogyakarta, apalagi Jakarta. Impor pengetahuan di kota-kota tersebut sedemikian cepat, penelitian atau penerapan pengetahuan baru pun banyak terwujud. Sangat sedikit ilmuwan dari Jawa Timur yang berskala nasional. Penerbit pun sangat sedikit jumlahnya. Ilmu pengetahuan datang ke Jawa Timur dalam jumlah terpotong-potong dan dalam tahapan yang tidak stabil. Jawa Timur menjadi imajinatif karenanya.

Pengetahuan datang ke Jawa Timur tidak tumbuh berkembang sebagai ilmu pengetahuan. Teraplikasikan bukan dalam bentuk karya ilmiah atau pengetahuan tertulis. Pengetahuan masuk dan berkutat-kutat lalu keluar dalam bentuk puisi. Pengetahuan menemukan kelengkapannya melalui keretakan kultural, fantasi, dan imajinasi. Penerima paling menghormati adonan kultur adalah kesenian, utamanya puisi.

Ada hal penting lain yang patut dicatat, pemahaman masyarakat Jawa Timur terhadap alam. Sebagian besar wilayah Jawa Timur dialiri sungai. Dua sungai yang besar adalah Brantas, sepanjang 317 km, dan Bengawan Solo, sepanjang 540 km. Keberadaan sungai-sungai tersebut, selain untuk pengairan dan transportasi antara daerah, didayagunakan untuk bendungan, pembangkit tenaga energi, perikanan, dan wisata. Selain sungai, ada juga rawa-rawa, telaga, waduk, mata air, dan sumur bor. Berbeda dengan masyarakat Bali, alam di Jawa Timur bersifat profan. Alam kurang dikaitkan dengan ritual-ritual mistis.

Perendaman di dalam alam tidak terjadi pada masyarakat Jawa Timur. Alam tidak dipuja-puja atau diagung-agungkan. Keaslian alam bisa sewaktu-watu diubah, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Potensi alam didayagunakan untuk kepentingan manusia. Alam sah untuk digali dan diperjual-belikan. Manusia ada di depan alam. Ini mirip dengan gejala antroposentrisme dalam pengertian Nicholas Alexandrovicth Berdyaev, seorang filsuf peletak dasar filsafat eksistensialisme, “manusia adalah pusat alam semesta”. Manusia menentukan bertahan atau terkurasnya nasib alam. Puisi-puisi penyair Jawa Timur tidak terbebas dari konsepsi antroposentrisme ini.

Alam dalam puisi ditempatkan pada posisi pemyampai gagasan. Identitas alam dicampur baur dengan keseharian aku lirik untuk membentuk bahasa puitik. Deny Tri Aryanti melalui puisi “Wicarang Denta Saisa” menyebutkan, dalam tidurku, kuulur jalan beraspal dari gulungan tikar yang ngilu, tembok-tembok mengkuti jalanku, dari kerikil ke kerikil hingga debu yang menempel pada ranum wajahmu. Aku lirik dalam puisi Deny tampak berkuasa terhadap alam. Tidak saja dalam kesadaran, dalam mimpi, aku lirik masih menjadi tuan bagi alam. Jalan aspal diulur, gulungan tikar diberi sifat ngilu, tembok-tembok diperjalankan, sampai debu yang ditempelkan ke ranum wajah orang lain.

Puisi W. Haryanto pun memiliki posisi dilematis terhadap alam. Puisi tidak hanya meniru, mempercayakan, atau merepresentasikan identitas alam. Puisi memproduksi alam hingga melampaui identitas alam dalam kenyataan. Berikut kutipan dari puisi “Djati Bening, 1270”, kutangkap selarik musik dari burung camar, musik yang menyeberangkan matahari, luka memar telah membelah, jadi bayangan dengan bentuk paruhnya pada bening gelas. Fungsionalitas dan wujud alam dicampur adukkan oleh W. Haryanto. Rakitan-rakitan “diksi alam” yang saling berhubungan secara sintag-paradigmatik membuat “alam” tidak lebih sekadar penanda (konsep) dan bukannya petanda (wujud). Perhatikan rakitan kata; selarik musik, musik dari burung camar, musik yang menyeberangkan matahari, luka memar yang membentuk pada bening gelas. Kesemuanya tidak mungkin dijumpai dalam kenyataan, dan karenanya membentuk kenyataan baru. Sebuah kenyataan yang berpusat pada kondisi keterpecahan identitas manusia. Lebih umum, keterpecahan kultural propinsi Jawa Timur. Propinsi para penyair.

Untuk mengakhiri tulisan ini, saya masukkan beberapa nama penyair yang mewarnai kesusastraan Jawa Timur. Abdul Mukhid – Malang, Achonk El-Yesus – Sumenep, Akhmad Fatoni – Mojokerto, Alang Kh – Lamongan, Alfaizi – Sumenep, Ali Ahmad – Surabaya, Ali Ibnu Anwar – Jember, Amin Bashiri – Sumenep, Andreas Wicaksono – Surabaya.

Arina Habaidillah – Lamongan, As’adi Muhammad – Sumenep, Awie Esto – Sumenep, Azizah – Lamongan, Dadang Ari Murtono – Mojokerto, Dean – Jombang, Dian Sukarno – Jombang, Dwi Hendra Kusuma – Magetan, Eko Darmoko – Surabaya, Ferdi Afrar – Surabaya, Fitrah Anugrah – Surabaya, Gita Pratama – Surabaya, Hamdani Halim – Jember, Haris Del Hakim – Lamongan, Hendry Esto – Sumenep, Icong Dasuki – Sumenep, Imamuddin SA – Lamongan, Isnan Asrori – Bojonegoro, Kadirman – Surabaya, Kusairi Esto – Sumenep, Lukman Hakim Ag – Sumenep.

M Ridwan – Sumenep, Maghfiir El Anwary – Lamongan, Mahendra – Sumenep, Muhajir Arifin – Lamongan, Naqib Najah – Lamongan, Nisa Ayu Amalia – Surabaya, Nurel Javissyarqi – Lamongan, R Agnibaya – Surabaya, Rahim Damar Asmoro – Mojokerto, Rio Febriannur – Surabaya, Risang – Surabaya, Samsudin Adlawi – Banyuwangi, Siti Fatimah – Surabaya, Suryadi Kusniawan – Gresik, Suyitno Ethexs – Mojokerto, Utari – Banyuwangi, Widi Asy’ari – Jombang, Zahratul Umniyyah – Jember, Zaki Bajang – Jember.

A Muttaqin – Gresik, A.Junianto – Surabaya, Af Tuasikal – Mojokerto, Akhudiat – Surabaya, Alek Subairi – Surabaya, Aming Aminoedhin – Mojokerto, Anas Yusuf – Madiun, Bambang Kempling – Lamongan, Benazir Nafilah – Sumenep, Beni Setia – Ngawi, D Zawai Imron – Sumenep, Deny Tri Aryanti – Surabaya, Dheny Jatmiko – Tulungagung, Dian Nita Kurnia – Surabaya, Djoko Prakosa – Surabaya.

Dody Kristianto – Surabaya, Eny Rose – Lamongan, F Aziz Manna – Sidoarjo, Faizi – Sumenep, Herry Lamongan – Lamongan, Hidayat Raharja – Sumenep, Indra Tjahyadi – Surabaya, Javed Paul Syatha – Lamongan, Joko Susilo – Trenggalek, Kukuh Yudha K – Surabaya, L Machali – Lamongan, M Fauzi – Sumenep, Mardi Luhung – Gresik, Mashuri – Lamongan, Muhamad Aris – Banyuwangi, Panji Kuncoro Hadi – Madiun, Pringgo Hr – Lamongan, Rusdi Zaki – Surabaya, Kuspriyanto Namma – Ngawi.

Sumirah Butet – Surabaya, Nanda Alfiya Rahmah – Surabaya, S Yoga – Situbondo, Sabrot D Malioboro – Surabaya, Saiful Hajar – Surabaya, Syaf Anton Wr – Sumenep, Tengsoe Tjahjono – Malang, Timur Budi Raja – Bangkalan, Tjahjono Widarmanto – Ngawi, Tjahjono Widijanto – Ngawi, Umar Fauzi – Sampang, W Haryanto – Blitar, Wildansyah Bastomi – Surabaya, Yusri Fajar – Malang, dan lain sebagainya.

____ Teater Gapus, 2002-2014

*) Biodata: Ribut Wijoto, lahir di Tulungagung, 23 Maret 1974. Wartawan media online beritajatim.com dan penjual buku bekas. Puisinya masuk dalam antologi Upacara Menjadi Tanah (Gapus, 1996), Adakah Hujan Lewat di Situ (Gapus, 1997), Antologi Penyair Jawa Timur (Festival Seni Surabaya, 2004), dan What’s Poetry (Forum Penyair Internasional-Indonesia, 2012). Tahun 2001, esai sastranya dipilih sebagai juara 1 dan juara harapan 1 dalam sayembara esai sastra tingkat nasional oleh Departemen Pendidikan Nasional (Pusat Bahasa). Bukunya yang telah terbit adalah Pengantar Menuju Sastra Bermanfaat (Gapus Press, 2002) dan Kondisi Postmodern Kesusastraan Indonesia (Bayu Media & DK-Jatim, 2010).

Pernah mengeditori buku puisi Ayang-Ayang (Gapus Press, 2003), Ijinkan Aku Mencintaimu (Gapus Press, 2006), Menguak Tanah Kering (Kumpulan puisi bersama Teater Gapus, 2001), Permohonan Hijau, Antologi Penyair Jawa Timur (Festival Seni Surabaya, 2003), Rumah Pasir (Festival Seni Surabaya, 2008), buku puisi Pertemuan Penyair Jawa Timur (Disbudpar Jatim, 2009), Wong Kampung (Festival Seni Surabaya, 2010), mengeditori belasan buku yang diterbitkan ‘Halte Sastra’ (DKS, 2009-2015), dan mengeditori buku puisi Tenung Tujulayar (DK Jatim, 2014). Telepon: 083831781993 Email: ributwijoto@yahoo.com

https://www.kompasiana.com/ribut_wijoto/561a799878937319128e6c84/kepenyairan-jatim-selayang-pandang?page=all

Leave a Reply

Bahasa »