Agusri Junaidi
Nyawa-nyawa hanya statistik.
Disebutkan kemudian dicatat pada buku yang sampulnya memerah, bukan oleh darah.
Nyawa yang pergi itu kemudian menjadi baris tulisan di media massa.
Tetap terbaca sebagai angka.
Jumlahnya tak begitu besar, untuk bangsa dengan 270 juta jiwa.
Selesai membaca tulisan di facebook Arman, teman SD-nya di Kampung Manggis, Duguk manggut-manggut sendiri. Seolah terilhami, ia bagai mendapat pencerahan. Seperti Archimedes yang tiba-tiba berteriak eureka.
Ia pasang posisi tepat di muka Taun. Mereka duduk di bawah pohon Belimbing tua yang berdiri di depan kedai kopi milik Taun. Sudah menjadi kebiasaan Duguk untuk beristirahat, ketika Azan Zuhur berbunyi. Ia akan mematikan aplikasi Ojol-nya, dan terkadang tidur-tiduran sampai benar-benar tertidur di sana, ditiup angin sepoi-sepoi.
“Mungkin akan lebih mudah menganggap corona ini sebagai siklus alami mengurangi jumlah penduduk yang sudah membebani anggaran negara. Setidaknya, ini tidak akan menimbulkan trauma mendalam, sebab para korban itu tak mati diterkam senjata saudaranya sendiri, seperti tragedi politik pada umumnya,” ujar Duguk memancing percakapan.
Seraya bicara, ia sedikit menggeser pantatnya, pindah duduk menghindari cahaya matahari jam 12 siang yang mulai menggigit. Tampaknya, ia ingin melepas unek-uneknya. Ia nyaris pasrah dengan kondisi belakangan ini. Beberapa hari lalu, malah berniat tak lagi baca media sosial dan nonton TV, khawatir psikosomatiknya kumat.
Semua berita tentang corona membuat napasnya terkadang sesak. Niatnya itu dibatalkannya, sebab ia tak mengerti caranya. Ia sudah menghitung, jika saja sampai kumat, ia harus datang konsultasi ke dokter penyakit jiwa. Bukankah beresiko untuk antri di rumah sakit dalam situasi akhir-akhir ini. Belum lagi harus antri BPJS. Takutnya, ada virus berbahaya itu yang nempel di satu tempat, dan tak sengaja terpegang olehnya.
Lagi pula dokter penyakit jiwa itu biasanya akan menulis resep aprazolam atau esilgan, dan ini pengeluaran yang berat dalam situasi sekarang, lantaran kedua jenis obat itu tak tercover BPJS.
***
Taun masih menyimak, ia belum ingin berkomentar. Duguk memang pandai buat penasaran. Ia pencerita handal. Ia akan bercerita, kemudian berhenti pada titik-titik tertentu, untuk kemudian membuat pendengar menunggu. Bakatnya ini, sudah lama ia sadari. Dulu waktu SMP, guru Bahasa Inggrisnya bernama Sukamto pernah memujinya, ketika menceritakan kembali dengan bahasa sendiri apa yang sudah ia terjemahkan dari buku. “Kamu berbakat jadi pencerita,” kata-kata Guru Sukamto itu, masih terngiang di telinganya sampai hari ini.
Duguk, sebelum nasibnya terhempas dalam kejelataan masyarakat tingkat bawah di Indonesia ini, sesungguhnya punya kebanggaan akan masa lalunya.
Sebagai penyiar di tahun 90-an, ia dikenal luas kalangan remaja. Penggemarnya yang sebagian besar anak-anak SMA, akan pasang kuping jika ia on air. Pada jam malam sebelum tidur itu, ia akan membuai mereka dengan suaranya yang memikat. Lalu anak-anak remaja saling bertukar pesan atau menelepon.
Dengan suara yang dibuat centil dan manja, beberapa remaja putri akan menyapa teman-temannya, dan tentu sambil request lagu kesukaan setelahnya.
Ia begitu menikmati hidupnya sebagai penyiar di Radio Suara Basah. Sebagai selebritis tingkat Bandar Lampung, siapa tak kenal dengan Gege, nama udaranya waktu itu. Andai ia tak sedekil ini, tentu masih banyak yang memanggilnya dengan nama tersebut. Tapi ia sudah banyak berubah, dan sebagian pengagumnya dulu jelas pangling, dan tak akan mengenalnya lagi.
***
“Lagi pula, semenjak orde baru tumbang tidak ada lagi pengendalian jumlah penduduk, sehingga orang bikin anak semaunya. Apalagi orang miskin, kadang mau KB saja tak punya uang, jadi ya sudahlah nikmati saja, anggaplah ini pengurangan warga negara,” Duguk kembali menyambung ucapannya.
Mereka masih melanjutkan perbincangan tentang corona. Fenomena umum sekarang, di mana-mana orang membicarakan soal ini. Masyarakat sudah dihantui ketakutan begitu mendalam, dan sungguh ini sudah sampai pada tingkat meresahkan.
“Bagaimana kalau korbannya dirimu dan keluargamu, ayo ,” Taun bertanya.
“Nah itulah bodohnya dirimu, kau tak lihat dan pantau perkembangan, otakmu tak dipakai. Mana ada orang miskin seperti kita jadi korban. Kau bisa lihat, mereka yang terkena kebanyakan orang kaya yang biasa di ruang ber-AC, ikut seminar-seminar, kumpul di pesta mewah. Pada orang miskin seperti kita, virus corona tak perduli. Kau lihat saja sendiri faktanya seperti itu, bisa kau survey,” Duguk makin semangat.
Taun dalam hatinya mulai membenarkan Duguk, ia tak menyangka wawasan Si Duguk lumayan juga soal Covid 19. Ia mengurungkan niat untuk segera menyangkal.
“Itulah kenapa negara ini gupek gak karuan, karena korbannya orang kaya yang bisa apa saja. Jika virus ini hanya ngembat orang miskin seperti kita, yakinlah negara tak akan begitu perduli,” tambah Duguk pesimis.
“Hati-hati kau bicara begitu, bisa didengar aparat kan dapat masalah,” Taun mengingatkan sambil tengok kiri-kanan.
“Lah kan benar to, aku bicara apa adanya, mereka gak mau kesenangan dan kenikmatan mereka terganggu. Mereka suka pamer kekayaan. Dalam situasi sekarang, jadi tak bisa apa-apa. Mau ke mall sepi. Pengen makan enak di restoran pada tutup. Ingin kumpul-kumpul juga dibatasi. Ke panti pijit atau spa juga tutup,” Duguk semakin ngotot.
“Ah kau terlalu benci dengan orang kaya,” Taun mulai kesal.
Taun jadi ingat, dulu Duguk sebelum ia setengah waras pernah ikut belajar ilmu komunis. Ada yang bilang, salah satu sebab ia agak oleng, karena tak mampu mencerna teori marxime. Itu sudah lama sekali, Taun tak menyangka kebencian disebabkan kesenjangan sosial itu, masih tersisa dibenak Duguk.
“Kau salah Taun. Aku tak membenci orang kaya, apalagi kekayaannya untuk nolong orang lain, dapatnya juga dari cara halal. Yang sebaliknya yang aku benci, sudah korupsi, kikir lagi,” ujar Duguk sambil menjangkau rokok Gudang Garam Hijau yang ia bakar setelah menurunkan maskernya yang menutupi mulut.
Mereka hanya berdua saja di warung kopi milik Taun ini. Jalanan sepi, semenjak PPSB diberlakukan.
Akhir-akhir ini sungguh kewalahan bagi Taun mencukupi biaya hidup anak istrinya. Biasanya rezekinya masih cukup untuk sekedar makan sekeluarga.
Tapi sejak corona bedebah datang, ia harus lebih banting tulang, kadang ikut-ikutan profesi Duguk jadi ojek online. Celakanya, sebab perputaran ekonomi melambat, makin susah juga mengumpulkan pendapatan. Kalau biasanya sehari diwaktu normal bisa 25 orang, sekarang dapat 10 penumpang saja sudah bagus.
“Tapi aku pikir kau ada benarnya, kayaknya kita terlalu berlebihan menghadapi virus laknat ini,” gantian Si Taun bicara.
“Kok bisa?” Duguk kaget.
“Ya, sampai hari ini korban belum mencapai 500 orang, tapi orang sudah pada ketakutan, seperti akan mati besok saja. Padahal kan tuhan yang menentukan ajal kita. Matinya kapan dan sebab apa, tuhanlah yang menentukan. Dulu petugas pemilu juga pada mati tak seheboh ini,” ujar Taun dengan tampang kesal.
“Ya beda dong Taun. Ini pandemi sifatnya sudah mendunia. Di Italia, Amerika, dan Cina itu tempat asalnya sudah banyak yang jatuh korban. Tambah lagi dibesarkan dengan media-media yang memberitakan virus ini tiap jam tiap menit. Apa gak stress mau ke mana-mana takut. Jadi, mereka pada di rumah. Masalahnya, mereka enak punya simpanan duit cukup, lah kita kalau gak kerja sehari terancam keluarga gak makan,” Duguk meradang.
“Ya berdoa saja pemerintah punya perhatian pada orang seperti kita ini,” jawab Taun berharap, sambil melirik jam tangannya. Tak ada tanda-tanda yang akan datang minum kopi di kedainya ini. Hanya di kejauhan, ia melihat serombongan orang sedang bergerak di jalanan. Paling juga ada yang bagi-bagi masker dan hand sanitizer, batin Taun, saat ini sedang ramai seperti itu.
“Oh ya, kau dengar tidak soal warga yang menolak wilayahnya jadi lokasi penguburan korban corona,” Taun menengahkan topik baru.
“Iyalah, malah ada yang ditolak itu tenaga medis yang jadi korban, sebab merawat pasien corona. Ada-ada saja. Sekarang ini nurani orang sudah mati, solidaritas sosial makin terkikis,” ujar Duguk sambil geleng-geleng kepala.
“Ya, mereka ketakutan akan menular pada keluarganya,” timpal Taun.
“Padahal kan tak mungkin, sudah dibungkus plastik, dimasukkan juga ke peti, sudah ada standarnya,” sergah Duguk terbawa emosi.
Duguk walau ODS (Orang Dengan Schizoprenia) punya jiwa kemanusiaan yang tinggi, untuk hal seperti ini, nuraninya selalu terpanggil. Maka itu, ia mengacungi jempol dengan masyarakat di Sekincau Lampung Barat yang menerima korban corona dan memakamkannya dengan guyup, sebagaimana ia baca di media online.
Di beberapa wilayah penolakan ini kadang menyedihkan. Untungnya akhir-akhir ini aparat mulai tegas terhadap para provokator. Ada seorang ketua RT yang akhirnya dicokok polisi, karena memprovokasi warganya untuk menolak pemakaman korban covid 19 di kampung mereka.
***
Kemudian keduanya sama-sama diam hanyut dalam jalan pikiran masing-masing. Membayang betapa sulitnya kehidupan ke depan nantinya, jika pandemi tak cepat teratasi. Tak hanya Taun, Duguk pun, walau berstatus bujangan tua, punya tanggungjawab menafkahi ibunya dan ponakannya yang masih kecil. Ponakannya itu dititipkan oleh kakak perempuannya yang sudah janda, yang merantau jadi TKI ke Malaysia.
Mereka juga membayangkan bagaimana suasana bulan Ramadhan akan datang tak lama lagi, jika wabah ini masih menjangkiti. Saat ini saja, banyak masjid sudah sepi aktivitas. Mereka merasakan dunia sedang berubah ke arah yang sulit dipahami.
***
“Selamat siang Bapak-bapak,” ujar seorang pria. Ia dan beberapa pengikutnya, menangkupkan tangan di dada dengan jarak sekitar 3 meter dari Duguk dan Taun.
“Aih Pak Lurah,” keduanya sama-sama kaget dan nyaris terlonjak dari tempat duduk. Tak biasanya orang pertama di kelurahan ini berkeliaran seperti ini. Pastilah ada sangkut pautnya dengan virus corona, kedua orang itu membatin dalam hati.
Lurah Arifin sudah beberapa tahun ini menjabat di kelurahan Labora. Ia dikenal dekat dengan Walikota, sehingga dalam usia yang masih muda, Walikota menugaskannya menjadi lurah. Pengalamannya sebagai aktivis mahasiswa dimanfaatkan oleh Walikota untuk menggalang dukungan. Walikota yang sudah dua periode ini, berencana memajukan istrinya dalam pemilihan kepala daerah, yang ternyata ditunda sebab wabah corona.
Setelah sedikit basa-basi, Lurah Arifin menyampaikan maksud kedatangannya. Ia menghimbau agar sementara waktu, Taun menutup warung kopinya, agar tak menjadi tempat berkumpul, dan main kartu, sehubungan dengan pencegahan penyebaran corona. Ia juga berpesan agar Taun dan Duguk menjaga keluarga dari ancaman virus corona dengan social distancing, alias diam di rumah saja.
“Inilah waktunya kita lebih dekat pada keluarga,” pesan Lurah Arifin dengan bijaksana.
Panjang lebar Lurah Arifin bicara nyaris hanya keluar-masuk di telinga Taun. Ia membayangkan keadaan makin sulit untuk mencari nafkah. Lebaran tak lama lagi, anak-anak yang masuk SMP dan SMA, tagihan kredit nunggak. Gusti Allah, ia membatin dalam hati, akan kemana akhir semua ini?
Puas bicara dan merasa pesannya sudah dipahami, Lurah Arifin memberi isyarat dengan mata pada stafnya yang bergegas mengambil dua paket sembako bagi Duguk dan Taun. Setelah itu, Lurah Arifin meminta anak buahnya mengambil photo, ketika ia menyerahkan bingkisan pada keduanya. Sang anak buah beraksi mengambil photo terbaik.
Duguk dan Taun melengos malu. Hati kecil mereka menolak menjadi sebagai kaum miskin papa yang mengharapkan belas kasihan orang lain. Dalam hatinya, Taun begitu kesal, kenapa seolah semua orang membantu dengan pamrih. Duguk bahkan hampir saja menolak bingkisan itu, jika tak diberi kode kedipan mata oleh Taun agar diam.
Lurah Arifin tak merasa, menurutnya, semua biasa saja. Ia tertawa kecil senang, karena sudah berbuat kebaikan. Selain itu, sudah mendapat dokumentasi sebagai bahan melapor ke donatur dan atasan.
Setelah memberikan salam dengan dua tangan tertangkup di dada dalam jarak aman, mereka meninggalkan Duguk dan Taun yang masih terdiam. Ngilu.
Jatimulyo, 14 April 2020.