Lebaran: Kota dan Puisi

Bandung Mawardi *
Suara Merdeka 10 Juni 2018

Lebaran berarti orang-orang merasa menang, girang, dan baru. Segala arti lebaran terbentuk dari pemahaman ajaran agama sampai ke perkara dunia mutakhir. Lebaran itu suci dalam pengertian agama. Lebaran pun setumpuk lara saat kita mengikuti segala berita dan cerita, dari mudik sampai kematian.

Di Indonesia, lebaran menjadi selebrasi kolosal. Jutaan orang bergerak pulang kampung. Ide, impian, imajinasi, duit, mobil, gawai, pakaian, makanan, dan benda-benda bergerak ke pelbagai desa dan kota.

Kita ingin mengartikan lebaran dengan membaca buku kumpulan puisi Penyair Revolusioner (2017) Deddy Arsya. Dalam puisi “Kereta Lebaran” gubahan dia, kita tak sempat girang mengalami detik-detik menjelang lebaran. Puisi itu kenekatan, kemarahan, dan kematian.

Kita bertemu tragis: Dari atas kereta yang lewat malam/seorang pemudik yang penat berdesak-desakkan/ memutuskan/ lompat ke atap rumah, melesat, bagai batu dilontarkan. Adegan menguak gumpalan pengharapan dihajar frustrasi dan putus asa. Mudik bukan kepulangan ke kampung, melainkan pulang ke “sana”.

Pemudik itu malah memicu masalah baru bagi penghuni rumah di pinggir rel. Kematian tak pernah mudah. Deddy Arsya menulis: orangorang dalam rumah terpekik, ‘sialan!’, ‘anjing hutan!’/ mereka mengira sedang terjadi kerusuhan antarsuporter/ sepakbola/ mereka mulai menghitung- hitung berapa nilai kerugian/ harus mengganti plafon dan gentenggenteng yang rusak. Adegan keterlaluan atas dugaan terjadi kerusuhan. Orang-orang di tepi jalur rel masih beranggapan sepakbola belum libur menjelang lebaran.

Cerita mudik naik kereta api dan kematian tak lagi kejutan. Kita sering mencatat kecelakaan atau kematian memang ada dalam arus mudik di daratan menggunakan sepeda motor, mobil, bus, dan kereta api. Di jalur laut dan udara, petaka pun mungkin terjadi. Mudik berkereta api memang khas, berkait dengan harga tiket, jumlah penumpang, dan risiko bagi pemudik.

Puisi “Kereta Lebaran” mirip pengisahan apes dan tragis, meski keterlaluan. Di akhir puisi, kita diharap memaklumi: sementara ‘si batu’yang terlontar itu berguling-guling ke tepi/ rel/ persis batu, beradu dengan batu lain yang lebih besar/ nun di kampung, keluarga yang mati berkata:/ Dia wafat dalam berjihad. Ungkapan berjihad mengesankan ada kemauan besar untuk pulang dan sadar risiko kematian. Cerita mudik bakal ambigu, berbeda alur dan konklusi.

Orang mudik lazim menjelaskan usaha meninggalkan kota sejenak, pulang ke kampung. Kota terpahamkan sebagai ruang penghidupan. Di kota, orang-orang membuat makna bekerja, duit, makanan, sengsara, sukses, sepi, rindu, marah, kekerasan, bahasa, dan sendu. Kota selalu sulit terbakukan dalam sekalimat pengertian.

Membujuk Pembaca

Deddy Arsya dalam puisi “Membangun Kota”, membujuk pembaca memikirkan lagi kesejarahan kotakota. Di Indonesia, membentuk dan membesarkan kota sering bermula dari omongan hampir bualan politis dari penguasa atau pejabat berdalih kemajuan ketimbang pembuatan seribu duka.

Puisi itu mengingatkan kita: Memang ada kota yang didirikan dari gerutu/ dan derap omong kosong tak sudah-sudah! Sangkalan keras atas tata kebijakan di kota-kota. Para penguasa memiliki kata-kata untuk dituliskan dalam dokumen politik dan hukum: melaksanakan kerja membentuk dan mengelola kota.

Barangkali segala kata itu omong kosong, tapi selalu teranggap kebijakan berpatokan konstitusi berdampak politik dan bisnis. Sindiran agak mengena bagi sekian kebijakan memicu polemik di Indonesia mengenai infrastruktur: Lalu mereka berkata: kita mesti atur itu siasat,/ masa depan hanya dapat diraih dengan gelegak hasrat/harus kau pilih jembatan atau kapal pengangkut.

Agenda menghubungkan kota- kota berkait dengan selat memicu persaingan kebijakan dan pemunculan bualan peningkatan kesejahteraan, pertumbuhan ekonomi, dan pemajuan sosial kultural. Polemik memerlukan slogan dan duit itu diejek dalam larik terakhir: Memang ada kota yang dibangun dari lentingan kata-kata?

Kata-kata bagi pejabat dan pengusaha berbeda dari ulah estetika para pujangga. Segala tragisme dan ingatan kesejarahan kota-kota di Indonesia disambungkan ke cara para penggubah puisi menanggapi atau menyeru. Pada abad XXI, katakata persembahan dari pujangga mungkin tak terbaca atau terdengar saat keramaian tak jua reda.

Ambisi mengubah nasib dan pengisahan Indonesia sering bermunculan dalam puisi, meski naif dan bergerak menjauh di persimpangan. Deddy dalam puisi “Penyair Revolusioner” justru ingin menilik kontradiksi pembuat puisi pada zaman tak puitis: Kau berpuisi di zaman yang naif/ dengan puisi-puisi yang juga naif// kau menuduhku telah menjadi fanatik/ tapi aku benar-benar tidak menemukan/ kebenaran apa pun dalam puisipuisimu.

Di Indonesia, pelbagai selebrasi agama atau nasional dan rentetan cerita buruk mengenai kota sulit ditanggulangi dengan puisi. Para penggubah puisi telah berlagak memberi kontribusi dan makna, meski tumpukan sengsara dan kematian belum sirna. Puisi mungkin tak harus ada.

____________
*) Bandung Mawardi, kuncen Bilik Literasi.
https://www.suaramerdeka.com/smcetak/baca/94197/lebaran-kota-dan-puisi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *