Kerusakan, kehancuran, dan akhir dunia telah diramalkan secara meyakinkan “akan terjadi sebentar lagi”. Ramalan yang meyakinkan itu telah diucapkan para pendahulu ratusan tahun yang lampau. Sampai bergenerasi-generasi kemudian, melewati perang dan wabah penyakit, hingga hari ini, dunia masih belum berakhir-berakhir juga. Tapi orang-orang masih percaya, akhir dunia tetap “akan terjadi sebentar lagi”. Begitu pula kesesatan, kekejian, pemaksaan, ancaman keingkaran, dan penipuan berskala global yang secara licik, diam-diam, atau jelas-jelas dilakukan makhluk bernama dajjal, pun sudah dikatakan orang ratusan tahun yang silam. Hingga hari ini, toh tak pernah ada makhluk ganjil yang konon bermata satu itu, yang mengobrak-abrik dunia seisinya. Tapi sebagian orang, diam-diam waspada pada makhluk (entah binatang, iblis, atau jerangkong) yang disebut dajjal. Betapa sangat digdaya dajjal itu, bisa mengalahkan manusia, sehingga manusia harus waspada. Kalau melihat simbol atau entah apa bermata satu, wah jangan-jangan ini dajjal. Kayak melihat orang di dekat kita yang sedikit-sedikit batuk, wah jangan-jangan kena corona. Itu hanya terjadi pada tahun ini, yang telah disahkan sebagai pandemi global dalam beberapa bulan ke depan. Begitu pula perihal akan turunnya makhluk yang disebut “ratu adil” atau Imam Mahdi, sudah disampaikan ratusan tahun yang lampau. Sampai hari ini, masih ada saja sejumlah orang menanti kedatangan dua pahlawan berjubah penyelamat semesta itu dengan penuh keyakinan, sampai entah sudah berapa kali banjir menghantam perumahan orang kecil, tambang emas meracuni orang tak berdosa dan memperkaya para bajingan.
Ketakutan dan kepanikan mewabah, menular begitu cepat dan bersama-sama. Diselenggarakan atasnama iman, undang-undang, dan keamanan. Kepanikan itu sesungguhnya yang mengambil-alih kebebasan mengolah kehidupan. Orang sangat tegang, menerapkan kewaspadaan yang melampaui batas. Orang membuat kegaduhan atasnama keterhimpitan keadaan. Orang-orang membawa pacul, linggis, pistol, dan senjata-senjata berat hanya untuk membunuh seekor nyamuk.
Itulah kiranya lelucon. Lelucon bagi manusia itu sendiri. Manusia memang gemar menggoda atau ngerjain dirinya sendiri. Lantaran hanya manusialah yang bisa dikerjain manusia. Kalau manusia ngerjain kuda, sesungguhnya ia telah berbuat bagi dirinya sendiri, cuma dalam hal ini, obyeknya kuda. Dalam biografi yang disusun Diogenes Laertius tentang Chrisyppus, dikisahkan bahwa filsuf agung yang religius itu mengalami kematian yang aneh dan lucu. Ternyata memang ada kematian yang aneh, lucu, dan menghadiahi tawa bagi yang hidup, bukan tangis kesedihan dan kehilangan. Chrisyppus mati dalam keadaan tertawa terpingkal-pingkal setelah ia tak sengaja memberi keledainya sebotol anggur. Melihat keledainya teler, Chrisyppus ketawa terbahak-bahak terguling-guling tak kunjung henti, ia kesulitan bernafas, lalu kena serangan jantung seketika. Ia ngerjain dirinya sendiri, keledainya jadi korban. Setelah Chrisyppus mati, keledainya tak pernah tahu kenapa orang yang tertawa di hadapannya itu mati, padahal keledai tersebut sedang asik minum anggur. Maka orang lain pun tertawa lagi.
Barangkali memang dunia ini kering dan kaku, kesepian dan muram karena tak ada yang menggoda, tatkala ia kehilangan lelucon yang membebaskan, dan mencerdaskan. Tapi sangat jelas-jelas keliru kalau mencerdaskan bangsa dengan lelucon. Ada lelucon yang menertawakan ketololan. Chrisyppus tertawa melihat keledai yang disebut manusia sebagai makhluk paling tolol itu bisa mabuk setelah minum anggur, padahal sesungguhnya Chrisyppus menemukan gambaran dirinya sendiri pada keledainya tersebut. Berikutnya, sejumlah petugas medis keliling kota kecil yang tak pernah dilakukan pemeriksaan kesehatan terkait wabah, membawa keranda mencari orang yang mungkin mati kena wabah. Kawan saya tertawa. Orang yang sakit parah, bahkan tahu kalau sakitnya tak mungkin disembuhkan, tetap mencari kesembuhan supaya bisa terus hidup. Orang yang masih hidup malah dibawakan keranda. Apa namanya kalau bukan tolol? Katanya. Kawan saya itu tertawa hampir mati. Dan saya diam saja, karena selera humor saya sedang sakit terkena virus.
Kenapa orang tidak lebih merawat harapan? Tanya kawan saya sambil merokok. Dia tidak puasa. Dan memang jarang puasa. Sekecil apa pun harapan, ia tetap ada, dan kau punya kemungkinan yang teramat luas untuk membesarkan dan mewujudkan harapan itu. Tuturnya. Di tengah ketakutan, kekhawatiran, bahkan kepanikan yang terus menerus dikampanyekan media nyaris setiap detik agar tercipta kelesuan ekonomi, harapan itu sangat berharga. Siapa yang berani, dialah yang berhak berharap. Keberanian bukan berarti yang membabibuta, sebab ia dibangun dari dalam ketakutan dan ketakberdayaan, bukan kekuatan dan kepongahan. Kadangkala, kata kawan saya sambil minum es degan siang hari bulan puasa, kenekatan itu juga penting guna menguji nyali kita menghadapi kenyataan, ujarnya. Saya diam saja. Dia santai saja minum es degan di saat orang sedang puasa, sembari bibirnya tersenyum sinis seolah menantang keadaan hidupnya sendiri yang selalu menghadapi kesulitan demi kesulitan di jalanan sehari-hari.
Pada suatu keadaan, rupa-rupanya sekumpulan orang tak kuasa mengubah kekacauan, menghentikan perang, mengatasi wabah penyakit, mematahkan kekejaman, atau memecundangi penghisapan. Dalam kesulitan yang paling tak mungkin, dalam derita dan keterhimpitan yang paling tak punya jalan keluar, dan keluh kesah yang mengganas, tak ada alasan tetap diam menyerah saja. “Bicaralah duhai permata,” kata lagu Iwan Fals merayu kekasihnya yang sedang membisu. Lantaran keadaan yang diam saja justru amat berpeluang merampas manusia menjadi benda-benda, jadi obyek dan kerumunan. Namun percakapan tetap terjadi. Dan barangkali memang harus terjadi. Semustahil apa pun itu. Dalam Beckett, kata-kata—kemudian serangkaian kalimat, yang digambarkan percakapan (dengan pembicara), sepenuhnya samar, remang, kelam. Manusia menanti Godot. Tiap pembicaraan yang terjadi tak membentuk kesepakatan. Komunikasi yang absurd—bagi Habermas, yang tak melahirkan makna dan konsensus. Tatkala sadar siuman, orang bertanya; buat apa semua ini?
Bukankah harap adalah jawab?
Kenyataan tak pernah beres. Barangkali karena manusia—yang konon makhluk sempurna, kerapkali terpesona realitas melalui ketergantungannya pada indra. Padahal indra seringkali dusta. Meski tetap dengan indra itu, ia menyebut dirinya manusia. Heidegger melihat kebenaran tak dapat direduksi hanya sebatas diketahui. Kemudian kebenaran dimiskinkan pada yang belaka fakta. Tapi kebenaran, melainkan juga keterbukaan realitas itu sendiri. Tanpa begitu, orang membatasi diri dalam memahami realitas dari segala kemampuan kemanusiaannya. Tubuh perempuan dengan segala kemolekannya adalah realitas. Ia membuka peluang keanekaragaman tafsir. Jika pandangan seksualitas kelamin belaka, realitas perempuan tersebut telah disempitkan, ditindas, dikunci, terjadi di situ kesewenang-wenangan.
Apa yang berulang-ulang seringkali dianggap biasa-biasa saja, meskipun itu berat. Lantaran orang sudah terbiasa. Sesuatu yang baru, asing, dan belum dikenali diperlakukan luar biasa, meski sesungguhnya itu biasa-biasa saja. Lantaran orang heran, panik, dan tertipu kepanikannya sendiri pada obyek yang baru yang tertangkap secara singkat oleh indranya. Ia ngerjain dirinya sendiri. Celakanya, orang lain di sekitarnya pun kena. Dan di sana, orang-orang lagi-lagi tertawa terpingkal-pingkal melihat seekor monyet mengendarai sepeda motor kecil yang dimainkan seorang pawang. Orang mengira, monyet itu pintar. Orang tak sadar, sang pawanglah yang sesungguhnya sangat pintar. Bukan monyet. Sekali lagi, orang tertipu sudah. Tapi justru orang menyukainya.
Tembokrejo, 2020
_____________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.