Iwan Simatupang
Tokoh yang bagaimana saja bisa tampil dalam roman. Terserah teknik pengarang, mana didulukan. Tokoh dulu, baru menyusul cerita bersama persoalan gaya. Atau, sebaliknya.
Seorang Giraudoux memilih yang sebaliknya. Cari dulu gayanya, idenya menyusul kemudian, kata dia. Dengan ide antara lain maksudnya tokohnya, tokoh-tokohnya. Sedangkan Proust bertahun-tahun mencari tokohnya dulu. Sekali ketemu, tokohnya itu (walau ini dirinya sendiri) tak mudah lagi meninggalkannya. Hasilnya, A la Recherche du Temps Perdu, berjilid-jilid. Dan berapa banyak pengarang atau calon pengarang lainnya, yang keburu mati tanpa kunjung menemu tokohnya, gayanya?
Siapa yang berkata soal tokoh dan gaya ini, dalam hubungan tata letak (volgorde) dan hierarkinya adalah soal remeh saja, soal formal saja, pada hakikatnya mengatakan sesuatu yang revolusioner dan menjanjikan suatu persoalan prinsipil baru kedalam kesusastraan. Tapi apakah revolusi itu ? Mana novel, atau sebutlah roman, yang telah tercipta tanpa mengalami urgensi persoalan tadi?
Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam roman-roman terakhir Prancis, belum meyakinkan kita bahwa revolusi itu telah mulai. Memang, tokoh-tokoh itu harus kita tarik garis-garis sosok tubuhnya seusai kita membaca dan mencamkan roman-roman itu. Selama pembacaan tokoh-tokoh tersebut cerai-berai, dicairkan dan disebarkan dalam sekian pelukisan suasana sekitar. Tapi menjelang halaman terakhir, sosok tubuh itu melangkah maju ke arah kita dari balik kaki langit keremangannya. Titik terakhir pada halaman terakhir, adalah saat ia turun dari kereta api langsung kedalam pelukan kita yang datang menyambutnya. Ia kita ciumi, kita hujani kata-kata selamat datang yang harus menyatakan ketuanrumahan kita yang tulus dan gembira sekali — walau dalam perjalananan dari stasiun ke rumah, kita sebenarnya mencoba mengingat-ingat kembali halaman-halaman buku itu, dari mana harus kita tentukan identitas tamu kita itu.
Dengan kata lain, aktualitas persoalan tokoh dan gaya itu, masih saja terus hingga ke masa kita kini. Untuk kesekian kali kita mengalami, betapa sesuatu tokoh tertentu telah membawa bersama dirinya tokoh — atau tokoh-tokoh — yang akan dilukiskannya. Sehingga dengan demikian close-up dari persoalan tokoh dalam seni roman dewasa ini berarti tuntutan membawa persoalan itu dalam bentuk lain ke bidang lain. Sebutlah bidang etis, atau bidang historis, suatu bidang yang lincah dan bergerak selalu.
Kesusastraan hendaknya mencerminkan masanya, kata segolongan orang arif bijaksana. Lalu mereka mengajikan acara, agar struktur dan napas dari kebenaran dan kenyataan aktual nyata pada tokoh-tokoh romannya. Suatu tuntutan yang sebenarnya tak terlalu banyak punya salah, dan dapat dimaafkan.
Bahkan, bila ia dikaji hingga ke akar-akarnya, tuntutan itu hanyalah merupakan ulangan yang kesekian saja dari apa hakikat kesusastraan yang sebenarnya. Tuntutan itu seolah membawa kondisi tabula rasa bagi tokoh-tokoh yang tampil dalam romannya, dalam arti bahwa apa dan bagaimana saja pun corak, bentuk, isi dan semangat dari tokoh (atau tokoh-tokoh) itu, ia adalah benar, dapat dibenarkan. Mengapa? Karena itulah prakondisinya, sifat dan watak purbanya.
Dengan ini tibalah kita ke tingkat berikut sesudah tabula rasa Yakni tingkat dari mana kita sudah tak berhak lagi punya pendapat. Tepatnya penilaian atas sesuatu tokoh. Kita ada di suatu lapisan perudaraan, di mana segala sesuatu memang punya hubungan tertentu dengan diri kita, tapi juga di mana segala sesuatu itu tegak jenseits von Gut und Bose terhadap kita. Tiap mereka itu telah mendukung dalihnya masing-masing bagi keadaannya.
Tapi justru di sinilah letak dari sekian kesukaran itu.
Apa yang dianggap sebagai persoalan klasik itu, ternyata merupakan persoalan sulit, untuk tak mengatakan tak mungkin, untuk dipahamkan, apalagi untuk diwujudkan. Sebab, apakah sebenarnya yang diminta dari seorang pengarang yang mesti menampilkan tokoh “yang mencerminkan masa”-nya? Yakni, mempersonifikasi waktu dalam diri seseorang. Dan ini terang tak mungkin, mengingat sifat totalitas waktu, demikian juga totalitas tokoh itu sebagai salah satu variant dari genius manusia. Akan tetapi, seperti kata-kata bersayap lainnya. Maka semboyan “kesusastraan cermin masa” ini pun mempesona banyak pengarang. Pesona, yang membuat mereka kabur melihat konstelasi metafisis tadi, dan menyuruh mereka melompatinya saja. Lalu mereka sampai kepada fragmen dan aspek.
Tokoh, demikian surat kepercayaan mereka yang baru, adalah fragmen atau aspek tertentu saja dari tokoh sebenarnya. Dia tak perlu turut hingga ke tanggal 1 Januari 1960. Saat sekon saja sudah cukup untuk dialami sebagai waktu, dan oleh sebab itu cukupuntuk dihayati, tegasnya di dramatiskan, bagi sesuatu roman.
Adalah “tokoh fragmentaris, dalam waktu fragmentaris” ini, yang harus tampil dalam roman modern, roman fragmentaris…
Fragmentarisme ini secara mengesankan sekali dilukiskan oleh Dostoyevski dalam novelnya yang kecil, Manusia Bawah Tanah. Novel? Adakah ini (masih) dapat disebut novel?
Satu-satunya yang masih utuh dalam buku ini hanyalah disiplin dan kecermatan psikologis sang Penulis, dengan mana ia menyuruh kita menerima keceraiberaian tokoh utamanya (juga, satu dua tokoh sampingan lain) sebagai ramuan satu satuan juga, setidaknya sebagai satu kumpulan.
Tapi, sesudah novel Dostoyevski tersebut, fragmentarisme terang-terangan dijadikan oleh sekelompok pengarang menjadi programa. Dan ketika selama dan sesudah Perang Dunia Kedua, waktu benar-benar dialami. Yakni secara empiris. Sebagai fragmen-fragmen, roman-roman fragmentaris itu beterbitan bagai cendawan. Publik, yakni manusia-manusia yang masih hidup dari perang tersebut, dengan lahapnya memamah roman-roman itu. Sartre, Camus, Moravia, Boll, adalah antara lain nama nama yang teramat disukai. Bukan saja oleh kaum snob, tapi juga oleh menteri-menteri kebudayaan, uskup-uskup an mufti-mufti besar.
Ya! Keluh beberapa simpatisan yang segera kecewa, fragmentarisme ini telah berubah kini menjadi suatu gaya penulisan, di mana banyak, banyak sekali! kata-kata dicurahkan untuk melukiskan sesuatu kejadian yang tak terjadi, sesuatu peristiwa yang bukan peristiwa. Bahkan, kadang-kadang ada roman di mana tokoh sama sekali tak ada. Yang ada hanya kata-kata, banjir kata-kata…
Samuel Beckett, seorang penyair dan pengarang roman turunan Irlandia yang kemudian menetap di Paris dan menjadi salah seorang terkemuka dalam barisaan tokoh pembaru teater akhir-akhir ini, pernah menyimpulkan hal di atas sebagai berikut:
Tokoh tak diperlukan lagi. Yang penting adalah situasi. Tanpa tokoh, tanpa manusia, situasi semakin padat dirasakan. Situasi adalah yang membuat kita a priori solider dengan tiap jenis derita, tanpa ada manusia yang berkaok-kaok meminta perhatian kita. Situasi inilah drama, tragedi, komik, segalanya. Ia telah mengusir tokoh-tokoh dari dalam sastra dan teater modern.
Dan apabila Beckett dalam lakon sandiwaranya En attendant Godot, masih menampilkan manusia-manusia, maka kita disuruhnya menanggalkan kaca mata kita. Ia berseru, “Gosok kaca mata Anda baik-baik, kemudian lihatlah lagi. Adakah yang Anda lihat dalam lakon saya itu, benar-benar masih manusia?”
Memang tokoh-tokohnya itu bukan manusia-manusia lagi. tapi kerangka-kerangka manusia saja. Beckett memutarbalikkan dalil seni drama, di mana manusia (sejauh ia maasih ada) sudah menjadi requisit saja lagi dalam lakon. Manusia-manusia itu secara terang-terangan dijadikannya benda-benda dari situasi saja, tak lebih, tak kurang. Dan kita dihenyakkannya dengan banjir kata-kata. Kata, kata, kata tak habis-habis. Pada akhir lakon kita ikut kehabisan napas. Dengan perasaan yang histeris, kita pulang ke rumah dan bermimpi tentang kiamat, di mana kata-kata telah menenggelamkan seluruh jagat ini bersama kita.
Dan bila kita bertemu tuan Beckett esoknya, dan kita ceritakan padanya bahwa lakonnya telah membuat kita bermimpi buruk, semalaman, bahwa kita namun sesudah itu semuanya tak mengerti isi, atau ‘pesan’ lakon sandiwaranya itu, bahwa kita kini oleh sebab itu ingin pergi ke seorang psikiater… maka dia akan tertawa riang, menepuk-nepuk bahu kita, berkata, “Aha! Jadi sandiwara saya itu berisi penetasannya berhasil. Terima kasih!”
Kita tak hendak mengatakan bahwa hakikat dari sastra modern umumnya, roman modern khusunya, adalah ataupun seharusnyalah hybris atau bahkan histeri. Pendapat serupa ini baik kita serahkan mengucapkannya oleh seorang yang cukup punya eksentrisitas. Hal-hal di atas itu kita singgung di sini, oleh sebab ia menurut pendapat kita ikut mengandung ciri-ciri dan disebabkan itu juga ikut mengandung kemungkinan-kemungkinan penyelesaiannya, dari persoalan “krisis roman” saat ini. Althans, sejauh krisis itu ada.
Krisis roman kini antara lain disebabkan sulitnya tokoh. Atau tokoh-tokoh. Bagi roman yang bakal ditulis itu, mereka membiarkan diri ter-“tangkap” oleh kita. Demikianlah pendapat beberapa kalangan. Disebabkan fragmentarisme, disebabkan fragmentarisitas, dari kesemuanya: ruang, waktu, semuanya. Seseorang yang pada dirinya (yakni pengarang) telah cerai-berai, berantakan, taklah mungkin me-“nangkap” ataupun menyimpulkan benda-benda di sekitarnya, yang pada dirinya masing-masing adalah juga cerai-berai.
Oleh sebab itu – demikian ramalan mereka – kesusastraan masa datang, adalah kesusastraan-minus-roman…
Atau roman akan lenyap! Sambung mereka, atau akan lahir suatu seni roman yang baru sama sekali, yang berlainan dari seni roman hingga sekarang. Apa dan bagaimana seni roman yang baru itu, itu sebaliknya kita nantikan saja. Itu adalah justru faktor x, the imponderable, yang masih harus kita sambut lagi.
Apabila suara-suara seperti ini harus kita simak, maka memang sebaiknyalah kita menyampul pena kita dan menyimpangnya dalam peti pusaka. Kita tukar ia dengan pacul, atau senapan, sebab dengan itu kita bisa lebih efektif menghabisi tahun-tahun terakhir hidup kita. Tapi menurut hemat kita, masih terlalu pagi kini untuk menyerahkan diri bulat-bulat kepada defaitisme. Bila bumi mau kiamat, silakan! Tapi mari kita hidup terus hingga saat terakhir yang mungkin bagi kita. Tiap saat itu akan kita hirup sepuasnya, dengan segala intensitas yang diberikan oleh status kita kepada diri kita sendiri. Oleh sebab itu, kita akan mencari terus. Mencari garis-garis bagi sosok tubuh tokoh-tokoh kita dalam roman-roman yang bakal, bahkan yang mesti, kita tulis.
Kita mencari dengan program yang diberikan oleh esensi dari eksistensi kita. Yang diberikan oleh impulse kita pada saat ini, tanpa perlu sorotan mata yang waspada kepada kitab undang-undang yang terlalu tebal dan tiang-tiang gereja yang terlalu kelu. Dan dalam melakukan ini, kita tak berpegang pada hanya satu semboyan semata. Kita akan melukiskan tokoh-tokoh yang mencerminkan masanya, bila identitas atau analogi serupa itu merupakan tuntutan satu-satunya dari pena kita pada saat itu. Bila sesudah saat itu identitas ini aneh bagi kita, janggal, bahkan merupakan pengkhianatan terhadap kehadiran kita pada saat itu, ia kita robek lagi dan lemparkan ke dalam keranjang sampah. Sudah tentu di saat berikut robekan-robekan itu boleh kita ambil kembali dari keranjang sampah, kita lurus-luruskan kembali, kita salin kembali…
Lingkaran-lingkaran serupa ini taklah boleh dianggap sebagai impotensi. Pergulatan serupa ini harus semakin intensnya dirasakan si pengaran, dengan tekad bahwa ia pada akhirnya harus mampu menembus lingkaran-lingkaran itu. Hasilnya, terserah kritikus, dan publik pembaca, yang tak selalu membeli buku lewat pertolongan resensi atau kritik.
Kita ingin menggoreskan tokoh-tokoh roman kita, seperti itu kita kehendaki sendiri. Kehendak, yang dengan sendirinya telah mengalami canaian fantasi dan pengalaman kita: campuan tulen dari Wahrheit und Dichtung; dari totalitas dengan nuansa; dari pengkhianatan dengan patriotisme;dari kecabulan dengan kesyahduan; dari kekejaman dengan peri kemanusiaan.
Apabila Oedipus hendak melarang kita meniduri ibu sendiri, adalah satu naluri yang mungkin, oleh sebab itu fitri. Besarnya marah kita terhadap ucapan ini, adalah justru tanda bahwa ia/ itu mungkin, bahwa ia/itu benar. Adakah kita harus menuliskan roman yang tak boleh benar? Adakah kebenaran suatu indeks bagi pengarang? Adakah kebenaran tak benar bagi roman?
Oleh sebab itulah kita mengajak para pengarang mengarang roman tentang revolusi, tentang kepahlawanan, tentang cinta tanah air, agar jangan membiarkan diri mereka layu, bila revolusi dan perang telah lama lalu.
Diri mereka secara tertentu sangkut pada waktu. Oleh sebab itu mereka jangan lalu menampik dialektika yang dibawa serta oleh kelanjutan waktu. Apabila dialektika itu membawa semacam imperatif bagi mereka untuk menulis roman tentang anti-revolusi, tentang anti-kepahlawanan, tentang untung bahagianya kepahlawanan, tentang untuk bahagia yang dibawa oleh kekecutan dan kebusukan hati, mereka hendaknya jangan mengubah menjadi kiai-kiai cengeng yang hendak menyembunyikan impotensi dan sterilitas mereka. Bahkan, berdiam diri adalah pengkhianatan terhadap hakikat dirinya, selaku pengarang.
Selama jantung kepengarangan seperti ini masih berdetak, maka segala ramalan tentang naasib kesusastraan umumnya, nasib roman pada khususnya, kita biarkan sebagai ramalan belaka —dan kita bekerja terus.
Mencari terus garis-garis bagi sosok tubuh tokoh-tokoh roman kita yang akan datang.
Mencari terus, di dalam bayang-bayang suram dari keterbatasan umur kita…
(Dikutip seizin pengarang, dari Siasat Baru, XIV (668), 30 Maret 1960, hlm. 20-23).
Tulisan sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2020/04/mengapa-konfrontasi/
Sepilihan Esai & Kritik Sastra, Copyright © Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Cetakan Pertama, Juli 2017, ISBN: 978-602-6447-29-6, KURATOR/ EDITOR: MAMAN S MAHAYANA, Hak Posting: PUstaka puJAngga (PuJa).
One Reply to “Mencari Tokoh Bagi Roman”