Mengapa Konfrontasi

Soedjatmoko

Sudah beberapa lama dunia kesusastra­an kita mempersoalkan, apakah kita berada di dalam krisis kesusastraan ataukah tidak. Munculnya pertanyaan ini sebenarnya sudah menandakan adanya krisis. Pertanyaan terse­but tidak dapat dikesampingkan begitu saja dengan menunjukkan arus yang terus-mene­rus diciptakan dalam karya sastra yang telah mengisi lembaran majalah kesusastraan dan kebudayaan kita. Pertanyaan yang seharusnya dihadapi adalah: apakah sejak peletusan hasrat mencipta dan memperbarui karya sas­tra di lapangan kesusastraan dalam tahun 1946-1954 ini, ada sesuatu yang penting telah dihasilkan di dalamnya, yang dengan penuh keyakinan dapat dikatakan telah memajukan selangkah lagi perkembangan kesusastraan Indonesia? Meskipun ada beberapa tanda yang mengandung harapan, jawaban atas per­tanyaan itu hanya dapat diberikan dalam arti negatif. Maka dengan demikian, terbayang di hadapan mata adanya suatu krisis dalam kesusastraan kita.

Masih saja kita terikat pada bentuk cerita pendek, dan rupanya tingkat ini tidak dapat diatasi. Banyak ciptaan yang memang berjasa, serta adanya kelancaran dalam bahasa yang dipakai. Akan tetapi ciptaan-ciptaan kesusas­traan yang lebih besar masih saja ditunggu kehadirannya. Apakah dengan mengingat se­jarah kesusastraan, lantas kita dapat men­jawab pertanyaan tentang bentuk roman ini secara singkat saja, yakni dengan mengemu­kakan bentuk roman bukanlah alat perantara yang paling cocok bagi pengarang Indone­sia?, dan tidak ada gunanya menerima begitu saja bentuk-bentuk kesusatraan Barat?

Apakah sebabnya hanya pada soal teknis saja, soal tidak menguasai bentuk-bentuk ro­man serta hukum susunannya sebagai wujud pertanyaan kesusastraan? Ternyata bahwa berbagai cerita pendek yang diciptakan seba­gian besar berputar dalam lingkungan kecil psikologisme perseorangan semata. Maka timbullah pertanyaan: apakah ketidakmam­puan ini bukan hanya pada soal kurangnya napas panjang serta penguasaan berbagai wu­jud sastra yang lebih besar, melainkan dise­babkan oleh ketidakmampuan dalam meng­gunakan bahan sastra yang lebih berat dan lebih sukar untuk dikerjakan?

Jikalau demikian, haruskah kita menga­kui bahwa pengakuan martabat manusialah yang telah mendobrak nilai-nilai hidup lama menjadi unsur penting di dalam renaissance? Kesusastraan revolusioner kita telah berhen­ti pada tataran psikologisme, di dalam pe­ngalaman dan getaran sukma yang kecil-kecil, yang hanya cukup untuk menjelmakan berbagai cerita pendek dan sajak kita. Jika demikian halnya, maka kita harus tanyakan pada diri sendiri apakah dramatik yang ter­kandung di dalam revolusi, dan masalah-ma­salah kemanusiaan serta kemasyarakatan yang besar bergandengan dengannya, tidak diselami dan dirasakan oleh para pengarang kita? Ataukah harus dicari sebabnya pada se­bagian atau secara keseluruhan, akan tidak adanya satu politik bahasa yang tegas pada kebutuhan lain dalam usaha membangun ba­hasa Indonesia secara sadar dan teratur dari pusat? Memang, kegagalan kita dalam hal ini adalah meletakkan beban yang berat atas ke­pintaran bahasa seorang pengarang. Berhu­bung dengan kesukarannya dalam mencari pernyataan bahasa yang memuaskan, bisa jadi pengarang tidak cukup memiliki perha­tian dan tenaga untuk memadai besarnya ba­han sastra serta pokok persoalan yang hen­dak dibahasnya. Ataukah harus kita mencari sebabnya dalam ketidakmampuan bahasa Indonesia untuk memperkaya diri secukup­nya dengan bahan dan kekayaan bahasa daerah?

Orang tidak dapat meninggalkan kesan bahwa renaissance sastra kita, dengan segala bentuk sastra yang baru sebagai penjelmaan rasa hidup Indonesia yang baru, tak sanggup meneruskan pembaruannya dalam suatu pro­ses pembaruan dan perluasan secara terus-menerus dari lingkungan yang mempenga­ruhinya. Para pendukung renaissance ini dan Angkatan 45 merupakan satu eksponen yang terpenting di antaranya, telah terpecah men­jadi berbagai golongan yang tak berdaya.

Mereka ini untuk sebagian semakin mem­pertajam isolasinya dalam masyarakat kita dengan pandangan yang boleh dikatakan hampir seluruhnya ditujukan kepada dunia Barat. Untuk sebagian yang lain, mereka ber­lari-lari mencari hiburan dan ketentraman hati dalam semboyan-semboyan yang telah siap pakai dan dalam resep-resep yang di­anggapnya sebagai obat mujarab untuk krisis kita. Akan tetapi hal ini pun bagi mereka tidak dapat mengubah masalah kreativitas­nya.

Masyarakat kita seolah-olah tidak berge­rak lagi. Gerak-gerik yang masih ada sebe­narnya tak lain dari suatu gerak kembali. Gerak kembali tersebut seolah-olah memba­wa masyarakat kita mundur kembali mencari ketentraman yang meliputi suasana sendiri yang lama, menolak dengan rasa takut segala sesuatu yang baru, kecuali yang baru itu menyajikan diri dengan kedok yang lama yang sudah lama dikenal. Gerak kembali ini dilahirkan oleh ketakutan jiwa, ketakutan terhadap yang baru dan yang belum dikenal, serta berakar di dalam kemandulan dan ketidakpercayaan dalam daya pencipta sendiri. Gerakan surut ini tak dapat disamakan dengan tradisionalisme yang masih menun­jukkan daya hidup dan vitalitas. Gerak surut ini sebenarnya hanya dapat dinamakan isola­sionisme kultural.

Teranglah gambaran ketidakmampuan dan kekalutan jiwa para pengarang kita serta para kritikus sastra, yang berkewajiban meng­adakan jembatan antara pengarang serta ma­syarakatnya, tidak terbatas pada dunia sastra kita saja. Dan memang bukan mereka sajalah yang harus diminta pertanggungjawaban. Kekacauan jiwa dan rasa tidak berjurusan juga menyatakan diri dalam lapangan keaktifan kebudayaan yang lain.

Dalam tahun-tahun terakhir sesudah pengakuan kemerdekaan kita, telah timbul dalam masyarakat berbagai masalah yang pada hakikatnya menentukan perkembang­an kebudayaan Indonesia selanjutnya. Untuk sebagian, benih masalah-masalah itu sudah terkandung di dalam kompleksitas masyara­kat kita, yang seharusnya memiliki beragam sifat dan beragam nilainya. Pertumbuhan ser­ta pernyataan yang keluar dari masalah-ma­salah ini semula diperlambat oleh kuatnya ikatan solidaritas nasional kita selama revo­lusi. Untuk sebagian masalah-masalah ini di­sebabkan oleh kesukaran-kesukaran politik yang dialami sesudah pengakuan kemer­dekaan kita, dan yang juga menyatakan diri dalam bentuk-bentuk kebudayaan.

Masalah-masalah itu misalnya muncul karena jumlah suku Jawa jauh lebih besar da­ripada suku bangsa Indonesia yang lain, yang juga dicerminkan di dalam susunan alat-alat kenegaraan, serta di dalam lapangan kebuda­yaan; soal tempat kebudayaan daerah dalam Indonesia baru. Jika dirumuskan secara lain, bagaimanakah seharusnya sikap orang Indo­nesia baru terhadap kebudayaan daerah-da­erahnya; pertanyaan tentang bagaimana pen­dirian kita terhadap cara berpikir yang sinkre­tis dan kecenderungan ke arah mistik yang sudah terjalin demikian dalamnya dalam ke­hidupan di beberapa daerah Indonesia.

Bagaimana kita akan menentukan sikap kita terhadap modernisme dan pada umum­nya terhadap masalah-masalah akulturasi yang timbul sebagai akibat meluasnya per­guruan menengah, gagalnya demokratisasi perguruan tinggi, masalah-masalah yang tim­bul oleh karena penggantian secara radikal bahasa Belanda oleh bahasa Indonesia, per­tanyaan ke arah mana jurusan bahasa Indo­nesia harus dikembangkan secara sadar, ga­galnya usaha menembus nilai-nilai lama yang menentukan pilihan lapangan pekerjaan di kelak kemudian (beroeps’kenze), dan bagai­mana usaha meninjaunya kembali dalam rangka kepentingan dan kebutuhan kebangsaan yang baru? Masalah lain lagi, misalnya tidak adanya politik pengajaran yang tegas selain semboyan umum yang sementara ma­sih samar-samar dan kosong tentang “penga­jaran nasional”, usaha menambah jumlahnya sekolah-sekolah di negeri kita, dan sebagainya.

Inilah beberapa masalah yang masih ha­rus dijawab sebagai bangsa dan yang hingga kini sesungguhnya tidak berani kita hadapi. Dan kegagalan inilah yang bertanggung ja­wab untuk kekacauan serta tiadanya haluan yang kini menjadi ciri seluruh kehidupan ke­budayaan kita. Memang tidak benar untuk berkata bahwa tiada usaha yang dilakukan untuk keluar dari krisis ini. Baik dari ling­kungan masyarakat sendiri, maupun dengan bantuan pemerintah, telah dibangun berbagai badan dengan tujuan memenuhi kepentingan kaum seniman, mempererat hubungan antara seniman dan masyarakat, serta untuk me­rangsang kehidupan kebudayaan. Akan tetapi untuk sebagian besar badan-badan itu hanya tinggal bentuk-bentuk yang kosong semata, yang terlebih lagi menegaskan ketidakmampuan kita seluruhnya.

Masalah ini sesungguhnya tidak dapat la­gi dipecahkan melalui sudut pernyataan-per­nyataan kebudayaan. Krisis yang kita alami ini, adalah suatu yang lebih pokok sifatnya, yang telah meresap ke dalam masyarakat kita di dalam segala pernyataan dan tindakan jiwa manusia. Dalam hubungan ini kesusas­traan kita, baik di mana ia berbicara maupun di mana ia bungkam, mencerminkan sebagi­an suasana umum yang meliputi masyarakat kita, yaitu ketawarannya, kedangkalan dan kelesuannya, serta tiadanya kesadaran akan dramatik besar yang terkandung dalam ke­bangkitan kembali bangsa Indonesia.

Juga apabila kita memandang selintas sa­ja, tidak boleh tidak, kita melihat pendang­kalan dan pertampangan lahir (veruiterlijking) dari kehidupan kita di dalam tahun-tahun terakhir ini [1950-1954]. Rasanya seo­lah-olah sebagian besar masyarakat kita, ter­utama lapisan pemimpinnya, telah kehilang­an perasaannya pada nilai-nilai (waarden) yang ada. Hampir tidak ada perjuangan un­tuk memperjuangkan nilai-nilai, baik dalam arti mempertahankan nilai lama, maupun da­lam arti menembus nilai-nilai lama itu dan memajukan nilai-nilai yang baru. Hampir ti­dak ada pertukaran pikiran atau perdebatan nasional yang meliputi seluruh masyarakat tentang masalah-masalah pokok yang akan menentukan nasib kita, kecuali sekali-sekali jika ada keuntungan yang dapat diharapkan daripadanya di lapangan politik.

Selanjutnya tidak ada pikiran baru, tidak ada school atau aliran baru. Yang ada hanya tendensen, hanya kecenderungan-kecende­rungan. Perubahan-perubahan sosial yang nampak dalam masyarakat kita sejak revo­lusi, sekarang pun telah menyatakan diri juga dalam pandangan-pandangan yang berlain­an, adat istiadat yang berlainan, kebiasaan yang berlainan dan penilaian yang berlainan pula. Untuk sebagian besar, perubahan-peru­bahan ini terjadi di luar kesadaran kelompok elit yang memimpin di lapangan politik dan kebudayaan. Maka tidak ada kesadaran yang cukup pada diri mereka untuk menanyakan pada diri sendiri, “sampai di mana perubah­an-perubahan ini membayangkan penyelesaian-penyelesaian untuk masalah-masalah kita?” Akibatnya, sudah semestinya terjadi kemandulan dalam kehidupan kebudayaan kita.

Gambaran masyarakat kita menunjukkan kelemahan dan kelapukan di mana-mana. Kepercayaan dan kesanggupan akan diri sen­diri serta semangat revolusiner yang lahir pa­danya telah lenyap. Hilanglah pula per­taruhan total dari pribadi (totale inzet van het individu) dalam perjuangan. Yang tinggal ialah sifat dan gerak gerik setengah-setengah, sinisme yang lahir dari ketidakpercayaan dan tindak tanduk dari jiwa-jiwa yang kecil, yang tidak sanggup untuk menjulang ke atas dan melepaskan diri dari batas pribadinya sendiri serta tumbuh dalam pengabdian pada sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri.

Pada hakikatnya krisis politik yang diala­mi oleh rakyat kita sekarang ini tidak lain me­rupakan gambaran dari apa yang terlihat di lapangan kebudayaan dan kesusastraan. Juga di sini kita melihat gejala-gejala yang sama, yakni kekacauan, kelemahan, kehilangan ke­percayaan, dan lenyapnya nilai-nilai. Apa yang dinamakan “kehidupan politik” di ibu­kota, tidak ada sangkut pautnya sedikitpun dengan kekuatan-kekuatan sosial yang be­kerja dalam masyarakat kita. Terpisahnya percaturan politik dari kepentingan rakyat telah mengakibatkan suatu kelumpuhan to­tal gerakan rakyat. Tenaga nasional kita di­hamburkan dalam percekcokan antara “kita sama kita”.

Pengabaian daerah telah menyebabkan munculnya berbagai masalah yang juga nam­pak di lapangan kebudayaan dan yang ter­lebih lagi akam mengancam rusaknya per­satuan Indonesia. Lukisan seluruhnya adalah suatu lukisan yang menunjukkan terhentinya perkembangan nasional, kebuntuan (stagna­si), ketiadaan tujuan, perpecahan, serta disin­tegrasi masyarakat. Sudah terang agaknya bahwa gejala-gejala krisis, baik yang bersifat kebudayaan maupun yang bersifat politik ini, tidak dapat dipahami sebagai gejala-gejala krisis; baik yang bersifat kebudayaan mau­pun yang bersifat politik ini, tidak dapat dipa­hami sebagai gejala-gejala yang berdiri sen­diri.

Untuk dapat menangkap artinya perlu ki­ta menggali lebih dalam dan perlu usaha membuka dan menyelidiki dasar sebab-se­bab krisis ini, yang menghubungkan gejala-gejala kebudayaan dan politik itu. Kita be­bas dan merdeka, menerima tanggung jawab diri kita sendiri untuk krisis ini. Kebebasan dan kemerdekaan itu kita miliki sebagai aki­bat dari revolusi. Oleh sebab itu, konfrontasi dengan arti dan makna revolusi kita, me­mungkinkan untuk menyelami krisis tersebut sampai pada dasar-dasar problematik seka­rang ini.

Revolusi kita pada hakikatnya ialah sua­tu jangkauan untuk menentukan nasib sen­diri. Jangkauan itu timbul dari keinginan un­tuk turut serta secara aktif dalam sejarah dan lahir dari kepercayaan bahwa kita sanggup membangkitkan kekuatan-kekuatan dalam diri sendiri yang akan memungkinkan kita untuk menempatkan diri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Jangkauan ini berdasarkan pula akan keyakinan dan ke­sanggupan kita untuk, dan dalam kemerde­kaan, serta tanggung jawab yang terkandung di dalamnya, mencapai pernyataan sepe­nuhnya dari rasa pribadi kita sebagai bangsa. Maka sesungguhnya perebutan kemerdekaan itu berarti penerobosan suatu rasa hidup yang baru, suatu penerimaan historitas dan keper­luan, kemungkinan dan keinginan untuk berikhtiar, serta campur tangan secara efektif dalam hidup di dunia untuk mencapai ke­hidupan yang lebih baik. Oleh sebab itu, jang­kauan akan kemerdekaan tak lain artinya yakni jangkauan merebut kemungkinan un­tuk menyatakan pribadi sendiri.

Setelah tercapai kemerdekaan politik dan pengakuannya, maka tinggallah masalah ba­gaimana dapat kita pertahankan kemerde­kaan itu: jika kita tak dapat bertahan di dunia ini, maka kemerdekaan kita “tak dapat tidak” hanya berarti sesuatu yang sementara saja, mungkin tidak dalam bentuknya, tetapi pada hakikatnya. Bertahan, berarti memper­tahankan diri di dunia ini, yakni dunia teknik, industri dan komersial ini, atau dengan per­kataan lain, dalam dunia modern.

Pertanyaan: bagaimana kita harus meng­anggap dan menghargakan dunia ini dari sudut kesusilaan? Suatu pertanyaan yang menguasai sebagian di antara kita, sesung­guhnya pada waktu itu bukanlah dan belum­lah menjadi pertanyaan yang terpenting, sebab yang pokok ialah soal mempertahan­kan kemerdekaan kita ini. Maka mengingkari atau menolak dunia modern berarti menging­kari revolusi kita. Sebaliknya, menyesuaikan diri secara pasif kepada dunia modern ini, jika hal itu mungkin, juga mengingkari revo­lusi kita. Oleh karena titik pusat revolusi kita adalah penentuan dan pernyataan diri sendiri secara bebas merdeka, maka konsolidasi di dalam dunia ini berarti menyesuaikan diri se­cara kreatif dengan dunia modern.

Menyesuaikan secara kreatif ini pertama-tama harus memenuhi satu syarat minimum. Syarat minimum yang dihadapkan pada kita merupakan akibat revolusi, yakni bagaimana cara kita dapat mengembangkan kekuatan di lapangan politik dan ekonomi sedemikian ru­pa, sehingga rangka politik negara Indone­sia tidak menjadi suatu kekosongan (vacuum) yang pertama itu. Kita bebas dalam mencari bentuk-bentuk dan isi pernyataan diri itu. Akan tetapi, ujian dari kreativitas kita terletak pada kekuatan jawaban kita atas persoalan yang pertama ini.

Maka, masalah yang kita hadapi untuk 10 tahun yang akan datang ialah bagaimana ki­ta sebagai bangsa dapat mengisi ruang yang diciptakan untuk kita oleh kemenangan po­litik dan revolusi. Pengembangan kekuatan politik dan ekonomi yang perlu untuk itu, menghendaki suatu perubahan yang menda­lam dari kebulatan adat kebiasaan, organisasi sosial, serta pandangan hidup kita. Perubahan itu meliputi sikap yang baru terhadap dagang, uang, menabung, rasa-waktu, sikap lain ter­hadap hierarki sosial, terhadap pangkat, dera­jat, serta terhadap pekerjaan tangan dan mesin. Perubahan itu memerlukan kemampu­an untuk berpikir dan bertindak dalam hu­bungan organisatoris yang lebih besar dari yang dahulu, yang melampaui hubungan kekeluargaan dan ditentukan secara zakelijk. Perubahan itu juga berarti suatu etika kerja yang berlainan, suatu tempo kehidupan yang berlainan, serta terutama nilai-nilai dan mo­tif-motif di dalam kehidupan ini yang ber­lainan pula.

Untuk sebagian besar masyarakat Indo­nesia yang sedikit banyak masih hidup da­lam suasana lingkungan yang tertutup, per­ubahan ini berarti suatu perubahan pokok da­lam cara memandang hidup dan mati. Di da­lam pandangan lama, maka hidup di dunia terutama dilihat di dalam keyakinan bahwa hidup di dunia ini merupakan persiapan untuk kehidupan yang lain. Di dalam pandangan itu susunan masyarakat adalah statis sifatnya oleh sebab susunan itu dianggap sebagai pi­hak yang ditentukan dan disahkan oleh hu­kum alam yang kekal. Hanya apabila kita dapat melihat kehidupan ini sebagai sesuatu yang pada dirinya sendiri sudah mempunyai makna dan arti, serta tidak terutama atau hanya sebagai persiapan untuk kehidupan yang lain, maka kita dapat melihat dan me­nerima hidup di persada bumi ini dengan ke­sungguhan yang mencukupi. Hanya dengan cara demikian kita dapat membangkitkan dinamik serta impuls-impuls yang diperlukan. Tidak hanya untuk bertahan di dalam kehidupan ini dengan segala sifat kepribadi­an kita sendiri, melainkan juga mengakui keinginan serta membangkitkan kekuatan untuk hidup di bumi ini dengan sentosa, ber­makna, dan kegembiraan hati.

Apabila kita memandang istilah kebuda­yaan sebagai sesuatu yang meliputi keselu­ruhan dari pengetahuan, ilmu, kecakapan, alat-alat, adat-kebiasaan, lembaga-lembaga pengalaman dan perasaan yang telah menjel­ma dari cara hidup tertentu, yang diwariskan turun-temurun dari yang tua kepada yang muda, maka dapatlah kita katakan bahwa masalah pokok untuk 10 tahun yang pertama ini bagi Indonesia adalah masalah kebuda­yaan.

Dipandang dari sudut di atas, perkem­bangan kehidupan politik yang merupakan peralihan dari anggapan bahwa masyarakat ditentukan dan disahkan susunannya oleh hukum-hukum yang berakar di dunia yang fana, menjadi anggapan bahwa masyarakat ialah hasil dari faktor-faktor yang baka. Ma­syarakat merupakan hasil dari pertentangan kepentingan-kepentingan di dalamnya yang juga merupakan suatu masalah kebudayaan. Demikian juga sikap kita terhadap pem­bangunan ekonomi suatu masyarakat tak lain dari suatu muka kebudayaannya.

Maka, dapat dikatakan bahwa kebudaya­an Indonesia masih di dalam kandungan; bahwa kebudayaan Indonesia itu tidak ter­capai dengan hanya menjumlahkan kebuda­yaan-kebudayaan daerah yang ada pada waktu sekarang ini.

Penyesuaian secara kreatif pada dunia modern tadi bukanlah suatu gejala yang ba­ru dalam masyarakat kita. Lahir serta ber­kembang gerakan nasional kita sesungguh­nya adalah reaksi modern yang pertama atas masalah-masalah yang timbul dari penetrasi dunia modern ke dalam masyarakat kita. Jika demikian vital reaksi kita, maka apakah se­babnya kita tercekik dalam krisis sekarang ini? Sebabnya adalah pada vitalitas bangsa kita. Kekuatan nasionalisme kita telah cukup membuktikannya. Juga sekarang pun dalam kungkungan krisis nasional, keaktifan serta hasrat yang ada pada rakyat menuju pada perubahan dan perluasan hidup yang begitu terasa di luar kota-kota besar, dapat meniada­kan segala kesangsian tentang hal ini.

Krisis yang sekarang kita alami, terang­lah suatu krisis kepemimpinan. Sebabnya ter­letak dalam ketidakmampuan pimpinan na­sional untuk menyesuaikan keadaan baru yang dihadapi sesudah tercapainya kemer­dekaan. Juga pada ketidakmampuannya un­tuk mengerti bahwa dunia tempat kita mere­but kedudukan layak, lain sifatnya dengan dunia yang kita lihat dari penglihatan nasion­alistis yang terbatas dalam masa perjuangan terhadap Belanda. Bahwa dunia itu lain juga tuntutannya terhadap kita.

Tuntutan-tuntutan itu hanya akan dapat dihadapi jikalau kita sanggup memandang serta mengukur kepentingan-kepentingan rakyat dan negara dari sudut perkembangan politik, ekonomi, dan sosial; jikalau kita da­pat menangkapnya dari sudut pertumbuhan kekuatan nasional, serta sudut perluasan ke­hidupan yang kongkret untuk setiap anggota masyarakat dan keluarganya.

Hal ini berarti untuk tingkat kedua dari revolusi nasional kita, maka perlu ditentukan kembali tujuan-tujuan nasional; merumuskan kembali tujuan di lapangan politik, ekonomi, dan sosial yang dipandang dari sudut keper­luan-keperluan kita dalam perubahan-peru­bahan ekonomi sosial, serta kebudayaan yang telah terjadi dalam masyarakat sejak revolusi. Tujuan-tujuan itu harus dirumuskan sede­mikian rupa sehingga dapat membangkitkan kembali kepercayaan, kesanggupan, dan cita-cita untuk bekerja menjelang suatu kehidupan yang lebih sentosa. Di samping itu, tujuan-tujuan itu harus bersifat realistis. Artinya ha­rus dirumuskan dengan mengingat batas-batas kemampuan alat-alat, kecakapan, serta kesanggupan yang ada pada kita.

Maka di sinilah letak kegagalan para pe­mimpin lama kita, yang telah begitu berjasa menuntun sampai pada pintu gerbang kemer­dekaan. Akan sayang seribu kali sayang, me­reka tidak dapat melepaskan diri dari sikap dan alam pikiran yang memang diperlukan dalam tingkat yang pertama yang menjadi sumber kekuatannya. Padahal keperluan-keperluan untuk tingkat perjuangan yang kedua berlainan sekali sifatnya. Sifat per­juangan tingkat pertama adalah politik dalam batas-batas yang sempit. Ia ditujukan ter­hadap kekuasaan Belanda, makanya sifatnya terutama antitesis. Tuntutan zaman sekarang adalah suatu tuntutan yang memerlukan ke­kuatan kreatif. Dan di sinilah sumber krisis kita!

Karena kegagalan ini, dalam masyarakat kita telah merajalela perasaan ketidakpastian, perasaan tak tahu arah, perasaan tak ada tu­juan, bahkan juga perasaan tak adanya per­kembangan yang bermakna. Dan dengan tim­bulnya perasaan macet ini, hilang juga ha­rapan serta kepercayaan mereka pada diri sendiri. Telah bungkamlah para seniman. Me­lancarkan protes pun ia tak sanggup; korup pegawainya, lesu kaum tuanya dan sinis ka­um mudanya. Demikianlah telah cukup terurai hubungan antara krisis umum yang begitu pedih dirasakan oleh kita semua.

Penentuan kembali tujuan-tujuan nasion­al akan dapat menggerakkan kembali ke-kuatan nasional. Tujuan nasional akan dapat mengerahkan kembali pergerakan kebang-saan untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Dengan cara demikian semangat dan kesang­gupan rakyat akan dapat membangkitkan kembali elan revolusioner dari dahulu.

Yang menjadi pokok di sini ialah masa­lah kreativitas, masalah kemampuan kita un­tuk menempatkan diri secara kreatif dalam keadaan yang baru, dengan mengejar tujuan-tujuan yang baru, dengan cara-cara yang baru.

Berbagai masalah baik politik maupun kebudayaan akan hilang lenyap, akan men­jadi kurang penting atau akan dikembalikan kepada proporsi yang sewajarnya, dengan bertempat yang sewajarnya pula dalam urut­an masalah-masalah yang kita hadapi. Ber­kat daya penyusun yang terkandung dalam tujuan-tujuan yang tegas dan terang itu, akan tercapai suatu keadaan yang lebih sederhana, yang lebih mudah dikuasai dan dikendali­kan. Rasa kelesuan, ketidakmampuan dan kehilangan kepercayaan pada diri sendiri, apatis dan sinisme akan hilang lenyap, dan akan bangkit kembali kepercayaan baru, se­mangat dan harapan yang baru serta daya cipta yang baru.

Betapa eratnya hubungan antara politik dan kebudayaan tergambar di sini. Pertanya­an corak-corak mana yang akan dimiliki oleh kebudayaan Indonesia, akan ditentukan ja­wabnya oleh cara kita menghadapi soal-soal pembangunan ekonomi, oleh cara kita mengerahkan tenaga-tenaga yang terkan­dung dalam masyarakat kita, dan oleh cara kita menyalurkan dan menggunakannya — umumnya oleh cara kita mendinamiskan masyarakat serta mempertinggi tempo kehi­dupan kita. Artinya, oleh cara kita mencapai kesanggupan mengembangkan kekuatan eko­nomi dan politik di atas tingkatan yang lebih tinggi.

Pada hakikatnya, kebudayaan Indonesia akan ditentukan baik bentuk maupun isinya oleh jawaban-jawaban atas masalah pokok kita sekarang, yaitu masalah “penyesuaian yang kreatif”.

Sebaliknya harus dikatakan bahwa jawab­an-jawaban di lapangan politik dan ekonomi itu, tidak akan dapat diberikan, jika kita tidak turut memperhitungkan cara-cara bertindak dan bereaksi seperti yang ditentukan oleh kebudayaan.

Maka di sinilah letak intisari kemerdeka­an dan kebebasan kita, yaitu dalam kemung­kinan serta keharusan untuk senantiasa menggali dan menyelami, serta mencipta kembali dari waktu silam kita dan dari sum­ber-sumber kebudayaan lama. Sebab dengan cara demikian, kita akan dapat memberikan jawaban-jawaban atas pertanyaan pokok tadi, mengenai penyesuaian kreatif, yang dapat dirasakan serta terima sebagai jawaban yang Indonesia sifatnya. Akhirnya, dari jawaban-jawaban inilah akan terjelma manusia Indo­nesia baru, sebab pada asasnya persoalannya adalah bagaimana menciptakan manusia In­donesia yang baru.

Maka untuk dapat keluar dari kebekuan dan kekacauan sekarang ini serta untuk mem­perbarui kepercayaan akan diri sendiri, per­lulah kita melihat dan menerima masalah po­kok ini dengan jelas. Perlulah kita merumus­kan cita-cita nasional dari sudut itu. Penjer­nihan pikiran yang perlu untuk itu hanya dapat tercapai apabila kita memberanikan diri melihat latar belakang krisis dewasa ini dan berani menghadapinya secara integral. Maka kita harus menyadari secara lebih te­rang mulai sekarang, apa misalnya arti dunia modern bagi kita, apa arti Eropa, apa arti Amerika, apa arti Komunisme Rusia dan Tiongkok, dan akhirnya apa arti masa lam­pau kita sendiri, apakah arti pusat dan daerah, apakah arti Indonesia sekarang ini bagi kita.

Pendeknya kita harus mengadakan kon­frontasi dengan diri kita sendiri dan dengan dunia sekitar. Dari pangkalan ini penentuan kembali tujuan-tujuan nasional kita akan dapat memberi daya penyusun dan dorongan untuk menguasai masalah-masalah yang mencirikan krisis dewasa ini serta peme­cahannya. Dengan cara demikian akan mung­kin bagi kita untuk merumuskan politik pengajaran dan menempatkannya dalam rangka politik kebudayaan. Dengan cara demikian akan mungkin untuk menyelami sumber pencipta dan mengerahkan kebudayaan-kebudayaan daerah ini untuk mencipta bentuk serta isi masyarakat baru dengan mengingat kebutuhan-kebutuhan masyarakat serta kebutuhan individual yang baru.

Maka dengan berpangkal dengan kebe­ranian kita untuk ber” konfrontasi” dengan keadaan sekarang serta kedudukan di dunia, kita akan dapat keluar mengatasi krisis se­karang, yang beberapa gejalanya seperti sas­tra, kebudayaan umum, dan politik telah disinggung di muka.

Akhirulkalam, kita harus melihat krisis Indonesia dalam dimensi lain. Setelah melu­kiskan pokok masalah kita pada umumnya serta sangkut-pautnya dalam masyarakat, maka harus pula kita menunjukkan segi-segi yang berikut. Yakni bahwa masalah ini pada akhirnya adalah masalah pribadi, masalah in­dividual. Kita telah mengembalikan masalah pokok tadi kepada dasar-dasar kemasyarakatannya. Kita telah menunjukkan bahwa krisis ini terutama berakar pada krisis kepe­mimpinan.

Akan tetapi semuanya ini tidak memberi kepada, dan tidak melepaskan si pencipta ke­budayaan, pengarang, penyair, pelukis, dan ahli-ahli filsafat kita dari tanggung jawabnya. Tanggung jawab pribadinya tetap dan tidak dibatasi oleh ini. Krisis yang kita alami pada akhirnya adalah krisis menuju manusia Indo­nesia. Fungsi kreatif dalam masyarakat tetap dan selalu menjadi fungsi yang individual, yang serba serenjang, suatu kejadian rohani yang tak dapat diganti dan tak dapat bersifat umum.

Pada akhirnya mencipta itu memang tidak ada obatnya yang umum, tiada pula suatu politik yang dapat memperbesar kreativitas dari jiwa manusia. Yang ada hanyalah dorongan individual untuk mencipta. Akan tetapi, dalam menjalankan usaha ini masing-masing dapat dibantu oleh kesa­daran. Kesadaran akan keadaan dimana kita berada, kesadaran akan tempat yang kita ambil terhadap faktor-faktor dan pengaruh-pengaruh yang bekerja atas diri kita. Itulah sebabnya kita hendak melaksanakan “kon­frontasi”.

(Sumber: Konfrontasi, Nomor 1 Tahun I, Juli-Agustus 1954).

Tulisan sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2020/04/ke-arah-seni-berisi-sekitar-soal-tendens/

Sepilihan Esai & Kritik Sastra, Copyright © Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Cetakan Pertama, Juli 2017, ISBN: 978-602-6447-29-6, KURATOR/ EDITOR: MAMAN S MAHAYANA, Hak Posting: PUstaka puJAngga (PuJa).

One Reply to “Mengapa Konfrontasi”

Leave a Reply

Bahasa »