(Melarung Nada di Pelabuhan Kampung Ujung Muncar, Foto Aditya Prayuga)
Taufiq Wr. Hidayat *
Sahdan. Sebatang rokok dan segelas kopi, membantu menghangatkan tubuh seorang perempuan. Yang dalam lagu Iwan Fals pada album “Mata Dewa” (1989), disebut “perempuan malam”. Bersama sebatang rokok dan segelas kopi itulah, ia menggurat catatan yang tersimpan. Catatan yang tersimpan dalam dirinya. Dalam ingatannya. Entah tentang apa. Sebagai perempuan malam (mungkin perempuan malam jalanan), yang dengan pasrah dan terpejam, menyerahkan tubuhnya untuk malam, ia pun menunggu malam. Menunggu malam. Demi panjangnya malam.
Perempuan Malam
Iwan Fals
Perempuan malam mandi di kali
Buih-buih busa sampo ke tengah
Di atas kepala lewat kereta
Yang berjalan lamban nakal menggoda
Disambut tawa renyah memecah langit
Dengus kereta semakin genit
Semua noda coba dibersihkan
Namun masih saja terlihat kotor
Karena kereta kirimkan debu
Yang datang tak mampu ia tepiskan
Perempuan malam kenakan handuknya
Setelah usap seluruh tubuhnya
Hangatkan tubuh di cerah pagi
Pada matahari
Keringkan hati yang penuh tangis
Walau hanya sesaat
Segelas kopi sebatang rokok
Segurat catatan yang tersimpan
Perempuan malam menunggu malam
Untuk panjangnya malam
Perempuan malam diikat tali
Di hidup, di mimpi, di hatinya
Aku hanya lihat dari jembatan
Tanpa mampu untuk melepaskan
Perempuan malam di pinggir jerami
Nyanyikan doa nyalakan api
1989
Namun siapa orang mulia di tengah malam, mengentaskan penderitaan insan yang telah mendera berabad lamanya dan menenangkan yang dikejar-kejar ketakutan, baik hati, mengenakan jubah pahlawan bertopeng supaya tak dikenali? Tak ada pahlawan bertopeng seperti dalam film hero. Selain manusia kesepian yang hendak membunuh kesepiannya yang kelam dan menyiksa. Selain para penjilat dan pemburu mangsa bagi kepuasan-kepuasan yang tak pernah terselesaikan. Kemudian melepaskan lelah, terkapar di sudut ranjang asing dan redup. Seno menulis “Sebuah Pertanyaan untuk Cinta” (Kompas, 28 Maret 1993). Apakah cinta—orang menamainya, perasaan abstrak yang sangat tidak rasional, masih dipertanyakan di tengah rimba kesibukan kota-kota manusia? Dalam kecukupan, manusia ternyata tak pernah cukup. Meski segalanya telah cukup. Bahkan lebih. Rumah tangga bahagia. Tetapi dalam tekanan dan kesibukan bagai mesin di kota besar, keberulang-ulangan yang niscaya, orang mencari “yang lain”. Lantaran memegang kuasa materi, ia menemukan “yang lain” yang menyimpang di luar keberulang-ulangan, yakni pada perselingkuhan. Kita mengenal sebutan “perempuan simpanan” yang populer pertama sekitar tahun 80-an dan 90-an. Laki-laki kaya atau pejabat tinggi, rasanya belum lengkap kalau tak punya “simpanan”. Apa yang hari ini menjadi rahasia wajar yang tak dipermasalahkan dengan gawat. Namun yang cukup ampuh menciptakan bencana yang gawat dalam kehidupan keluarga. Kekuasaan memang cenderung berselingkuh. Menyelingkuhi tanggungjawab.
Barangkali kenyataan itulah yang dirasakan Seno Gumira Ajidarma saat menuliskan cerita pendek “Sebuah Pertanyaan untuk Cinta”. “Perempuan Malam”-nya Iwan Fals pun menggambarkan realitas atau merasakan kelam dan pedihnya malam kehidupan kota besar yang menciptakan jurang ketimpangan di bawah ayat suci pembangunan yang dibawakan rasul-rasul palsu di tahun 80-an itu. Tapi sebutan “perempuan malam” kini terdengar tak karib lagi. Orang merubah sebutan. Tetapi dengan maksud yang tak berbeda. Kehidupan malam. Dan nasib malam. Gemerlap malam yang diselenggarakan para bos. Bos-bos yang berumur, pada tahun 80-an dan 90-an memang terkenal, digambarkan menjijikkan dalam film-film Indonesia di tahun itu, para budak pembangunan, menjadi ciri manusia cabul dan pemborong perempuan malam. Orang-orang berduit yang mengeluarkan uangnya demi kepuasan. Memberi uang bagi yang sesuai dengan kemauannya dan yang menghiburnya, apakah itu agama atau kepuasan lain, terserah. Atau yang dapat membuatnya senang saja. Yang harus tampak. Membeli. Segalanya membeli. Harus tampak apa yang dibeli. Uang membeli hiburan. Hiburan menjadi jalan spiritual. Bahkan agama baginya pun hiburan belaka. Ahli agama didatangkan guna menghibur jiwanya yang penuh debu dan cacat. Supaya tenteram dan tak mengganggu pikiran. Yang tak menghibur dan tak sesuai dengannya, singkirkan. Atau biarkan saja. Cukup diberi sedikit keprihatinan. Tapi dalam pergaulan wajar, mereka menjadi orang yang gemar “jaga wibawa” kata orang. Tak mau atau malas berhubungan dengan orang yang bukan atasannya. Tapi pada atasan, mereka mencium kaki, dan menyungkurkan kepala. Pandangannya dididik malam gemerlap, di antara jual-beli seksual yang mahal. Mereka mengira cinta berserak di jantung malam gemerlapan. Aroma tubuh menggoda hidungnya. Mabuk dalam lena. Padahal tak ada cinta di sana. Yang ada hanya rayu tak pandang bulu. Kebutuhan. Keterhimpitan. Membayar hidup lebih penting daripada cuma cinta yang tak bisa menyelesaikan tagihan mobil, listrik, dan air. Dan tubuh tumbalnya. Apa masih ada orang seperti itu saat ini? Tanya orang yang pernah mendengarkan lagu “Perempuan Malam” ciptaan Iwan Fals, sang legenda musik Indonesia termashur itu.
Manusia tak hanya terasing di hadapan barang dan pekerjaan sebagaimana diandaikan Karl Marx. Tetapi manusia pun terasing di hadapan alat-alat canggih yang dimilikinya, yang tiap saat berada di saku bajunya. Mungkin juga terkapar tak berdaya di hadapan uang dan pencapaian benda-benda. Tiap kebusukan, kata orang, akan tercium meski disemprot parfum yang harum setiap saat. Suatu kebohongan, katanya. Membutuhkan kebohongan-kebohongan berikutnya untuk menjaga kekokohan kebohongan yang sebenarnya. Ujar pameo. Entah pameo dari mana. Manusia sesungguhnya tidak pernah bisa melarikan diri dari ingatannya sendiri. Sejauh apa pun ia mencari pelarian, serajin apa pun ia mengakui penyimpangan hidupnya, ia senantiasa akan kepergok pada dirinya sendiri. Lantaran ia tak mungkin mencopot ingatannya. Atau meletakkan kepalanya guna mengingkari penyimpangan. Ia meminta hukuman bagi dirinya sendiri pada bawah sadar, dengan terus memenjarakan kebebasan jiwa dalam kekhawatiran dan kekurangan.
Edgar Allan Poe menulis cerita pembunuhan dalam “Tell Tale Heart”. Seorang psikopat telah membunuh seseorang. Ia membunuh seseorang hanya karena benci melihat kedua mata orang tersebut. Polisi menggeledah rumahnya. Pelaku tenang saja, seolah tak bersalah dan tak pernah terjadi apa-apa Mayat korban disembunyikan di bawah lantai rumah. Polisi tak berhasil menemukan bukti. Setelah polisi pergi, terjadi keanehan. Pelaku mendengar detak jantung korban yang telah tewas yang telah ia kubur di bawah lantai rumahnya. Ia terus menerus dihantui suara detak jantung yang gaib itu. Ia merasakan ketakutan. Kekhawatiran yang tak terjelaskan.
Edgar Allan Poe agaknya hendak mengatakan, keadilan sangat vital dalam kehidupan manusia. Lantaran asasi di dalam hidup seseorang, sebaik atau sejahat apa pun ia. Keadilan membawa pada sikap saling memaafkan dalam sejarah dan ingatan, suatu paradoks yang hanya dapat ditempuh dengan kesadaran dan kebesaran jiwa. Apa yang dipendam sebagai suatu penyimpangan, akan selalu meneror kesadaran manusia pada relung jiwanya yang paling jauh, gelap, dan tak seorang pun dapat melacaknya. Ia tak bisa lari dari dirinya sendiri, tak bisa bersembunyi dari ingatan, dan rasa berdosa. Ia memerlukan pengakuan atas dosanya. Tetapi seringkali hal itu tak dapat menenangkan jiwa, karena dosa terus mengajaknya kembali lagi pada penyimpangan yang tak sudah-sudah. Bawah sadarnya meminta hukuman, ujar Freud. Namun ia tak akan sanggup menahankan derita hukuman sebagai tebusan atas dosanya, selain penyesalan yang tak kunjung selesai.
Keseimbangan memang tak selalu menetap, senantiasa berubah dalam kabut hidup dan keterbatasan. Kenyataan empiris kehidupan yang terlemahkan oleh dirinya sendiri, menahbiskan absurditas dan kecarut-marutan. Dengan segala keterbatasan, manusia mencoba mencari celah abadi di dalam kefanaan yang terus-menerus menggetar. Dalam kepenatan dan keberulang-ulangan yang mencekam melelahkan, ia sesungguhnya kesepian. Kesepian yang tak menemui dirinya sendiri, menawarkan kegilaan-kegilaan yang melahirkan kehendak atau ide yang sukar dipernyatakan. Ia pun menyiksa dirinya sendiri demi memenuhi segala kehendak yang melampaui kesanggupannya sebagai manusia.
Dan dalam lagu yang murung itu, “perempuan malam” berdiri “di pinggir jerami”. Ia “nyanyikan doa”. Hingga segala amarah dan kebenciannya pada nasib, membuatnya “menyalakan api”. Kemudian mengabdi pada malam. Malam yang panjang. Sepanjang harapan yang tak ingin dikalahkan fajar.
Tembokrejo, 2020
_____________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.
https://www.youtube.com/watch?v=6UctncXf6CY