Para Penumpang Gelap

Marhalim Zaini *
Riau Pos, 12 Jan 2014

SEBUTAN “penumpang gelap” sudah tidak lagi hanya milik dunia transportasi, tapi sudah menjadi “milik” banyak dunia. Dunia, yang dalam konteks sebuah ruang sosial—yang oleh teori Bourdieu—kerap disebut field (arena). Arena, tempat berbagai dialektika proses relasi sosial terjadi, yang terstruktur, untuk kemudian membentuk apa yang disebut habitus. Dunia politik, dunia ekonomi, dunia seni, dunia sastra, dunia puisi, tentu termasuk di dalamnya. Maka, sebutan “penumpang gelap” pun bisa cocok dipakai sebagai frasa simbolik yang mencerminkan salah satu gejala dialektika sosial yang terjadi.

Tentu, tiap dunia, berbeda konteks, berbeda pemakaiannya, meskipun tidak terlalu jauh perbedaan dalam permaknaannya. Kalau kembali pada asal sebutan itu, dari idiom bahasa Belanda “zwarterijder” (zwart berarti hitam/gelap, dan rijder berarti penumpang), bisa dimaknai sebagai “penumpang (umum) pada sebuah kendaraan (taksi, bus, kereta api, kapal laut, pesawat udara, ojek, dll) yang tidak membayar.” Gelap atau hitam di situ, adalah bahasa kiasan untuk seseorang yang “menyamar.” Menyamar (dalam konteks transportasi) sebagai seseorang yang membayar, padahal tidak membayar.

Pertanyaannya kemudian, kenapa orang ingin “menyamar” menjadi “penumpang gelap”? Jawabannya bisa berbeda-beda sesuai konteks, namun substansinya bisa jadi sama; sama-sama hendak mencari “keuntungan.” Keuntungan yang tidak semata bersifat materil, tapi juga non-materil. Namun, perbedaan yang mencolok adalah soal identifikasi. Mengidentifikasi “penumpang gelap” dalam dunia politik, pun dunia sastra, tidak semudah dalam dunia transportasi. Mereka yang menumpang kereta api, misalnya, ketika diperiksa petugas dan tidak memiliki tiket (yang artinya ia tidak memiliki tanda bukti pembayaran), adalah “penumpang gelap” itu. Maka petugas berhak mengusir penumpang tersebut.

Nah, dalam dunia politik, pun dunia sastra, identifikasi seseorang yang dapat disebut “penumpang gelap” tidak bisa dilihat dan ditandai dengan secarik kertas. Hanya indikasi-indikasi dalam gejala atau fenomena-fenomena tertentu. Terkhusus dunia sastra, indikasi-indikasi itu agaknya bisa ditelisik dalam beberapa fenomena berikut. Dalam konteks karya, misalnya, “penumpang gelap” itu boleh jadi salah satu indikasinya ada dalam fenomena istilah “sastra populer” dan “sastra serius.” Kerap dianggap, juga diposisikan, “sastra pop” itu “menyaru” sebagai “sastra serius” hanya tersebab ia bestseller. Maka, menjadi aneh, misalnya ketika Habiburrahman El Shirazi “diklaim” sebagai novelis nomor 1 di Asia Tenggara. Yang, dengan begitu, seolah dialah representasi penulis novel yang “sukses” mengalahkan penulis lain, macam Pramoedya Ananta Toer.

Dalam konteks lain, “penumpang gelap” dalam sastra dapat dilihat indikasinya dalam berbagai ivent sastra, dalam dan luar negeri. Mereka yang diundang, atau minta diundang, kerap didasari dari modal “pertemanan” selain modal “ekonomis.” Tidak didasari mutlak oleh mutu karyanya, oleh kompetensinya, oleh produktivitasnya. Maka, yang terjadi kemudian, kesempatan untuk memperluas “pergaulan sastra” lebih terbuka peluangnya bagi “sastrawan berduit” atau “sastrawan yang pandai bergaul.” Belakangan, modal ekonomi justru kian tak dapat ditolak untuk dapat turut “mengendalikan” penilaian terhadap mutu karya sastra, atau kompetensi seorang “tokoh sastra.” Dapat pula “mengendalikan” siapa yang paling berhak menerima sebuah penghargaan, siapa pula yang berhak disebut sebagai “tokoh sastra yang paling berpengaruh,” dan lain sebagainya.

Tentu, ada banyak cara yang lain, untuk menjadi “penumpang gelap” dalam sastra, dalam seni. Indikasi lain, adalah lembaga-lembaga kesenian dan kebudayaan, baik pemerintah maupun non pemerintah, yang dikelola secara “serampangan” oleh mereka yang tidak berkompetensi. Sehingga, yang “sejahtera” secara sosial, terutama secara ekonomi, justru bukan para seniman/sastrawan yang memeras jerih keringat dalam berkarya, akan tetapi pengelolanya—yang agaknya lebih tepat disebut “para broker” itu. Dan, mereka, merasa nyaman-nyaman saja. Karena rupanya, menjadi “penumpang gelap” itu besar lho untungnya….
***

__________________
*) Marhalim Zaini. Lahir di Teluk Pambang Bengkalis Riau, 15 Januari 1976. Alumnus Jurusan Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, esai budaya, resensi, naskah drama, juga cerbung dipublikasikan ke berbagai media massa lokal, nasional, dan internasional di antaranya Kompas, Majalah Sastra Horison, Media Indonesia, Republika, Koran Tempo, Jurnal Puisi, Jawa Pos, Bali Post, Surabaya Pos, Lampung Post, Riau Pos, Majalah Budaya Sagang, Pustakamaya (Malaysia), dan Prince Claus Fund Journal Netherlands, dll.
http://riaunology.blogspot.com/p/kolom-riau-pos.html

Leave a Reply

Bahasa »