Anton Wahyudi *
Siang hampir saja ranum. Terik yang tadinya berkecamuk mendadak susut, tertutup rombongan awan kelabu. Tak ada suara geluduk, tak ada kilatan petir menjalar, tak ada tanda mau turun hujan. Udara seketika terasa sesak. Pengap. Kota yang tadinya tampak putih berseri tiba-tiba pucat pasi. Pucat seperti reraut wajah bidadari keluar dari kamar operasi.
Hampir seumuran jagung penduduk kota ditimpa paceklik, kekeringan, dan dilanda kelaparan yang luar biasa. Banyak korban yang mendadak jatuh dan tumbang. Usut punya usut, pada Senin malam menjelang Subuh, penduduk kota dikagetkan dengan suara reruntuhan kerikil yang rontok di atap-atap rumahnya. Sebagian besar banyak penduduk yang mendadak keluar rumahnya, lalu melihat kemunculan bintang-bintang berekor di arah Barat Laut. Pagi harinya suara-suara kepanikan semakin merajalela. Melesat hingga ke pelosok-pelosok desa.
Di antara kepanikan itu Sa’diyah nekat pergi ke kota. Tak lupa ia menggendong bayi mungilnya. Ia mendadak ke kota mencari kerja. Menjajakan jasa menyusui dengan imbalan sepantasnya.
“Tidak ada yang tidak mungkin dari kemungkinan-kemungkinan yang sudah ada. Yang penting aku sudah mau berusaha. Tuhanlah yang nanti akan menentukan takdirnya,” batin kecilnya bersuara.
Sa’diyah adalah salah satu perempuan di antara penduduk desa yang baik tabiatnya. Sosok yang teguh, berpendirian kuat, tenang, sekaligus penuh pancaran cinta dan kasih sayang di rona wajahnya. Di sisi lain, ia dikenal sangat fasih dan bagus dalam berbahasa. Berbahasa khas logat desa yang bisa menyejukkan rongga-rongga telinga pendengarnya. Tapi, sayang, sudah lama Sa’diyah hidup dalam keterbatasan. Suaminya di desa hanyalah peternak yang pas-pasan. Malah sering tidak mendapatkan keuntungan. Parahnya lagi air susu di tubuhnya tidak keluar lancar. Sering macet seketika. Bayinya sering terdengar menangis tak karuan. Kelaparan.
Saat tiba di kota bertemulah Sa’diyah dengan Aminah. Sesosok ibu yang asih, penuh kasih, dan sederhana. Aminah adalah ibu yang tidak pernah merasa gelisah dan selalu tabah hati setelah ditinggal suaminya. Suami tercintanya meninggal lantaran sakit keras saat tengah menempuh perjalanan pulang ke rumah. Meninggalkan istrinya yang tengah mengandung tujuh bulan buah hatinya. Pertemuan Sa’diyah dan Aminah adalah takdir ilahi. Sebuah ketentuan mutlak, tak bisa diubah-ubah biarpun dengan kata hati. Pertemuan antara dua pemilik keterbatasan yang disertai ketulusan hati pastilah akan melahirkan kemahadahsyatan tiada terkira.
“Sebelum bayi ini kubawa pulang untuk kususui, maukah kau katakan tentang rahasia tentangnya?” ucap Sa’diyah, menyelidik.
“Ketahuilah. Dulu saat aku sedang mengandungnya, di sepertiga malam aku pernah bermimpi. Aku bermimpi tentang munculnya seberkas cahaya yang tiba-tiba terlihat merekah. Cahaya itu bersinar dari dalam perutku, kemudian keluar menerangi ruang sekelilingku,” kata Aminah, lirih.
***
__________
*) Pengampu matakuliah Sastra Indonesia di Program Studi PBSI STKIP PGRI Jombang.