: Serat Yusuf
Mashuri *
yusuf menjauh dari tubuh
bersepuh
kencana, penuh
renjana
meski lenguh purba telah merupa
bahtera nada
menurunkan sauh
berlabuh di lubuk rungu
yusuf mendengarnya
sebagai batu ketapel berdesing
di lembar daun kuping lain
meski sesungguhnya
rayuan
semerdu nyanyian siren
di pusaran
nil –dengan gelinjang
tarian telanjang
membuat setiap telinga melepuh
dan demam
yusuf menjauh dengan langkah pasti
seorang pelarian ahli
dari sel diri
meski jubah koyak
di punggung
berkibaran
seperti panji serdadu buntung
kalah bertarung
di palagan agung
ia memacu langkah
ke arus sahara
meski wadi dan titik istirah
hanya fatamorgana
mungkin lewat bahasa sumir
pasir
berdesir
ke batas cakrawala
arus darah mengalir
ke alam entah
ketika buhul takdir tersimpul
di alam pikir
dan dada
“bukankah aku
penghulu waktu…”
yusuf teringat getar serupa
ketika malam membungkuk
ke ufuk
ketika rembulan dan berbilang bintang
bersujud
di kakinya nan lepuh
hampir menyintuh
kulit ari
dari sang ayah, ia pun mendapat
koordinat firasat
gurat rahasia, cinta
khianat
“kau hanya butuh menunggu
waktu, puteraku ”
sungguh waktu mirip sphinx
membuat nyala mata pelakian
berkeping
kerna teki-teki terkandung
dalam mimpi
ihwal arus
hidup
dari bayi
ke dewasa
ke renta
mungkin hanya oediphus
kuasa menebus
kerling maut
: sphink hitam
dengan jawaban takdir lebam
adam
meski kelak
waktu menguncinya di barak
kutukan
ia membunuh ayah
menyunting ibunya
lalu merajam cerlang mata
sendiri
tanpa dituntun papirus
yusuf menghunus
segala denah titah kudus
tapi sungguhkah
ia sedang menghadapi singa
berkepala jelita
lain
di tanah melimpah
tapi asing
ketika sejumlah pesuruh
membelenggu yusuf
di bawah langit redup
ia pun diam
mirip saat saudagar
menurunkan tali tampar
ke sumur dalam
meski setelah keluar
ia menggelepar
terjebur
ke perigi lain
tak terukur
di balik terali
yusuf menepi
mendahului sepi
seperti dibuang, dulu
tanpa baju
siang tak berbeda
dalu
ditatapnya wajah waktu
ia pun semakin tahu
jejak isyarat
di bekas jubah
meski boyak, kelabu
bahwa pemilik tilas ludah
adalah gigi taring nan indah
kini, di udara
dentingnya merupa madah
madah hening
nyanyian bidadari
bening
seperti panggilan-panggilan
pulang
dari sorga yang hilang
di kanaan
bahkan saat digiring
sebagai pesakitan
ia sempat
mengeriling
pada sphinx lain
itu
dan berbisik lirih rindu:
“demi kala
zulaika
kelak, kita akan berbaring
di ranjang gading
bersama
tunggulah aku,
di pintu mesra
mesbah…”
On Sidokepung, 2020
_______________
*) Mashuri, lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di beberapa antologi. Dia tercatat sebagai salah satu peneliti di Balai Bahasa Jawa Timur. Tahun 2018, bersama Sosiawan Leak dan Raedu Basha, dipercaya jadi kurator yang bertugas memilih narasumber dan menyeleksi para peserta Muktamar Sastra. Hubbu, judul prosanya yang mengantarkan namanya meraih predikat juara 1 Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tahun 2006. Dia menggeluti hal-ihwal terkait tradisionalitas dan religiusitas. Mashuri, merupakan lulusan dua pesantren di tanah kelahirannya. Dia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di luar aktivitas pendidikannya, berkiprah di Komunitas Teater Gapus, dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya.