PENYAKSI

Taufiq Wr. Hidayat *

Malam itu udara dingin mengantarkan saya ke rumah Kiai Sutara yang sederhana. Lingkungan pinggiran kota yang tak ramai. Surau kecil dekat rumah Kiai Sutara. Pohon-pohon. Jalan kecil yang sepi. Rumah kecil yang dipenuhi bonsai. Terdapat lampu tua. Dan di kursi dan meja kuno itu, tampak seorang tua duduk. Terdengar suara musik klasik dari pemutar lagunya. Saya sendiri tidak tahu musik apa itu. Tapi Kiai Sutara terlihat begitu nikmat mendengarkan komposisi musik klasik tersebut, memejamkan mata, mengepulkan asap rokok perlahan. Menurut Kiai Sutara, musik yang didengarkannya adalah karya Niccolò Paganini berjudul “Caprice No.24 in A Minor”.

“Itu komposisi dari sang penggesek biola si jari malaikat, Niccolò Paganini. Ia menyihir sejarah cuma dengan satu senar biola.”

“Mohon maaf, Kiai. Niccolò Paganini itu siapa?” tanya saya. Berharap dapat penjelasan dari beliau. Ini pengetahuan baru bagi saya yang awam musik.

“Tukang tambal ban! Hahahaha!” Kiai Sutara tertawa. Beliau melanjutkan. “Goblok! Paganini saja gak tahu. Tahumu apa? Kalau ilmumu hanya sebatas “kakean cangkem”, kamu tidak akan mengenal musik-musik rumit yang menakjubkan. Kalau kupingmu cuma kuping kambing, gak mungkin tahu mana musik baik dan mana musik buruk,” ujar Kiai Sutara.

Direguknya kopi pahit di meja. Kedua matanya menatap dalam ke langit-langit rumahnya yang bolong. Kedua alis matanya yang melengkung tebal keputihan, kerut pipinya, menandakan usia dan pengalaman yang panjang. Keningnya yang lapang, wajahnya kokoh, dan suaranya yang tegas menandakan ketekunan yang menakjubkan.

“Bukankah musik begituan tidak termasuk musik islami, Kiai. Maaf, Kiai,” kata saya.

“Guoblok! Begitulah orang yang belajarnya sebatas dengkul. Kayak kamu! Bajul!” Kiai Sutara tertawa. Beliau menyalakan kembali sebatang rokok kretek. Semua makian Kiai Sutara, terdengar akrab di telinga saya. Melecut kebebalan saya.

“Tahu kamu? Idris Sardi menyihir sejarah dengan karyanya. Gesang mengaliri dunia ini dengan Bengawan Solo-nya yang mashur. Tahu kamu? Led Zeppelin, Jean Paul Sartre, Maria Callas, Marie Laforet, Salvador Dalí menyebut diri mereka pengagum penyanyi berbahasa Arab sepanjang masa bernama Ummi Kalsum. “Enta Omri” adalah lagunya yang menakjubkan, yang bahkan mempertemukan Mesir dan Israel. Perang terhenyak, sempat berjeda mendengarkan lagunya. Charles de Gaulle menyebut Ummi Kalsum adalah “The Lady”. Sang “la divina”, Maria Callas, menyebut suara Kalsum yang ajaib adalah “bunyi gembala”. Tahu kamu, santri tolol?”

“Ampun, Kiai. Nama-nama aneh itu saja, saya baru dengar dari Kiai,” kata saya sambil cengengesan.

“Itulah karenanya, tidak salah lagi aku menjulukimu santri sak dengkul! Hahaha.. . Tapi bagaimanapun kamu tetap santriku, yang belajarnya cuma kitab “Sullam-Safinah”, itu pun susahnya minta dilempar sandal. Baguslah itu. Daripada saya suruh menghafal dan menguraikan nadhom atau bait “alfiyah”-nya Ibn Malik, “Nahwu” atau sintaksis dan “Sharaf” yang disebut morfologi. Kenapa bait dalam kitab tata bahasa Arab bernama “alfiyah” yang berarti seribu bait, dalam karya Ibn Malik itu, terdapat seribu dua bait? Kenapa tidak seribu bait sesuai judulnya?”

“Ampun, Kiai. Saya tidak mengerti,” jawab saya cengengesan.

“Itu saja, bisa bocor kepalamu karena gak tahu. Oleh karena itu, tidak perlu merasa lebih sakti dari saya. Belajar saja gak becus, kok malah mau merasa hebat di hadapan saya. Hahaha!” Kiai Sutara tertawa.

Asap rokok memenuhi ruang tamu rumahnya yang sederhana. Lampu redup. Di rumahnya tak ada televisi. Hanya buku-buku. Kitab-kitab kuno yang entah apa isinya. Android. Dan radio.

“Ampun, Kiai. Menurut Kiai, manusia yang beriman dan bertakwa itu seperti apa?” tanya saya. Mumpung beliau berkenan menerima saya sebagai tamunya. Mumpung saya belum diusir karena ketololan saya.

Kiai Sutara mereguk kembali kopinya. Menyedot kuat-kuat rokoknya.

“Manusia itu makhluk tidak tetap. Penuh kemungkinan. Sekarang kamu baik sama saya, belum tentu besok. Kalau baik terus, itu bagus! Karena manusia bisa jadi iblis dan lebih hina dari binatang. Tapi dia juga bisa lebih mulia melebihi kemuliaan malaikat. Jika manusia cuma bersemadi dalam sunyi guna mendekat Tuhan, sehingga menjauhi dunia, itu bukan takwa yang diajarkan agama. Sebab fungsi kemanusiaannya sebagai pengelola dunia dengan tugas sejarah, tidak jalan. Takwa itu keberbaktian. Berbakti kepada Tuhan, bermakna berbakti pada kehidupan, pada nilai kemanusiaan.”

“Menutup diri dalam sepi, mendekat Tuhan, dan anti dunia membuatmu tidak jadi manusia. Tapi hantu! Apa manfaat sejarahnya? Gak ada! Sedikit-sedikit dosa. Sedikit-sedikit haram. Haram kok sedikit-sedikit? Hahaha…”

Kiai Sutara tertawa terpingkal-pingkal. Komposisi Paganini “Caprice No.24 in A Minor” terdengar sayup namun menghanyutkan dari pemutar Mp3-nya.

“Tapi jangan lupa, santriku yang goblok! Manusia tanpa semedi, tanpa permenungan, ilmu dan kedalaman malah menjadi budak pasar dan kekuasaan. Menuju Tuhan itu menuju kesejatian dan keabadian yang menjiwai sejarah dalam fungsi kehidupanmu masing-masing. Kesejatian adalah ilmu yang jujur, sikap hidup yang menjaga keseimbangan sosial juga keindahan yang menuntun hati kita menangis kepada-Nya. Keabadian boleh kau tafsirkan dirimu, kekuasaan apa pun beserta perangkatnya, atau struktur kehidupan yang menjamin keadilan di tiap sudut, kesejahteraan hidup, sehat jiwa-raga, kemerdekaan yang dewasa, hingga “kasyaf” yang akal dan hati mengerti sepenuh jiwa pada dalamnya penderitaan dan murninya kebahagiaan.”

“Sendiko, Kiai.”

“Sendika-sendiko! Ini saja kamu belum tentu paham. Paham kamu?”

“Insya Allah paham, Kiai.”

“Bilang gak paham, diserempet asbak saja dengkulmu!”

“Ampun, Kiai.”

Bersama asap rokok yang tebal, Kiai Sutara melanjutkan dhawuhnya. Sebagai santri, saya wajib mendengarkan sebaik-baiknya petuah guru saya ini.

“Dengar baik-baik, santri!”

“Baik, Kiai.”

“Betapa munafiknya kamu, jika satu pihak kamu berharap kesucian dan memuja kesucian Tuhan, tapi pada pihak lain kamu tidak menghormati dan menghargai makhluk Tuhan dan tidak memperlakukannya dengan layak sebagai sesama makhluk. Tidak menjaga kesucian hak-hak sesamamu. Kalau kamu berada di kandang kambing, kamu tidak perlu jadi kambing. Juga tidak wajib mengubah kambing menjadi kamu. Biarlah kambing tetap kambing. Dan kamu tetap kamu. Beda! Jangan kambing jadi kamu. Dan kamu jadi kambing. Paham, kambing?

Kiai Sutara tertawa.

“Ampun, Kiai. Saya bukan kambing.”

“Dari dulu saya kira kamu masih kambing!”

Kiai Sutara tertawa. Malam semakin larut. Pemutar Mp3 Kiai Sutara kini mengalunkan dangdut lama Elvi Sukaesi “Berdarah Lagi”.

“Ingat, kambingku! Eh! Santriku. Manusia cuma diberi ilmu sedikit. Sehingga yang berhak sombong cuma Allah. Apa kamu mau protes? Sini kalau mau protes!”

“Ampun, Kiai. Tidak berani, Kiai.”

Siapa berani, pikir saya. Di atas meja Kiai Sutara terdapat bungkus-bungkus rokok, dia bisa tiba-tiba melempar bungkus rokok, lalu mengusir saya.

“Dengar! Bagi Al? al-Ghaznaw? al-Jull?b? al-Hujw?r?, sang penulis kitab mashur “Kasyful Mahjub”, Allah itu Mahabesar. Dan tidak butuh bukti atas kebesaran-Nya. Walaupun seluruh makhluk gak percaya dan menghina-Nya, atau sebaliknya, yakin lalu memuji-Nya, Tuhan “ora patheken” alias gak ada pengaruh terhadap-Nya, tak akan mengurangi atau menambahkan apa pun pada-Nya. Dia berdiri dengan diri-Nya sendiri, Dia “qiyamuhu binafsihi”. Dia maha-ada tanpa campur tangan siapa pun, tanpa sumbangan atau bantuan siapa pun. Wajar Dia berkehendak semau-maunya. Sedangkan kamu. Kamu mengaku bersyahadat, sudah bersaksi tapi mengutamakan pembodohan, menipu, mementingkan diri sendiri dan kelompok, memutus hubungan kemakhlukan dengan sesama, tak menjaga dan tak menghargai hak-hak sesamamu. Ikrar “la-ilaha illallah” (tiada Tuhan selain Allah), dikufuri. Kamu masih “la-ilah” (tiada Tuhan), belum “ilallah” (kecuali Allah). Jika kamu meyakini tak ada yang bisa dituhankan, apakah itu raja, ulama, tokoh atau bintang film, uang, harta, sahwat, pujian dan kebanggaan-kebanggaan, agama, apa pun, maka hidup ini pun sunyi. Lemah. Semuanya tanpa daya-upaya, sehingga gak bisa dituhankan, gak bisa dijunjung-junjung dimutlakkan. Dalam mengerjakan kehidupan, kamu masih muter-muter pada “la-ilah”, dan menghindari atau tidak ketemu “illallah”. Dalam ibadah-ibadah formal, kita sudah memuja-muji Allah. Tapi dalam kehidupan sehari-hari, belum! Belum becus ber-“la-ilah”, kita seakan-akan atau merasa sudah “illallah”. Masih “angkrem” pada kehendak-kehendak mewah, sahwat, masih cengar-cengir kalau dijunjung atau dipuji, masih repot menyayangi posisi dan kebanggaan, dan seterusnya, masih menuhankan kerusakan. Belum “manafikan” semua itu. Sehingga belum “lillahi ta’ala”. Kotor, tapi paling tahu kesucian Tuhan. Sampai di sini, paham kamu, santri?” Kiai Sutara mengepulkan asap rokoknya. Brulll… Musik dangdut lawas mengalun pelan. Kali ini terdengar lagu “Laksmana Raja di Laut”.

“Semoga saya paham, Kiai,” jawab saya.

“Bagus! Berharaplah paham. Karena kepahaman atau pengertian itu anugerah, bukan hanya muncul dari upayamu meraih pengetahuan belaka. Bersihkan dan murnikan dulu kehendakmu, supaya kamu memungkinkan menghayati kesucian Tuhanmu dengan segala ketetapan-Nya pada hidupmu. Jangan mengaku tahu kehendak-Nya, tapi kamu tidak tahu nilai terdalam kemanusiaan di dalam dirimu sebagai manusia. Urutan “Asma’ul Husna” (nama-nama-Nya yang baik) itu tepat kita hayati. “Ar-rahman-ar-rahim”, yakni “welas-asih”. “Al-malik”, yakni kepemimpinan. Kepemimpinan yang menyelenggarakan kehendak-kehendak “kewelas-asihan”. “Al-quddus”, yakni kesucian, segala gerak, keberadaan, dan kehendak dari segalanya hanya mewakili kehendak-Nya yang mahasuci. Lha wong belum “ar-rahman-ar-rahim”, yakni masih membenci sesama, pandangan dan sikap kita masih dipenjara suka dan tidak suka atau selera, menjauhi orang yang tak sesuai kemauan kita, silau sahwat, tega melihat orang kelaparan dan menggelepar dalam kemiskinan, diam melihat orang benar-benar kepepet, padahal mampu membantunya, maka gak mungkin jadi “al-malik”, yang mengayomi dengan ruh “ar-rahman-ar-rahim”.

Kiai Sutara mereguk kopi pahitnya. Menindas rokoknya ke asbak. Malam telah larut. Senyap. Dan sepi.

“Sudah pulang sana! Saya mau tidur. Ngantuk. Lupakan semua perkataan saya. Karena semua itu tidak ada gunanya, jika hanya sebatas pengetahuan dan pengertian tanpa pembuktian atau penyaksian dalam kenyataan hidup sehari-hari. Maka berulang-ulang kamu akan tolol. Dan tolol lagi. Tolol tiada akhir!” Kiai Sutara tertawa. Tawanya renyah dan selalu menimbulkan rindu.

Saya masih duduk.

“Lho ayo cepat pulang! Lempar sandal kepalamu gak cepat pulang!”

“Ampun, Kiai.”

Saya pun tergopoh pulang. Mencium telapak tangan beliau. Beliau masuk kamar. Kiai Sutara sudah tidak peduli lagi pada saya yang berlalu dari pintu rumahnya. Malam pun terus mengental dalam kegelapan. Sebagai santri, saya pulang membawa sebuntal kerinduan. Dan kenangan yang tak terjelaskan.

Tembokrejo, 2020

_____________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Bahasa »