Dalam mabuk anggur kepayang, Hamlet menahbiskan perempuan adalah tubuh dan kecantikan. Jiwa. Kepedihan. Dan kenangan. Bagi Ahmad Safi al-Najafi, seorang penyair Irak, sekuntum mawar bolehlah sirna. Warna, kecantikan, dan bentuknya telah tiada ditelan fana. Akan tetapi wangi aromanya, baka. Bersama angin yang kembara, wangi mawar yang tak tergantikan itu, senantiasa tiba. Tak bisa musnah ditelan masa.
Banyak yang mengibaratkan perempuan sebagai sekuntum mawar. Jenis bunga yang dicintai banyak orang. Laki-laki dan perempuan sendiri. Tapi ia bukan hiasan, meski ia dapat mempercantik segala yang suram dan menyalakan cahaya di dalam kelam. Menebar wangi menakjubkan yang sukar dijelaskan. Ia pun menjelma dalam kenangan, meski peristiwanya baru berlalu sejenak saja. Dengan kesetiaan yang larut dalam ketabahan, ia memeriksa ingatan setiap senja tiba. Kenangan yang bagaikan nyala, selalu membakar jiwa, dan membimbing insan dalam lena, dalam biru yang disebut rindu.
Mungkin Hamlet dalam Shakespeare merasa, perempuan adalah jiwa. Tak belaka tubuh. Meski tubuh dan status yang melekat padanya, selalu menjadi incaran dan dambaan kekuasaan. Bagi Ibnu Arabi, daya “al-insaniyah” (kemanusiaan) tak lain “ruh kreatif”. “Ruh kreatif” yang mengenali kekudusan-Nya, menangkap kesucian kemanusiaan. Kesadaran pada keterbatasan, menyelenggarakan kehidupan yang membebaskan. Ruh merdeka bagai cahaya, penanda sifat sejati manusia . Ia daya bagi tubuh dan bentuk. Jika tubuh gaduh, hanya tubuhlah yang tunduk pada tata ruang dan waktu. Sedang esensi, dalam kasih yang mahasejati. Yang tak belaka terikat pada bentuk, membangun bentuk baru, mengolah segala bentuk. Ia tak dapat ditundukkan waktu dan keadaan. Yang mutlak hanya Dia. Kesadaran ini menerbitkan nyala humanitas, berpijak pada bumi, pada kehidupan yang mesti dibebaskan dari penjara kesementaraan. Terbukalah pintu penerimaan. Ialah cinta yang mempersatukan, yang tak diperdaya atau dipengaruhi bentuk, tubuh, atau segala status yang dilekatkan padanya.
Bagi Prameodya Anata Toer dalam “Panggil Aku Kartini Saja”, ia hendak melepaskan seorang tokoh perempuan yang mashur dalam sejarah Indonesia itu dari tali statusnya. Meletakkannya sebagai perempuan yang tak lain hanyalah tumbal dari kebijakan kekuasaan politik etis kaum penjajah. Pikiran-pikirannya bukanlah buah dari korespondensi atau dialog antargagasan dengan orang-orang Eropa. Gagasan Kartini tak lain adalah responsnya terhadap realitas sejarah yang mengandung kelas-kelas, tradisi peminggiran dalam feodalisme. Bagi Pramoedya, di situlah sejatinya keagungan jiwa perempuan yang bernama Kartini itu, yang terpisah dari statusnya sebagai bangsawan Jawa. Agaknya Pram memang menekunkan diri pada karya-karya agung Maxim Gorki. Perempuan terlibat aktif—bahkan vital, di dalam sebuah revolusi. Perempuan yang—pada masa itu, gigih untuk tidak menyerah pada kejumudan, kemelaratan dan kelemahan yang tak punya daya upaya, sehingga menanggungkan penindasan atas dirinya.
Agaknya sikap itu dalam teks suci agama-agama menjadi penting. Lantaran sejatinya agama memasuki sejarah demi menegakkan nilai ketuhanan yang adalah pemuliaan manusia dan kemanusiaannya.
Sahdan, sejumlah ahli hukum Alkitab dan orang-orang Farisi menyeret seorang pelacur ke hadapan Yesus di Bait-alah. Mereka meminta Yesus merajam perempuan laknat yang berzina, yang melanggar hukum Musa dalam Taurat. Yesus menampakkan sikap malas pada para pewaris Alkitab itu. Ia duduk di bumi, jarinya menggaris-garis tanah. Para ahli Taurat tak sabar, mereka menekan. Yesus berkata ringan: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melempar batu pada perempuan itu” (Yohanes 8:7).
Para ahli kitab yang mengaku saleh itu pun bubar. Tak satu pun dari antara mereka yang merasa tak berdosa. Perempuan itu diterima Yesus dalam kasih-Nya. Kenapa Isa menggaris-garis tanah, bersikap malas terhadap para pewaris Alkitab yang meminta penghakiman terhadap perempuan sundal itu? Seakan-akan Isa hendak berpesan perihal yang tak tampak, tapi mengatasi hukum dan persepsi manusia terhadap segala obyek dan peristiwa. Itu yang bagi Yesus disebut iman. Ialah yang tak belaka percaya dan terikat pada segala tampak, tapi juga pada yang tak tampak, bahkan yang tak ada dalam kitab suci sekalipun. Pakar hukum Taurat boleh keliru meletakkan hukum dengan persepsi, tafsir, dan pandangannya. Tapi iman, tak akan meleset.
Dalam khasanah sejarah Islam dikisahkan seorang perempuan, istri Muhammad Sang Rasul, bernama Ummu Salamah. Kondisi sejarah waktu itu, masyarakat Arab Jahiliyah tak pernah menganggap perempuan sebagai manusia, melainkan barang dan budak. Tak ada sedikit pun porsi bagi kaum perempuan dalam tradisi dan pergaulan sosial. Sahdan pada suatu hari, Ummu Salamah bertanya kepada Sang Rasul.
“Wahai Rasul, kalaulah memang Allah mengerti dan menyayangi kaum perempuan, lantas kenapa al-Qur’an yang diwahyukan kepada engkau tidak pernah memanggil dan menyebut kami sebagai kaum perempuan?” tanya Ummu Salamah.
Rasul terdiam. Beliau tak menjawab. Hanya tersenyum menakjubkan.
Pada waktu berikutnya, tatkala perempuan yang dijuluki “ibu mulia kaum beriman” itu menyisir rambutnya, ia terperanjat. Jari-jarinya menghentikan sisir pada rambutnya. Sisir itu terjatuh ke bumi. Ummu Salamah mendengar Rasul merisalahkan wahyu Allah dalam masjid yang ramai, memanggil dan menyebutkan orang-orang baik laki-laki dan orang-orang baik perempuan, lantaran “sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain” (Ali Imran: 195). Qur’an secara kentara telah memberi posisi, menyebut, dan menyetarakan perempuan, apa yang sangat dihindari dan tak pernah dilakukan dalam masyarakat Arab Jahiliyah. Ummu Salamah kali ini tak hanya telah menjatuhkan sisirnya, ia pelan-pelan telah menjatuhkan pula air matanya. Air mata kekokohan dan keteguhan jiwa. Air mata itu—konon kata orang, hanya perempuan yang mempunyainya.
Tembokrejo, 2020
_____________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.