Pramoedya Ananta Toer, halaman 412


Ahmad Farid Yahya *

Jika ditanya, “buku siapa yang paling banyak saya baca?” tentu saja, akan dengan lantang saya jawab: Pramoedya Ananta Toer.
Buku pertama Pramoedya yang saya baca malahan yang setahu saya paling tebal: Arus Balik. Sekitar 1000 halaman. Itu pun kubaca ketika masih semester 1. Entah tahun 2016 atau 2017. Dari situ aku sudah mulai jatuh cinta dengan sosok satu ini. Satu-satunya Sastrawan Indonesia yang beberapa kali masuk nominasi Nobel Sastra.

Tetralogi Bumi Manusia, kubaca dengan urut. Dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah. Tinggal Rumah Kaca yang belum kupunya. Meski aku juga sudah tamatkan Sang Pemula, buku nonfiksi yang bisa kubilang dasar/kerangka/hasil riset roman tetralogi Bumi Manusia. Di sisi lain aku memang punya kebiasaan menghabiskan buku yang kubaca. Entah masuk ke otak atau tidak, tapi kupikir kurang saja kalau belum kukhatamkan.

Pramoedya orang Blora. Arus Balik berkisah tentang Nusantara pasca keruntuhan Majapahit. Dengan setting waktu pada zaman tersebut. Aku sangat mengenal buku-buku Pram. Jadi aku tak mungkin silap kalau pada novel Arus Balik ada cerita tentang pembangunan jalan Deandles yang baru dibangun ketika Belanda di Indonesia. Tak mungkin. Arus Balik hanya berkisah antara keruntuhan Majapahit dan kedatangan Portugis. Tak ada Belanda. Tapi sewaktu itu dosenku tetap bilang bahwa ada pembahasan mengenai itu, di halaman 412. Ah, bahkan sekarang pun aku masih ingat halaman yang disebutkan dosenku, padahal itu sekitar 2018/2019. Keesokan hari kubuka buku yang kutaruh di bagian paling bawah itu–karena ukuran yang besar jadi kokoh–kubuka halaman 412. Memang tak ada. Sudahlah.

Novel Bumi Manusia–bagi yang belum tahu–bercerita tentang anak (atau cucu) bupati Bojonegoro yang berproses sedemikian rupa, sehingga menjadi bapak pers Indonesia. Bukan semata-mata bapak pers atau penulis. Bahkan dalam buku Sang Pemula, Pramoedya men-jlentreh-kan bahwa kebangkitan nasional adalah sebuah kurun. Kebangkitan nasional berlangsung lama. Bukan “mak bedundung” Indonesia bangkit karena berdirinya Boedi Oetomo, bukan. Kebangkitan Nasional semestinya dilihat dalam kurun waktu. Pada buku Sang Pemula tersebut, Minke, atau nama aslinya Raden Mas Tirto Adhi Soerjo ialah pelopor, atau salah satu orang terpenting yang menstimulus pemikiran Kebangkitan Nasional. Beliau pendiri beberapa organisasi besar pribumi pertama di Hindia Belanda. Antara lain Sarekat Priyai, Sarekat Dagang Priyai, Sarekat Dagang Islam. Organisasi-organisasi tersebut, cikal bakal berdirinya Sarekat Islam dst. Yang jika kita runutkan nanti akan sampai ke perpecahan yang cukup rumit dan tajam. Seperti PKI yang lahir dari orang-orang Sarekat Islam. Juga NII (Negara Islam Indonesia) pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang pernah bergabung dalam Sarekat Islam HOS Tjokroaminoto. Paham NII ini, kalau kita bedah ke bawah bisa sampai ke Amrozi dsb. Waktu itu, begitu mencengangkan ketika tahu bahwa Indonesia ini bermula dari Bojonegoro. “Yo parek-parek kene ae rek.” Pikirku.

Bumi Manusia adalah novel Pram yang paling terkenal. Dipentaskan teater dengan judul “Bunga Penutup Abad”. Itu nama lukisan wajah Annelies. Teater yang diperankan Reza Rahardian, Chelsea Islan, Happy Salma, Lukman Sardi, dan Sabia Arifin ini begitu memukau. Sehingga ketika ada kabar bahwa novel ini akan difilmkan, disutradarai Hanung Bramantyo dan diperankan oleh Iqbal, dunia sastra Indonesia gonjang-ganjing-gunjing. Ramai orang kecewa, pesimis dengan hasilnya.

Aku sendiri sempat kecewa. Sastra “berkualitas/tinggi/atas/legend” kok bisa-bisanya digarap secara pop. Tapi ya ditunggu saja hasilnya. Gimana-gimana itu pun permintaan Mbah Pram sendiri. Bahwa ia maunya Bumi Manusia difilmkan oleh orang kita sendiri. Aku belum nonton filmnya. Entah karena underestimate, lebih-lebih karena tak terbiasa nonton di bioskop.

Kupikir penghujatan tentang Iqbal pun juga bisa diketengahkan. Kalau aku boleh memaparkan jluntrung-annya: film Bumi Manusia disutradarai Hanung dan diperankan Iqbal, sehingga mengenalkan Pram dan Bumi Manusia pada generasi masa kini. Bumi Manusia mengenalkan Tirto Adhi Soerjo (anak/cucu Bupati Bojonegoro, Bapak Pers Indonesia). Tirto Adhi Soerjo dalam tulisan-tulisannya, mengenalkan Multatuli (Edward Douwes Dekker). Inilah proses keterpengaruhan dari zaman ke zaman. Lalu apabila Iqbal memainkan peran sebagai Minke pun dapat diterima bukan?
***

___________________________
*) Ahmad Farid Yahya, lahir di Desa Kebalankulon, Sekaran, Lamongan (LA) 9 Agustus 1996. Riwayat pendidikannya, MI Ma’arif NU Kebalankulon, SMP Negeri 3 Babat, MAN 2 LA, melanjutkan kuliah di UNISDA LA jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (angkatan 2016). Penerima beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) tahun 2018/2019, dan 2019/2020. Anggota BEM UNISDA periode 2019. Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, esai, dan tulisan lain dimuat di berbagai media; Amanah, Suara KPK, Gelanggang FKIP, Radar Bojonegoro. Di buku antologi; Jejak yang Tertinggal (2017), Manunggaling Kawula Muda (2018), Memoar Purnama di Kampung Halaman (2019), Coretan Tinta Kecil (2019), Apa Kabar Lamongan? (2020). Dan buku tunggalnya; Seorang Bocah yang Menyaksikan Kematian (2020). instagram @ahmad.faridyahya.
https://sastrakelir.blogspot.com/2020/04/pramoedya-ananta-toer.html

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *