Hampir berbuka puasa, saya sengaja sowan ke rumah Kiai Sutara. Saya rasa kita tak benar-benar butuh sosok seorang kiai. Sosok kiai—mungkin sudah wajar, ibarat pemadam kebakaran. Ia hanya dibutuhkan orang saat kebakaran untuk memadamkan api. Selebihnya, lupakan. Saya lihat diri saya sendiri, saya menemui Kiai Sutara hanya di waktu luang. Ketika tak ada waktu, sosok Kiai Sutara tak perlu saya ingat-ingat. Beliau bukan sosok yang genting dan mendesak dalam kehidupan saya. Keperluannya pun tidak penting. Meski fungsinya sangat vital. Saya benar-benar ingat Kiai Sutara setelah saya melakukan pelanggaran dalam hidup saya. Ada rasa bersalah, dan rasa bersalah itu cukup saya tebus dengan sebungkus rokok kegemarannya. Kiai Sutara tahu itu. Tapi beliau gampang melupakan, tak penting baginya. Ia telah membuka banyak pencerahan. Saya ingat petuahnya, bahwa tak ada manusia dapat mengubah manusia lain, selain dirinya sendiri. Celaka dan mujur itu bersumber dari diri sendiri. Orang lain hanya jalan. Bukan penentu. Tapi memang sosok Kiai Sutara itu punya kepribadian yang kokoh, mandiri, dan bukan pencemas. Hidupnya penuh keyakinan yang tak pernah terserang keragu-raguan. Baginya sunyi dan kesendirian menjernihkan jiwa. Hampir seluruh usianya tekun di wilayah yang asing bagi kebanyakan orang. Nyaris apa yang ia duga dan ia perkirakan tak pernah meleset. Firasatnya tajam memecah zaman. Kata-kata dan sikapnya murni, tanpa kepentingan.
“Puasa itu gimana, Kiai?” kata saya mengawali perbincangan menjelang berbuka puasa tadi, dengan harapan memperoleh penjelasan perihal puasa dari beliau.
“Puasa ya puasa! Mau digimanakan?! Mau dicat apa mau dirias gitu? Endasmu atos!” jawab Kiai Sutara. Beliau terbahak. Tampak giginya yang tidak rapi, tapi menakjubkan. Keriangan yang tak dibuat-buat. Lepas. Dan nikmat. Tatapan matanya menyimpan ilmu yang disepuh waktu yang panjang dalam ketekunan dan keteguhan.
Suara mengaji terdengar dari surau kecil tak jauh di depan rumah Kiai Sutara.
“Puasa itu kan perintah agama, Kiai.”
“Dari dulu begitu!”
“Maksudnya makna apa yang terkandung dalam puasa tahun ini, Kiai?”
“Itulah yang membuat kamu tolol, dan gak sembuh-sembuh dari ketololanmu! Hidupmu ribet dan ribut. Lebay. Terlalu formalistis. Birokratis. Kaku. Usiamu memang masih muda. Tapi jiwamu rapuh dan peyot. Kamu sibuk memakna-maknai sesuatu yang sudah jelas maknanya. Makna puasa itu bukan yang utama. Yang utama, kamu berpuasa. Puasa yang tak hanya di bulan Ramadhan. Bukan perutmu saja yang puasa. Tapi pribadimulah yang harus berpuasa.”
“Pribadi yang berpuasa itu gimana, Kiai?
“Pribadi yang punya pendirian. Tidak plintat-plintut. Yang tahan terhadap godaan. Bukan takut atau pengecut terhadap godaan. Kamu menjauhi dan membenci secara fatal apa-apa dan siapa-siapa yang tak sesuai dengan seleramu, itu pengecut. Menjauhi yang membatalkan puasa, menandakan kamu rapuh. Tidak kokoh. Memberi, tapi juga dapat keuntungan atau dapat kesenangan dari yang telah kauberikan, lalu kau sebut itu perhatian, keprihatinan, solidaritas sosial, atau menolong orang susah. Itu bukan pribadi yang berpuasa. Tapi hobi atau bakul!”
“Jadi menurut Kiai, puasa itu perlu dilatih dalam kehidupan sehari-hari yang tidak hanya di bulan Ramadhan?”
“Betul mulutmu! Baru kali ini mulutmu betul. Agama itu perbuatan. Ritual-ritual agama bukan agama itu sendiri. Apa kamu pikir masjid itu agama? Apa kamu kira kegiatan keagamaan macam dakwah itu agama? Bukan! Itu hanyalah bentuk dan identitas formal dari agama. Bukan agama itu sendiri! Agama itu sendiri adalah orang yang bersujud, tapi membawa perilaku sujud dalam kehidupannya sehari-hari. Perilakunya sembahyang, bukan belaka gerak tubuhnya. Orang yang berpuasa, tapi kepribadiannya juga puasa. Bukan orang yang egois dan “jaga imej”, tak mudah diajak berkomunikasi karena merasa sudah mapan atau kaya. Memasang pembatasan pada orang yang miskin. Dia tidak sadar, bahwa di hadapan atasan dan materi, ia tak lebih budak. Tapi dia perlakukan orang yang di bawah dirinya budak yang kelaparan. Pribadimu belum berpuasa, itulah sebabnya saat kamu tiba di tengah kehidupan, kamu menipu, berdusta, membenci dan meninggalkan orang lain yang tak cocok dengan seleramu karena kau menuntut kesempurnaan menurut ukuran seleramu itu sendiri, mencaci agama orang lain, mengutuk atau mengkafirkan saudaramu. Perilakumu tidak sembahyang. Pribadimu tidak berpuasa.”
Penanda berbuka berbunyi dari surau. Kiai Sutara meneguk kopinya yang dingin. Menyalakan rokoknya, menghisapnya beberapa hisapan. Beliau tindas rokoknya. Beranjak ke tempat sembahyang. Melakukan sembahyang. Tinggal saya sendirian, merenungkan petuahnya yang ampuh. Tapi yang selama ini selalu tak berhasil saya kerjakan dengan sebaik-baiknya. Pelan-pelan saya menyadari kebusukan kepribadian saya. Betapa selama ini saya selalu berdusta di hadapan Kiai Sutara. Tapi Kiai Sutara tak pernah terbebani. Hidupnya sungguh berkilau indah. Setelah sembahyang, beliau menyandar di kursinya. Menyalakan lagi rokoknya. Memutar lagu-lagu lama Ummi Kalsum. Kepalanya bergoyang-goyang nikmat dan asik, seolah tak pernah terjadi apa-apa di dunia ini. Sedang saya masih tertunduk. Diam-diam sepi memasuki hati.
Sobo, 2020
_____________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.