Dhoni Zustiyantoro *
Kepadatan bahasa puisi mengajak pembaca masuk ke wilayah multitafsir. Kaidah licentia poetica menengahkan puisi bisa memiliki bahasa tak lazim, mengalihkan dari apa yang maksud pengarang, dengan gejala semiotis yang berserak dan ingin ditafsirkan pembaca.
Bahasa dalam puisi merupakan bahasa yang menangguhkan. Bagi puisi, imaji adalah kunci atau justru pembebas. Jadi licentia poetica merupakan hak yang diberikan konvensi bahasa ke penyair demi konvensi sastrawi. Gaya romantik yang beranggapan “gaya adalah orangnya itu sendiri” nyaris menjadi anggapan umum dan dominan.
Dari anggapan itulah lahir konsep “kebebasan penyair”, untuk tidak harus patuh pada kaidah bahasa yang lazim. Pandangan itu masih bertahan hingga kini (Sardjono, 2001: 74). Namun meski licentia poetica mengakui sekaligus memberi keleluasan, kerja sastrawi tidaklah persis seperti itu. Penyair, misalnya, tidak hidup dan berurusan secara persis dengan bahasa, sebab urusan penyair sering justru dengan konsep sastrawi yang hidup dan dihidupinya.
Puisi membebaskan penulis untuk menulis dengan tipografi dan tanda yang diinginkan. Jadi bahasa penyair bukanlah sistem kesemestaan bahasa, melainkan konvensi sastrawi. Gaya individu dalam sastra merupakan upaya menyatakan kedirian di hadapan konvensi sastrawi sebagai bahasa. Karena itu, anggapan kaum poststrukturalis itu sebetulnya, sekali lagi, mengarah ke perbincangan inti bahwa imajinasi adalah kunci bagi puisi.
Bahasa dan gaya adalah sarana mengungkapkan “yang akan dan ingin ditafsir”. Namun anggapan itu tak sepenuhnya relevan karena bahasa puisi adalah bahasa yang dinikmati, yang dalam beberapa hal terkadang tak perlu ditafsirkan secara tepat. Tak heran Goenawan Mohamad meyakini penyair bisa berbohong dalam puisi.
Penyair, atau siapa pun, bisa menulis puisi dengan bahasa tak lazim, yang belum ada, dengan mengatasnamakan pembaruan. “Keanehan” dalam puisi juga makin menemukan kelaziman saat penyair makin tidak ingin menyamai karya sebelumnya. Sama bagi penikmat puisi yang sudah menyiapkan diri untuk bersiap menerima keanehan. Namun tidak dalam esai. Esai mesti mempertunjukkan dengan jelas kemampuan bernalar dan berbahasa. Puisi boleh gelap, esai tidak.
Esai ditulis mengacu ke pokok pikiran atau pikiran utama yang segera harus diberi pilar oleh pikiran penjelas. Satu atau sejumlah ide harus dimunculkan dan argumen mesti diorganisasikan. Dalam berargumen segera terlihat ketajaman sang esais. Dalam berargumen itu pula terbaca keluasan wawasan dan bayangan kepribadian esais. Ihwal “Puisi Esai” Lantas, apakah “puisi esai”, penggabungan dua bentuk tulisan berbeda itu bisa menjembatani antara imajinasi dan penjelas sekaligus? Apa yang salah dari upaya menciptakan genre baru dalam sastra?
Saya tak hendak memperbincangkan hal-hal di luar konteks sastra sebagai karya. Kita coba pahami nukilan “Sapu Tangan Fang Yin” dalam Atas Nama Cinta: Sebuah Puisi Esai (2012) halaman 35 berikut: Mereka berebut menjarah, saling mendahului/Tunggang-langgang, tindih-menindih terjebak api/Dalam bangunan yang menyala-nyala/Terpanggang hidup-hidup — dan tewas sia-sia.
Pada akhir kata dalam puisi itu ada nomor untuk merujuk catatan kaki yang menjelaskan sehari setelah kerusuhan 13 Mei 1998 para jenderal pergi ke Malang untuk menghadiri rapat koordinasi pengendalian. Soeharto sedang di Kairo untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi G-15.
Suasana protes masyarakat yang ingin Soeharto mundur, kacau hari-hari itu. Berdasar struktur, penulis sah saja menyatakan sedang membuat puisi. Tipografi memenuhi kaidah puisi umumnya. Untuk melegitimasi unsur esai dalam puisi, penulis menambahkan catatan kaki yang membuat puisi terasa ilmiah, kontekstual, dan memiliki pembenaran bahwa peristiwa yang ditulis faktual. Namun masalah sejatinya muncul ketika kita menanti dan mencari unsur imaji “puisi esai”.
Kemiskinan imaji tersebar di seluruh tulisan dalam buku yang melabeli diri sebagai “genre baru sastra Indonesia” itu. Buku yang disebut Sapardi Djoko Damono sebagai buku yang “penting untuk dicatat dalam perkembangan puisi kita” karena Denny JA, sang penulis, “sudah menawarkan suatu cara penulisan baru” itu berisi lima buah “puisi esai” dengan panjang puisi minimal 30 halaman.
Tentu sah pula berbagai tulisan yang lahir pada masa serba post, memosisikan diri sebagai “pascapuisi”. Ia diklaim sebagai perlawanan terhadap puisi yang dipandang jauh dari pembaca. Dessy Wahyuni dalam artikel pembelaan “puisi esai” di Jawa Pos, “Berburu Fakta dalam Puisi Esai” (13 Mei 2013), bahkan secara jelas menyatakan makin sulit puisi dipahami, makin buruk puisi itu sebagai media komunikasi penyair dan dunia di luarnya. Jelas “puisi esai” mengesampingkan imaji — yang dikedepankan dalam licentia poetica.
Di dalamnya kita akan kesulitan mendapat imaji dan pelbagai hal yang dikedepankan dalam sastra, karena sejak lahir memang diniatkan sebagai puisi yang terang, mudah dipahami, lengkap dengan penjelas berupa catatan kaki sebagai esai.
Namun, dalam sastra, sejatinya tak ada yang salah dari upaya menciptakan “genre baru”, karena pada dasarnya setiap karya adalah hasil coba-coba. Yang keliru, mengklaim karya sendiri sebagai bentuk baru. Ya, setelah menciptakan lantas melabeli sebagai genre (jenis, tipe, atau kelompok sastra atas dasar bentuk) yang baru. Untuk tujuan apakah “puisi esai” diciptakan? Agaknya masyarakat pembaca sastra tak bisa lagi didikte.
*) Dhoni Zustiyantoro, pengajar Program Studi Sastra Jawa FBS Universitas Negeri Semarang.
https://www.suaramerdeka.com/smcetak/baca/64556/puisi-yang-berimaji-dan-esai-yang-menjelaskan