Taufiq Wr. Hidayat *
Wabah membawa pada sejenak pengendoran otot dari segala hiruk-pikuk dunia. Kesibukan dan kejungkir-balikan dunia, seolah terhenti. Mungkin sejenak. Namun menyisakan kesulitan ekonomi bagi para pekerja harian. Dan itu tak sejenak.
Tapi baiklah.
Seseorang—pada petang hari, berkisah kepadaku tentang kawannya yang patah hati. Kisah patah hati itu, sesungguhnya bukan kisah baru. Barangkali telah berabad-abad manusia mengalami patah hati seperti ia mengalami wabah penyakit. Tapi menurut kawan tadi, yang patah hati adalah seorang penyair, katanya. Saya menduga, dalam sejarah umat manusia, seorang penyair memang diharuskan mengalami kutukan hidup, yakni patah hati. Itu takdir! Cintanya ditolak sang gadis pujaan dan impian. Atau ditinggal kawin oleh perempuan yang dicintainya. Dengan begitu, ia menjadi seorang penyair sejati. Membersihkan diri dengan “rasa nelangsa”. Diksi-diksi yang dalam dan menakjubkan kemudian lahir darinya, merobek dan melawan kenyataan yang menyakitkan. Kawan saya tertawa. Saya juga tertawa. Kami cukup puas menertawakan nasib sial sang penyair sembari mereguk kopi panas petang itu. Dan hal tersebut adalah perbuatan yang sungguh tidak terpuji.
Sahdan. Ada seorang penyair yang tinggal di sebuah desa. Untuk menuju ke rumahnya yang sederhana, kau akan melewati jalan berkelok. Pada tiap pertelon dan prapatan, tumbuh warung kopi dan toko. Di desa. Senja membawa para ibu pulang dari sawah. Pohon kelapa dan danau yang menyimpan ikan. Toko-toko kecil tumbuh. Pasir dan bata. Pohon-pohon kelapa. Campursari dan dangdut terdengar sayup, tapi tegas. Suara-suara dari surau. Sementara di belantara kota, orang-orang menikmati musik dengan kebanggaan palsu dan picik, seperti politik. Tapi sisa hujan senja hari di dusun itu membasahkan pohonan. Cahaya senja yang tipis, mengkilapkan daunan mangga dan sirsak. Kekecewaan bagai didesak. Didesak jatuh dalam semak di tepi jalan setapak.
Memang “hidup hanya menunda kekalahan,” kata Chairil Anwar. Sang penyair yang patah hati karena cintanya ditolak itu, melihat gadis dambaan hatinya menikah dengan laki-laki lain yang “mapan”. Apalah yang dapat diambil dari seorang penyair, selain diksi, dan sedikit harapan? Ia hanya punya harapan dan impian panjang yang tak terjelaskan. Sedang dunia memerlukan hidup yang layak dan terjamin. Perempuan idaman itu—apa boleh buat, memilih pergi bersama orang lain yang bukan penyair. Kisah ini mirip kisah Sukri yang patah hati dalam cerita-cerita Hamsad Rangkuti.
Sang penyair melihat di dalam selokan itu, ada air kotor yang mengalir, tergeletak bayi nurani, juga hukum negeri ini. Peristiwa di pelupuk mata sang penyair tersebut, tak lebih hebat dari makan pagi para pejabat tinggi. Dan radio mengudarakan derita, layar android menyala penuh warna, harga-harga pangan, dan nilai tukar rupiah. Tivi dan dunia maya. Ada wajah siapa, tergores sunyi di antara gerimis yang tipis.
“Ini bukan jalanan berdebu ketika diserbu para serdadu. Tak hendak mewujudkan mimpi siapa-siapa. Tapi sarapan omong kosong merobek pagi dan hati,” katanya. “Jaringan-jaringan. Kelam merebah di jalan yang benam. Orang-orang enggan, dan kelelahan menimpa setelah pergulatan yang tak menyisakan makna. Zaman terus mengelupas, meneteskan cairan waktu yang melepuh.” Sang penyair menumpahkan patah hati dan jiwa yang tersayat pedih dalam puisi. Terbayang selalu wajah gadis pujaan hati, alisnya yang tebal, dan suaranya yang merdu ketika membacakan sebuah puisi tentang rindu.
Keganjilan demi keganjilan akan selalu mencekam hati sang penyair. Patah hatinya itu pun menjadi diksi dan metafora yang tak terpecahkan. Penuh tafsir. Dalam dan sangat rahasia. Keganjilan-keganjilan itu seolah menggambarkan nasibnya. Tetapi juga lelucon kelam yang adalah tragedi. Nun di jauhan waktu, Nikolai Gogol menulis cerita perihal seseorang yang kehilangan hidungnya. Ya. Hidungnya hilang secara gaib! Tokoh dalam cerita Gogol itu bangun tidur di pagi hari. Ketika ia bercermin, ia kaget. Hidungnya hilang!
Dalam “The Nose”, orang yang bernama Kovalev mengalami peristiwa ganjil, hidungnya menghilang secara gaib. Ia memeras pikiran, ke manakah hidungnya menghilang? Lalu bagaimanakah ia harus menemukan kembali hidungnya itu? Kovalev adalah orang biasa. Tapi dia menyebut dirinya sendiri adalah Mayor Kovalev. Ganjilnya peristiwa kehilangan hidung yang dialami Mayor Kovalev itu, sama ganjilnya dengan respon Mayor Kovalev sendiri terhadap deritanya. Hilangnya hidung Mayor Kovalev tidak membuatnya harus memeriksakan diri ke dokter. Ia justru mendatangi kantor polisi, melaporkan hidungnya yang hilang itu pada polisi. Entah bagaimana, setelah hidung Mayor Kovalev ditemukan, ia merasa percaya diri di hadapan perempuan. Pushkin terbahak-bahak membaca cerita Gogol tersebut. Giginya menyeringai. Ini lelucon gila! Katanya. Kisah ini dianggap mendobrak realitas ketimpangan sosial-politik dan budaya Rusia abad ke-19 melalui sastra.
Apakah seorang penyair adalah manusia yang kehilangan hidungnya ketika bangun tidur di pagi hari, sehingga ia tak berkutik di hadapan perempuan? Jika lantas ia kembali menemukan hidungnya sesudah melewati perjuangan yang melelahkan, ia akan menjadi sang penggombal sejati dengan keindahan bahasa yang tak terkalahkan. “The Nose” Gogol seolah menegaskan ketersisihan seorang manusia dari realitas masyarakatnya, atau sebenarnya ia hendak menggambarkan identitas yang mengalami gegar. Kesadaran bahwa individu adalah penting, tak hinggap dalam pikiran para pemegang kuasa, juga bukan kebutuhan yang lazim. Manusia dinilai dengan angka dan kerumunan. Urvashi Butalia menulis “The Other Side of Silent”. Dalam sejarah “besar”, ada sejarah “kecil” yang tersembunyi. Kesadaran bahwa kekuasaan didapatkan tidak secara individual—melainkan berkat peran-peran dan pengorbanan dari “yang kecil” dan “tak terlihat” namun berdaulat—adalah utama. Segala perangkat kekuasaan, haruslah difungsikan secara benar. Bukan untuk menipu sejarah dengan angka, ancaman, dan menebarkan wabah ketakutan tanpa harapan. Dalam desah yang dalam, WS. Rendra berseru-seru, bahwa “ketakutan akan meningkatkan penindasan,” katanya.
Kemudian sang penyair yang patah hati itu terus pergi entah ke mana. Ia mendatangi kota demi kota, pertemuan-pertemuan sastra, kadang bersembunyi di balik gelap untuk menghindari dunia. Mencatat segala diksi. Menyatu dengan imajinasinya. Mencoba melupakan bayang-bayang wajah sang perempuan pujaan yang telah diambil orang. Dan pada tiap pertemuan, ia membacakan puisi-puisi perlawanan yang menggetarkan. Ia tengah berjuang dengan segala pengorbanan untuk menemukan kembali hidungnya yang hilang.
Tembokrejo, 2020
_______________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.